webnovel

Melihatmu Bersamanya

"Sejak kapan kamu suka pake lipstik?"

Saira, menatap Nagisa dengan kening berkerut. Gadis yang biasanya tampil begitu natural tanpa riasan itu kini sibuk berdandan. Sementara, yang diajak bicara malah menahan jawabannya. Nagisa, masih repot merapikan pulasan lipstik di bibirnya, memastikan tidak ada pulasan yang menempel di tempat yang tidak tepat.

"Sejak aku jadian sama Sena," jawabnya begitu santai. Bola mata Saira, langsung terbuka lebar mendengarnya. Jantungnya langsung berdesir getir. Ia hampir saja tidak percaya!

"Apa? Kamu sama Sena?" lagi-lagi, Nagisa mengangguk. Begitu polos, sama sekali tidak merasa bersalah. Padahal, Saira yang mendengarnya tersakiti bukan main. Ia berusaha terus menormalkan raut wajahnya, sama sekali tidak ingin sahabatnya tahu apa yang ia rasa.

"Sejak kapan?" Saira, kembali bertanya, dengan masih berharap kalau yang didengarnya bohong.

"Sejak kemarin."

Lemas, lemas sudah tubuh Saira, rasanya seluruh tulangnya meleleh mendengar status Sena, yang kini sudah berubah menjadi pacar orang. Dan parahnya, orang itu adalah Nagisa, sahabatnya sendiri! Sementara itu, setelah selesai dengan lipstik, Nagisa beralih mengambil sisir di tangannya. Merapikan rambutnya yang sudah kelewat rapi.

"Kok, aku nggak tau?"

Saira, kembali bertanya. Jika saja Nagisa, memperhatikan, saat ini Saira tengah menatap kosong buku catatan yang tergeletak lunglai di atas meja. Tapi, Nagisa terlalu dimabuk kebahagiaan, sehingga kepedihan Saira, dengan mudah luput darinya, seolah tidak pernah kenal.

"Ya... Karena jadiannya baru kemarin," kata Nagisa sambil memasukkan kembali lipstik dan sisirnya ke dalam tas. Seolah masih tidak puas, Nagisa mengeluarkan cermin dalam tasnya dan mengamati pantulan dirinya dalam benda kecil itu.

Saira, merebahkan punggungnya di kepala kursi yang sama sekali tidak empuk. Pupus sudah harapannya bersama laki-laki yang mengisi hatinya sejak tahun pertama kuliah. Memang sih, salahnya sendiri karena memendam perasaan itu terlalu lama. Bahkan, tidak ada satupun yang tahu tentang hal ini. Termasuk juga Nagisa. Jadi... Ia juga tidak bisa menyalahkan siapapun.

"Nagisa!"

Sebuah suara bariton tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka berdua. Tanpa nenolehpun, Saira, sudah tahu siapa pemilik suara itu. Sena! Orang yang tadi mereka bicarakan.

"Sena-kun!" Nagisa menyambut kekasih barunya. Tubuh tinggi semampainya langsung beranjak dari kursi, menghampiri laki-laki bertubuh jangkung yang sedang menunggu di muka pintu. Hati Saira, bertambah sakit melihat keduanya berbagi rindu. Padahal, Saira yakin mereka tidak pernah berpisah lama. Pagi tadi saja, ia masih sempat berpapasan dengan Sena. Laki-laki itu tidak pernah pergi jauh.

"Hai, Saira! Kamu di sini juga?"

Akhirnya, setelah beberapa saat, laki-laki itu sadar juga kalau ada Saira, di dalam ruangan itu. Saira, mengangguk dan tersenyum sopan. Tidak enak mengabaikan sapaan ramah Sena dengan senyum lebar memamerkan deretan gigi-giginya yang rapi.

"Iya, aku tadi ada kelas sama Nagisa."

Saira menjawab sekenanya. Ia lalu membereskan barang-barang di mejanya dengan terburu-buru. Ingin rasanya ia pergi dari tempat itu. Tidak tahan melihat keduanya bersama. Tapi, niatnya harus diurungkan ketika tiba-tiba, Nagisa menyeletuk dengan ringannya.

"Eh, gimana kalau kamu ikut saja makan siang sama kita! Dekat kok, cuma di sekitar kampus," kata Nagisa dengan begitu ringan, tidak ada raut bersalah sama sekali di wajah Nagisa. Sementara, Saira langsung menggeleng keras-keras.

"Enggak, nggak usah. Nanti aku ganggu kalian. Kalian makan siang duluan saja, aku biar nanti nyusul."

"Eh, jangan gitu Saira, tadi kamu bilang sendiri belum sempat sarapan kan? Nanti maag kamu kambuh loh," bujuk Nagisa, tepat sasaran. Jujur saja, Saira sangat lapar detik ini. Tapi, mana bisa ia makan dengan mereka berdua?

"Iya, Saira. Kamu nggak usah khawatir, biar aku yang traktir hari ini. Iya kan, Nagisa?"

Kali ini, Sena yang berbicara. Sama seperti Nagisa, laki-laki itu seakan sedang dimabuk cinta. Ia sama sekali tidak menyadari tatapan terluka Saira, yang melihat kemesraan mereka berdua. Yang Saira inginkan sekarang hanyalah lari cepat-cepat dari sana!

