Zura bersenandung kecil ketika dirinya melewati lorong sepi menuju ruangan D. Dia sempat mengerutkan kening mengapa keadaan begitu horor padahal sebelumnya lorong itu selalu dilewati orang-orang yang jalan dengan langkah terburu-buru.
Yang namanya Zura tak akan mau ambil pusing tentang hal itu, dia lebih memilih menikmati langkahnya ditemani permen karet yang sudah hambar di mulutnya. Sesekali ia membuat balon kecil, lalu mengumpat ketika balon itu pecah dan menempel di bibirnya.
Dia membuka pintu ruangan D dengan kartu keanggotaannya, berjalan santai seolah dunia miliknya sendiri. Tapi kesantainnya itu berubah jadi bencana alam di otaknya ketika melihat dua lelaki yang sangat-sangat ingin ia hindari sedang berdiri dengan gaya berkelas didepan para anggota D yang lain, sepertinya sedang mendengarkan arahan penting dilihat dari wajah mereka yang sangat serius.
Leira melambai mengisyaratkan agar dirinya cepat duduk dibangkunya, tapi sepertinya mana sempat keburu permen karetnya ketelan karna sangking kagetnya dia, membuatnya terbatuk-batuk karna kesedak.
Zura cepat-cepat merogoh tasnya dan mengambil botol minuman, lalu meneguknya dengan cepat. Setelah itu dia langsung berlari kecil untuk duduk di bangkunya.
"Apa aku salah jadwal? Perasaan belum terlambat." Pikirnya.
Dia duduk dengan kalem, seperti anak SD yang baik budi melipat tangannya di meja. Melihat wajah Kin membuat dadanya berdesir, entah mengapa dia melihat sorot mata Kin berbeda, tidak seperti biasanya. Jika Ael memiliki rambut yang indah, maka Kin memiliki mata yang indah. Jadi Zura langsung tau jika mata itu ada yang berubah walau sedikitpun.
"Ini lagi bahas apa kak?" Bisik Zura pada Miyi.
Miyi meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan dia tidak boleh berbicara walau hanya berbisik.
Zura hendak mendengarkan dengan serius tapi monitor besar dimatikan oleh Kin.
"Sampai disini saja, ku harap kalian mengerti. Jadwalnya dan tugas masing-masing sudah ada. Kalian bisa cek email masing-masing." Setelah berbicara seperti itu Kin melangkah pergi begitu saja diikuti Neo dibelakangnya.
Zura mengerjapkan matanya tak percaya melihat kepergian Kin, padahal baru saja dia duduk dan ingin mendengarkan dengan serius dan berkonsentrasi penuh. Dia hanya bisa mendengus melihat kepergian dua lelaki itu.
"Kita ada misi, Ra," kata Miyi. "Ini misi pertamamu, jadi semangat ya!"
"Misinya apa kak?" Tanya Zura bingung.
"Kata bos Kin tadi ada dua misi. Misi pertama datang dari pemilik bank di Jerman dan juga pemilik salah satu merk mobil terkenal di jerman. Ini misi mahal, Ra. Jadi misi ini mencari anaknya yang hilang dari dua tahun yang lalu, dan sampai sekarang belum ditemukan, bahkan sedikitpun jejaknya belum diketahui. Katanya tadi ini bercampur dengan ilmu supranatural."
"Misi kedua, menyelamatkan bangsawan Belgia yang diculik dari sebulan yang lalu. Ini juga bukan misi yang mudah. Katanya yang menculik ini adalah organisasi mafia profesional yang berpusat di Amerika. Sudah puluhan tahun, organisasi ini belum ada yang bisa menaklukkan. Sangat profesional."
Zura mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mencoba mencerna. "Apa kalian yakin keduanya masih hidup?"
"Hidup atau mati, setidaknya mayatnya bisa dibawa pulang," Sambung Leira. "Mayat yang membusuk itu menghasilkan berjuta-juta dolar."
"Ini akan dibagi menjadi dua kelompok. Yang memiliki kekuatan alami akan bekerjasama dengan bos Kin dan Neo, yang memiliki kemampuan lebih sepertiku, akan bekerjama mencari bukti-buki dan strategi." Lanjut Leira.
"Apa Kin dan Neo selalu ikut? Jika ada misi seperti ini?" Tanya zura penasaran.
"Tidak. Mereka hanya ikut jika berurusan dengan nyawa dan supranatural. Siapkan energimu, kau akan di latih sebelum turun ke medan perang. Kita akan menjalankan misi pertama dulu, misi yang terlebih dahulu mendaftar." Jawab Exon.
●
●
Kin duduk di bangku kerjanya dengan santai. Dia menyenderkan tubuhnya tak bersemangat, pandangannya kosong seperti sedang memikirkan hal-hal berat.
