webnovel

Pernikahan Kayla (Bab 1)

"Bunda,"

"Iya sayang. Kenapa?"

"Bunda kapan nemenin aku tidur?" Pertanyaan si kecil berhasil membuatku terdiam.

Sejenak. Aku mengela napas dan menyimpan pisau yang kugunakan memotong sayuran. Menurunkan tubuh, agar tinggiku dan tinggi se kecil cukup setara. Memberikan senyum untuknya sebaik mungkin.

"Kan ada ayah. Jadi, adek tidurnya sama ayah dulu." Kataku seraya membelai surai indahnya.

Anak berusia enam tahun itu mengerucutkan bibir mungilnya."Tapi semua teman-teman Haikal, ayah-bundanya tidur sama-sama. Kenapa Bunda, nggak?" ucapnya begitu polos. Manik matanya menunjukkan kerinduan luar biasa.

"Eh, iya. Bunda punya tiket ke Time Zone loh. Mau ikut?" Sebisa mungkin ku alihkan perhatiannya. Sebab rasanya anak ini tidak akan mengerti jika kujelaskan sekalipun.

Sebuah senyum mengembang dari wajahnya. Ia mengangguk di-iringi lonjakan girang."Mau Bunda." Pekiknya begitu menggemaskan.

"Ya sudah. Mandi dulu sana," titahku yang ia sambut dengan gembira. Hingga punggung berlapis kaus biru itu hilang dari balik titian anak tangga.

Segera kuambil ponsel. Mencari sebait nama dan menekan tombol pemanggil.

Selama dua kali panggilan sama sekali tak ada jawaban. Tak ingin menyerah, kucoba sekali lagi dan beruntung suara deep terdengar pada deringan ketiga.

"Hallo, ada apa Kay?"

"Dok, aku mau mengajak Haikal ke Time zone. Boleh?"

"Tentu. Apapun itu!"

"Terima kasih,"

"Oke. Oh, ya nanti pulangnya kujemput. Kamu share aja lokasinya."

"Iya, Dok!"

.

Secara hukum negara. Anak itu memang sudah menjadi anakku juga. Tetapi tetap saja, setidaknya aku harus meminta izin dari orangtua biologisnya.

.

Langit sudah mulai menggelap. Semilir angin menguis helaian anak rambut. Aku dan Haikal sudah puas bermain game di salah satu pusat perbelanjaan ibu kota. Saat ini, kami berdua sedang menunggu dokter Kamil, ayah Haikal yang masih di perjalanan.

"Bunda,"

"Hmmm!"

"Haikal lapar." ucapnya dengan tangan menempel tepat diperutnya.

"Sebentar lagi ya, Sayang. Ayah masih dijalan,"

"Kenapa nggak beli Pizza aja?"

Aku menggeleng,"nggak. Bunda nggak mau mengambil resiko lagi. Nanti ayah kamu marah."

"Ayah nggak akan marah, kok Bun. Ayah kan sayang kita." ocehnya tak mau mengalah.

"Ya, udah. Tapi kita makannya bareng-bareng kalau ayah sudah jemput kita."

"Yaaaah!" ujarnya seperti kecewa.

Aku bukannya ingin berlaku kejam terhadap anak ini. Hanya saja, aku sudah pernah dimarahi oleh dokter Kamil ketika awal kami menikah. Aku, membelikan Haikal makanan siap saji. Kukira semuanya akan baik-baik saja. Ternyata, reaksi dokter Kamil sungguh diluar dugaan. Membuatku kapok mengulanginya. Dan dari situlah, aku bersikap lebih berhati-hati lagi terhadap Haikal, juga pada ayahnya.

Mungkin kalian akan bertanya-tanya kenapa dan apa sebabnya aku bisa menikah dengan duda beranak satu ini?

Jujur, aku juga tidak menyangka sama sekali.

Dulu, lebih tepatnya beberapa bulan lalu. Aku masih bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak. Kebetulan, Haikal bersekolah ditempatku mengajar. Awalnya, dia anak pendiam dan murung. Bahkan dia seperti tidak memiliki teman bermain. Sehingga, nuraniku berbisik untuk mendekat dan mengenalnga lebih dalam.