"Tapi..."

"Sudah, tidak ada tapi, ayo ikut saja!"

Nagisa, menarik tangan Saira, sehingga ia tidak bisa menolak lagi. Dengan terpaksa, Sairapun ikut bersama mereka. Tidak seperti kata mereka, restoran yang dimaksud ternyata jauh dari kampus. Bahkan, mereka harus menggunakan mobil untuk sampai ke sana. Sena, yang duduk di belakang kemudi, tidak henti-hentinya mengobrol dengan Nagisa, sepanjang perjalanan.

Tangan mereka saling bertautan meski kedua mata laki-laki itu masih fokus menatap jalanan di depan yang lengang oleh kendaraan. Sementara Saira, duduk sendirian di kursi belakang, mencoba membuang waktu dengan menatap jendela mobil dengan pemandangan aspal jalanan yang membosankan.

"Kamu ingat nggak? Waktu kemarin kita matsuri? Kamu kalah lomba makan ramen sama aku, hahaha," Nagisa, menertawakan Sena, yang kalah lomba makan dari seorang perempuan bertubuh kecil sepertinya. Sementara, Sena membalasnya dengan tawa pelan yang hampir tidak terdengar.

"Itu karena aku sudah makan banyak di rumah.." ingin rasanya Saira, menjadi tuli saat itu.

Telinganya panas mendengar pembicaraan tidak penting mereka yang seolah sedang mengejeknya, yang kini seolah tidak dianggap oleh Sena. Hanya sebagai figuran tidak penting yang keberadaannya tidak begitu diperlukan.

"Nah, sudah sampai. Saira, ayo turun!" Sena, menegur Saira, yang sedari tadi terlarut dalam lamunannya.

"Oh, iya."

Begitu Sena, menginterupsi, Saira seolah terbangun dan kembali fokus. Iapun melepaskan sealt belt yang melintang di tubuhnya dan turun dari mobil. Gadis itu langsung kaget melihat restoran yang mereka tuju.

"Makanan di sini kan pasti mahal," Saira hanya bisa memprotes dalam hati. "Ya iyalah, anak pengusaha terkenal, mana mau makan di kaki lima," meskipun begitu, Saira hanya bisa mengikuti langkah kedua orang di depannya tanpa mengatakan apapun.

"Bodoh amat, lagi pula, Sena sendiri yang bilang mau traktir."

Lapar yang dirasakannya, membuat pikiran Saira, bisa teralihkan. Ia tidak peduli pada Nagisa dan Sena, yang saling berbagi suapan. Makanan di restoran mahal ini, harus diakui punya rasa yang enak, sehingga Saira, bisa fokus mengisi perut dibanding mengurus dua orang di sampingnya yang hampir tidak memperdulikannya.

"Saira, gimana kulaihmu? Lancar kan?" Sena, tiba-tiba menyeletuk. Saira, yang tidak menyangka akan ditanya seperti itu langsung menghentikan kunyahannya. Pertanyaan biasa memang, hanya saja...

"Ah kamu ini, seperti baru kenal Saira, saja. Dia kan pintar, kuliah begini nggak pernah jadi masalah."

Sebelum Saira, menjawab, Nagisa terlebih dulu menimpali. Sairapun, hanya mengangguk sekenanya sambil meneruskan makannya dengan tenang.

"Syukurlah kalau begitu. Orangtuamu di Indonesia pasti bangga. Anaknya akan lulus dengan gelar kehormatan di Jepang sebentar lagi."

Jujur saja, hati Saira, berdesir ketika Sena, memujinya seperti itu. Tapi, detik itu juga ia merasa bersalah. Tidak seharusnya ia merasakan hal seperti itu pada kekasih sahabatnya.

"Aku gak sepintar itu kok."

Saira menjawab sambil menyembunyikan senyumannya. Ia menyuapkan makanan ke mulutnya dan mengunyahnya agar Sena, tidak melihat gerak bibirnya yang melengkung ke atas.

"Kalau kamu nggak pintar, nggak mungkin kamu bisa dapat beasiswa ke sini."

Sena, masih membantah. Diam-diam, laki-laki itu bisa melihat senyum di bibir Saira, hingga ketagihan ingin melihatnya lagi.

"Aku cuma beruntung, Sena," bantahnya pada pujian Sena, dengan tidak berani menatap mata laki-laki yang masih disukainya itu.

"Oh iya, Nagisa. Besok, aku boleh nggak menginap di apartemenmu?" Saira, mencoba mengalihkan pembicaraan, membuat Nagisa kini berfokus padanya.

"Gomenasai, Saira-san. Tidak bisa," Nagisa, mengawali jawabannya dengan meminta maaf.

"Nande? Kenapa Nagisa?"

" Aku tidak tinggal di apartemen itu lagi. Sekarang, aku tinggal berdua dengan Sena-kun,"

ujar Nagisa, yang menerbitkan senyum di bibir Sena. Sairapun, membelalakkan matanya. Tidak percaya dengan fakta baru yang ia terima.

"Hah? Apa?"