Neo hanya bisa diam memperhatikan tingkah sahabatnya itu, dia juga sudah mulai jenuh dan bosan dengan rutinitasnya. Untung saja ada misi-misi yang penuh tantangan, sehingga kebosanan itu dapat terobati.
"Menurutmu apa dua misi ini berharga?" Tanya Neo sambil membolak-balikkan berkas yang ada diatas meja.
"Keduanya masih hidup. Yang pertama sedang tak sadarkan diri dan terjebak di dimensi lain, sedangkan yang kedua sedang menerima siksaan yang menyakitkan."
"Apa kita lebih baik menyelamatkan yang kedua dulu?"
"Yang pertama juga harus segera, dia sudah terlalu lama terpisah dari tubuhnya. Bisa-bisa tubuh itu tidak mau menerimanya lagi dan dia menjadi roh yang tersesat selamanya." Kin bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah rak buku untuk mengambil beberapa buku untuk ia baca.
Neo hanya memperhatikan Kin dari tempat duduknya. Dia juga menyadari, ada yang berbeda dari lelaki itu.
Kin kembali ketempat duduknya lagi sambil membawa dua buku tebal bertuliskan tulisan dengan bahasa Rusia.
"Kau yakin mengijinkan Zura ikut? Dia masih anak baru. Ini terlalu bahaya." Ucap Neo membuat percakapan agar Kin tidak larut dalam buku dan mengabaikannya.
Kin membuka buku itu dengan pelan dan penuh hati-hati, seolah takut buku itu lecet.
"Kemampuannya melebihi kemampuan anggota D yang lain."
"Bukan itu maksudku. Dia masih pemula, takutnya dia syok mendengar suara peluru, dia syok melihat binatang-binatang terhipnotis."
"Lalu apa gunanya kau dan aku?" Balas Kin sambil membaca tulisan yang ada dilembaran buku itu.
Neo menghela nafas panjang, entahlah semenjak dirinya menjadi Manusia, dia harus bernafas agar tubuh Manusianya tetap hidup. Bahkan dia sering lupa bernafas dan dadanya tiba-tiba sesak. Itu membuatnya berpikiran untuk menanamkan paru-paru buatan yang bisa bernafas sendiri, andai itu ada dijual dipasaran, dia rela menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli itu.
"Apa kau mengalah? Kau melepaskannya untuk Ael? Tadi kau mengabaikannya." Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Jika ia melanjutkan pembicaraan tadi, Kin pasti akan terus menjawabnya dengan berbagai macam jawaban yang membenarkan keputusannya.
"Siapa yang mengalah untuk siapa maksudmu? Aku?" Jawab Kin tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
"Energinya sudah tidak bisa kau ambil, untuk apa lagi meributkannya. Aku banyak stock wanita untukmu, kau bisa memilih yang kau mau. Lepaskan saja dia dan berdamailah dengan Ael. Kita itu bersahabat. Lupakan salah paham yang lalu."
Kin membuka halaman buku selanjutnya, disudut bibirnya ada lengkungan senyum mengejek yang tipis.
"Kau pikir perempuan mana yang bisa menolakku? Perempuan mana yang bisa mengabaikanku? Tanpa kau beri stockmu itu, aku bisa mencari 1000 wanita dalam hitungan menit."
Neo diam sejenak, iya, dia lupa akan hal itu. Kin melajang selama 200 tahun lebih bukan karna tak laku, tapi karna memang dia tak mau.
"Lalu kenapa selama ini kau tidak memilih salah satu dari 1000 sekian wanita itu? Bahagialah, kau bisa pulang dan kembali menopang mahkotamu sebagai putra mahkota."
Kin menutup bukunya, dia kehilangan minat untuk membaca lagi. Neo terus merecok dan membuat mood-nya berantakan.
"Kau mau tau jawabannya?" Tanya Kin balik.
Neo mengangguk.
"Karna semua wanita itu bukan Azura Heenan."
Neo mengerutkan keningnya bingung. Jawaban Kin begitu ambigu untuknya. "Maksudmu?"
"Kau pikir semurahan apa diriku mau menyentuhkan kulit anak Raja-ku pada gadis yang baru kukenal? Jika dia bukan Azura, maka aku tidak akan membiarkannya menyentuh kulitku walau seujung kuku. Pergilah, kau sangat mengganggu." Kin bangkit dari duduknya dan langsung berjalan sambil menenteng bukunya tadi untuk masuk ke ruangan rahasia miliknya yang berada di balik rak buku. Dia butuh ketenangan tapi Neo tidak memberikan itu.
Neo hanya bisa terdiam ditempat duduknya. Dia seperti orang bodoh, dia merasa sedih, kenapa masih banyak yang tidak ia ketahui dari Kin padahal mereka sudah bersahabat dari kecil. Kenapa dia masih harus berfikir keras agar bisa memahami sahabatnya itu.
__________________
Bersambung..