Sampai akhirnya anak itu seperti bergantung padaku. Apapun yang ia inginkan, semuanya harus aku yang melakukan. Sebagai guru, aku ingin dia belajar mandiri. Tapi ternyata yang terjadi adalah kebalikannya.

Sempat suatu hari, aku mencoba cuek dan mengabaikan anak itu. Entah merasa feelingnya kuat atau bagaimana? Haikal tidak mau masuk sekolah dan ia ikut ke tempat ayahnya bekerja di salah satu rumah sakit besar terkemuka.

Bagaimana aku bisa tahu?

Selama beberapa hari, aku merasa sangat tidak nyaman dengan rongga pernapasanku. Mau, tidak mau aku akhirnya memeriksakan diri ke dokter spesialis Paru. Dan ketika kumasuki ruangannya. Mataku membulat saat melihat sosok anak kecil itu sedang bermain sendirian.

Dari situlah pertemuanku dengan dokter Kamil bermula. Ditambah Haikal yang langsung menghampiriku dan tanpa sungkan duduk dipangkuanku. Itu, membuat dokter bertanya-tanya. Kenapa putranya bisa mengenali dan bersikap layaknya bukan orang asing?

Aku menjelaskannya sebaik mungkin. Dan hanya ditanggapi anggukan dengan mata tak berkedip menatap Haikal yang nyaman.

Kukira semuanya juga akan biasa-biasa saja. Ketika Haikal kembali masuk sekolah. Tidak! Semuanya semakin buruk ketika ibu dari dokter Haikal sengaja menemui dan seperti mengontrigasiku.

Hingga hal paling buruk pun akhirnya tercetus dari wanita paruh baya itu.

"Kayla, ibu mohon. Menikahlah dengan ayah Haikal. Agar anak itu tidak lagi kesepian. Dia juga sepertinya sangat menyayangimu."

Kalimat keramat itu terus terngiang sampai terbawa mimpi. Dan terus merasa dikejar-kejar. Tapi sayang, takdir Tuhan lebih menunjukkan kuasanya. Meski sekeras apapun aku mencoba menghindarinya.

Pernah sekali aku pulang ke kampung halaman. Berniat hanya untuk menenangkan pikiran dari permintaan nenek Haikal yang menurutku sangatlah tidak masuk akal.

Tetapi lagi-lagi. Tuhan menunjukkan ketidakmustahilannya padaku. Baru beberapa hari berada di kampung, kakak sulungku pulang dan membawa temannya. Tidak kuduga juga, bahwa teman kakakku adalah dokter Kamil yang datang serta Haikal.

Melihat gelagat anehku dan Haikal yang terus menempel padaku malah mengundang kecurigaan keluargaku. Sampai akhirnya kuceritakan semuanya. Dan ayahku tidak segan-segan meminta pendapat pada dokter Kamil yang hanya di sambut dengan senyuman.

Kalian tahu apa yang terjadi keesokan harinya?

Keluarga dokter Kamil datang untuk melamar.

What?

Kenapa tiba-tiba? Aku dan dokter Kamil belum membicarakan hal ini sama sekali secara empat mata. Lagi pun kami berdua baru bertemu dua kali. Sayang, tak ada waktu untuk menghindar.

Aku tidak diijinkan kembali ke kota dan pernikahan ditentukan dua minggu ke depan.

Ternyata Jodoh Tuhan itu datang bak ombak menyerang.

Siapa mengira mengenali seorang anak yang kesepian justru membuatku terikat pernikahan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya.

.

"Bunda. Bunda ayo pulang. Itu ayah sudah datang." Sebuah tarikan dari ujung pakaian menarik sempurna kesadaranku.

Aku berucap istighfar pelan berkali-kali. Menuntun anak itu menuju kendaraan yang masih menyala di lobi pusat keramaian yang menyatu dengan hujan.

.

Bersambung ....