webnovel

Mahar

Najwa Detektif sudah berminggu-minggu tidak mandi, tidak pernah ganti baju, tidak pernah menyisir rambut, ia hanya membolehkan pembantu rumahnya untuk masuk ke dalam, ibu dan ayahnya sendiri tidak ia beri masuk.

Pembantunya lah yang mengantarkan nasi untuknya pada tiap waktu makan, tapi terkadang dia tidak mau makan. Najwa Detektif malah ingin makan buah-buahan sehingga badannya pun semakin kurus, tulang pipinya kelihatan, matanya terlihat semakin dalam.

Setiap kali pembantunya keluar dari kamarnya, ibunya selalu menanyakan tentangnya. Ibunya hanya bisa menangis tersedu-sedu. Tidak pernahnya Najwa Detektif seperti itu. Seakan di dunia ini hanya Ghazi seorang lelaki yang akan mencintainya dan menyayanginya.

Najwa Detektif tidak pernah berpikiran untuk mencintai orang lain. Ghazi adalah cinta pertamanya. Yang pertama kali mengetuk pintu hatinya. Benar kata para pujangga bahwa cinta pertama amat susah lenyapnya. Dulu amat sulit sekali Ghazi mendapatkan Najwa Detektif. Jangankan mendapatkan cinta Najwa Detektif, mendapatkan senyumnya saja pun sulit sekali bagi Ghazi. Kini ketika cinta itu ditanggapi dan direspon oleh Najwa Detektif, Ghazi pun tidak pernah tampak lagi batang hidungnya.

Najwa Detektif melamun sepanjang hari di pojok kamar menanggung sejuta rasa sakit kehilangan sang kekasih. Nun jauh di sana, Ghazi sibuk mengumpulkan mahar untuk menikahi Najwa Detektif nantinya. Sejak diajak menikah oleh Najwa Detektif, yang ada di pikiran Ghazi hanyalah mahar dan mahar. Bahkan ia lupa untuk siapa mahar itu akan ia persembahkan. Yang pasti ialah ia harus mengumpulkan duit untuk mahar. Ghazi sendiri lupa pada nama Najwa Detektif yang sekarang sedang menunggu kehadirannya.

Salah satu hal yang menyebalkan adalah: orang yang ditunggu tidak merasa ditunggu! Dan yang sedikit aneh jugalah yang menunggu terus menunggu padahal sudah tahu bahwa orang yang ditunggu tidak tepat waktu! Inilah penyakit cinta yang turun-temurun.

Melihat keadaan Najwa Detektif semakin parah, sang ibu semakin gelisah tak menentu. Pikirannya membuana ke mana-mana. Hingga ia pun berpikiran agar menyuruh Ghazi segera menikahi anaknya walaupun hanya dengan mahar seadanya. Ibunya Najwa Detektif tidak mengaharapkan apa pun dari Ghazi. Cukup penuhi syarat seperti syarat pada umumnya pernikahan saja, usah pikirkan mahar yang mahal. Ibu Najwa Detektif lebih memikirkan kesehatan anaknya ketimbang mahar.

"Bilang ke Ghazi, pulang dan menikahlah dengan mahar seadanya." Begitu kata terakhir dari Ibu Najwa Detektif kepada teman-teman Najwa Detektif. Mereka pun segera mendatangi rumah Ghazi dan bertemu ibunya Ghazi untuk menyampaikan perintah dari ibu Najwa Detektif.

"Ghazi tidak pernah memberi tahu di mana ia berada. Tapi dia sering menelepon saya." terang ibunya Ghazi.

"Kalau nanti Ghazi menelepon, Ibu lagi. Tolong sampaikan kepdanya yang tadi ya, Buk?"

"Baiklah, Nak." Lalu mereka pun pamit.

Sudah puluhan kali ditelepon oleh Retno, Ratna, Siska dan Marwa. Ghazi tidak mau mengangkat telepon. Ia tidak pernah mengangkat telepon selain ibunya sendiri yang menelepon. Pernah mereke menelepon dengan nomor ibunya namun begitu Ghazi mendengar suara Retno, ia segera mematikan teleponnya.

Sudah pukul delapan malam, Ghazi belum menelepon untuk hari ini. Hingga akhirnya ibunya pun meneleponnya.

"Apa kabar, Ghazi?"

"Sehat Buk. Maaf, tadi Ghazi sedang menghidangkan kopi untuk pelanggan."

"Oh iya tidak apa-apa, Nakku. Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa tadi ada teman-temanmu yang kemari. Ibunya Najwa Nyuruh kamu pulang dan menikah dengan mahar seadanya."

"Tidak, Buk. Aku tidak akan pulang sebelum mengumpulkan mahar yang setimpal dengan besarnya rasa cintaku kepada Najwa Buk. Aku harus mengimbangi besarnya rasa cintaku untuk bidadariku nantinya Buk. Tolong sampaikan begitu pada teman-teman bila mereka datang lagi besok."

"Baiklah, Nak. Kamu jaga diri. Baik-baik di kampung orang ya?"

"Ya Ibukku sayang."

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam.." sahut Ghazi dari kampung Cemburu Dua. Kemudian ia pun kembali menghidangkan kopi kepada para pelanggannya. Ghazi semakin hari semakin tumbuh rasa cintanya untuk kampung yang ia tempati sekarang. Ia sudah merasa kampung itu seperti kampungnya sendiri dan masyarakatnya ia anggap seperti saudara kandungnya sendiri. Bahkan sangat mungkin sekali kalau bukan karena teringat ibunya dan mahar untuk orang yang ia cintai, maka ia akan lupa untuk kembali. Ghazi juga punya rencana setelah menikah nanti untuk merantau lagi ke kampung itu dengan sang istrinya Najwa Detektif.

Dua hari berikutnya Gunawan, Retno, Ratna, Siska dan Marwa datang dengan dua mobil ke rumah Ghazi. Mereka berharap Ghazi telah kembali. Namun ternyata tidak sesuai dengan dugaan, Ghazi belum juga kembali.

"Dia tidak pulang sebelum mengumpulkan mahar yang cukup. Begitulah anak saya, kalau sudah ia mulai sulit ia mengakhirinya sebelum tercapai."

Teman-temanya, mau tidak mau harus menyampaikan itu kepada ibu Najwa Detektif. Walaupun pahit, hal itu harus disampaikan juga.

Setelah mendengar penjelasan dari teman-temannya Najwa Detektif, ibunya pun segera menyampaikan pada pembantunya untuk masuk ke dalam kamar Najawa Detektif dengan tujuan menyampaikan kalimat dari Ghazi.

Ketika Najwa Detektif mendengar penjelasan pembantunya, tangisnya pecah, dan barang-barang yang di dekatnya juga ikut pecah-pecah. Gelas yang masih terisi air putih itu pecah berkeping-keping. Najwa Detektif mengacak-acak rambutnya yang aslinya lurus dan kini tak ubahnya seperti keribo alias keriting jumbo.

Andai kan saja desa yang Ghazi tinggali sekarang diketahui ibunya Najwa Detektif, maka ia akan segera membawa anaknya Najwa Detektif dan dinikahkan di sana.

***