webnovel

KEI

deLluvia · Teen
Not enough ratings
19 Chs

FACT

Hampir seminggu berlalu, kini Tyo bahkan tidak melihat ku sama sekali. Semakin hari dia semakin jauh, benar-benar tidak bisa ku raih.

Saat jam terakhir hampir habis, aku mengeluarkan sticky notes lalu menulis sesuatu di atasnya.

"Ke rumah gue nanti sore, besok presentasi kimia." lalu menempelkannya di meja Tyo sebelum keluar kelas.

"Kak, gue mau nanya serius." tanya ku pada Theo saat perjalanan pulang.

"Apaan?"

"Menurut penglihatan lo sebagai cowok nih ya, gue sekarang lagi suka sama siapa?"

"Lo masih doyan cowok? Kirain kapok pacaran gara-gara di tinggal ke Singapore."

"Ih, serius gue, coba tebak."

"Gak ada, gak tau. Lo aja ga pernah sama cowok di sekolah."

"NAH KAN!"

"Ett, santai, ngapa jadi ngegas."

Fix. Tyo aneh. Gak mendasar banget omongannya waktu itu, cowok mana coba yang dia maksud, masa Theo, gila kali.

Aku tak berhenti mondar-mandir di kamar menunggu Tyo datang. Takut, bingung, campur aduk semua.

"Diem apa lo, bolak-balik mulu kaya setrikaan." ucap Theo, dia sedang numpang main game di sofa kamar ku karena kamarnya tidak ada sofa dan di bawah sedang ada banyak tamu Mamih.

"Kak, ada temennya dateng." ucap bibi depan pintu kamar ku.

"Anter kesini aja bi," pinta ku pada bibi. Aku menengok ke kaca sekali lagi, hanya memastikan.

Pintu kamar terbuka, wajah bibi yang muncul pertama. "Mau minum apa mas? Biar bibi buatin." tanya bibi padanya yang berada tepat di belakang bibi.

"Gausah bi, makasih." ucapnya ramah pada bibi.

Sumpah, jantung ku melorot sampai kaki. Itu benar-benar dia. Stefano Prasetyo.

"Jangan di sentuh-sentuh ya, nanti kalah." suara Theo menyadarkan ku. Dia berlari menuju kamar mandi.

Tiba-tiba Tyo keluar dari kamar ku, cukup keras dia membanting pintu itu. Aku segera mengejarnya keluar, untung sempet tertahan. "Lo mau kemana?"

"Balik."

"Tapi kan mau ngerjain tugas."

"Lo bisa presentasi sendiri besok pagi." dia bergegas ingin pergi lagi.

"Lo gila ya?"

"Lo yang gila, ngapain lo beduaan sama cowok di kamar?"

"Apaan sih!"

"Kerjain aja itu tugas berdua sama cowok lo." jder! Aku seperti mendengar kilatan petir di kepala ku, tiba-tiba rasanya sakit sekali. Ku pijit pelan kepala ku sambil masih mencoba berfikir, terdengar jelas hembusan nafasnya begitu berat.

"Kalian berdua ngapain di tengah jalan?" Theo tiba-tiba ada di belakang Tyo, menatap ku heran.

"Kenalin, kakak gue." ucap ku pelan pada Tyo.

Aku melihat wajah kaget terukir disana, sedikit kikuk saat menatap Theo. "Ini Tyo kak, anak baru." ucap ku mengenalkan mereka berdua.

Theo mengulurkan tangannya lebih dulu, "Theodore, kakaknya Cassandra. Lo yang pake ninja merah kan?"

"Iya," hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Masuk sanah." ucap ku sambik menuruni tangga. Aku berharap ada Anjas dan Dimas disini supaya bisa mencemooh cowok aneh itu.

Keadaan di kamar ku setelahnya adalah canggung maksimal, hanya kami berdua di ruangan ini. Aku menyibukkan diri dengan memotong karton, sementara dia yang memotong sterofom.

"Dua puluh dua kan jumlahnya?" tanyanya memecah kesunyian.

"Liat aja sendiri di buku." jawab ku sok ketus.

"Kakak lo, kelas tiga?" tanyanya lagi, random.

"Iyalah, emang ada tingkatan lain abis tiga?" aku masih sok ketus. "Kalo udah tempelin nih karton di atasnya." perintah ku.

Dia menurut, aku mengambil media untuk menempelkan kotak-kotak sterofom itu nanti saat presentasi. "Selesaiin ya itu semua, gue mau nandain medianya." Kami berdua bekerja hingga matahari turun.

Aku mengerjapkan mata ku beberapa kali, mencoba terbiasa dengan cahaya lampu kamar ku. Ku lihat tugas kimia ku yang sudah rapih di atas meja, sudah tidak ada siapa-siapa di ruangan ini.

Segera saja aku turun kebawah, "Bibi, bi, bi..." panggil ku beruntun.

"Cassandra, jangan teriak-teriak di rumah." Mamih menegur, ku lihat meja makan sudah rapih, dia disana, duduk dihadapan Theo. Aku kira sudah pulang.

"Dimana-mana, kerja kelompok tuh ngerjainnya bareng. Bukannya satu ngerjain satunya lagi tewas." Theo menyindir.

"Ketiduran" jawab ku kesal, aku duduk di sebelah Theo. "Lagian lo kenapa gak bangunin?" tanya ku pada Tyo.

"Udah, tapi lo gerak aja enggak." jawabnya datar.

"Kok lo gak pulang?" aku kembali sok ketus.

"Mamih yang larang, lagian kan rumahnya cuma di blok B. Gak jauh, jadi bisa makan malam dulu sama kita." Mamih mewakilinya bicara, udah langsung aja dia dapet perhatian Mamih. Lumayan deh, biar gampang lamarannya. Eh! "Jadi kamu sekeluarga baru pindah?" Mamih mau sok-sok akrab sama calon mantu.

"Iya tante, dari Solo. Ayah saya mau buka cabang di Jakarta."

"Oh, ayah kamu kerja apa? Bisnis?"

"Properti tante."

"Mama kamu?"

"Ibu dirumah, ngurus aku." jelas sekali dia tau bagaimana caranya tersenyum, tapi kenapa di sekolah kaya balok es.

"Punya kakak atau adik?"

"Anak satu-satunya tante." jawabnya tersenyum, demi apapun, dia normal.

Mamih terus saja melanjutkan sesi interviewnya. Aku dan Theo saling melirik satu sama lain, tak bisa menahan tawa. Bibi dateng membawakan makan malam kami.

"Bibi sekalian makan juga, sinii." ajak ku pada bibi, biasanya bibi makan bersama kami.

"Bibi nanti aja, masih kenyang." jawab bibi lalu kembali ke dapur.

"Ayo makan Tyo." Mamih menawarkan.

"Iya tante, makasih." senyum super manis terukir di bibirnya.

"Kalo dirumah tante, makanannya ga pernah pedes. Soalnya Sandra ga mau makan kalo ada cabenya."

"Ih Mamih, gausah dikasih tau." rengek ku.

"Kenapa emangnya?"

"Gausah aja, udah." aku menatap tajam ke balok es jadi-jadian itu.

"Gimana sekolahnya? Nyaman gak di Jakarta?"

"Baik tante, masih harus beradaptasi tapi"

"Lama-lama nanti juga terbiasa, Sandra gimana dikelas? Suka ngobrol ya pasti."

"Enggak kok tante, baik-baik aja. Sandra duduk di belakang aku."

"Ohh, Tyo duduk di bangkunya Bram? Ya kan sandra?"

"Mih, dia mau makan, jangan di ajak ngobrol mulu."

"Aduh Mamih keterusan. Maaf ya Tyo."

"Gapapa kok tante."

Makan malam kali ini berubah jadi ajang tanya jawab Mamih dengan Tyo. Setelah selesai makan malam, Tyo langsung izin pamit pulang. Katanya gak enak udah malem, padahal baru jam 7.

Aku mengantar Tyo sampai gerbang depan. "Gue pulang dulu." pamitnya.

"Iya" lalu motornya berlalu pergi. Aku menarik nafas panjang menikmati udara malam ini.

Aku mendengar suara motornya kembali, benar saja, dia muncul lagi. "Kenapa? Ada yang ketinggalan."

"Kalo nanti gue nelfon lo, boleh?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya barusan, "Boleh," jawab ku, dan untuk pertama kalinya aku melihat senyumnya, untuk ku.

Motornya melaju pergi. Aku berlari menuju kamar ku dengan sejuta kupu-kupu dalam perut ku.