webnovel

Kamu dan kenangan

Alena, wanita dengan penuh luka dihatinya harus bangkit berjuang seorang diri melanjutkan hidup di Ibu Kota. Meskipun dengan langkah yang tertatih, tapi ia harus bertahan sekuat-kuatnya. Mimpinya yang besar membuatnya harus menjadi wanita yang tahan banting. Ditengah perjalanannya menyembuhkan luka, Ia bertemu dengan Dicky, lelaki yang ia kira dapat membantunya keluar dari masa lalu. Merajut mimpi bersama, membangun kisah yang indah, menjalani hari bahagia, namun apa jadinya jika Dicky justru menjadi orang yang menambahkan luka dihatinya? Akankah Alena kuat bertahan? Atau kalah dengan keadaan?

Alinda_Ville · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Januari

Alena berjalan menuju halte busway dengan setengah berlari, mengejar jadwal pemberangkatan sambil mengelap rambutnya yang basah karena rintikan air hujan.

Alena berhenti tepat didepan papan pemberitahuan jadwal keberangkatan, tapi kali ini tatapannya kosong. Ia kembali teringat rasa sakit yang ada didalam hatinya.

Bagi Alena, semua lelaki sama saja. Tukang selingkuh, dan tidak bisa menghargai perempuan. Setidaknya itulah lelaki-lelaki yang ia temui selama 22 tahun di dalam hidupnya.

Memang bukan suatu hal yang mudah untuk ia melanjutkan hidup, dengan status "janda" di usia muda, Alena harus berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan menepis omongan orang diluar sana.

"Lebak bulus, lebak bulus!!!!" teriak salah satu penjaga. Membuyarkan lamunan Alena.

Ia bergegas beranjak dan segera menaiki busway sambil mengusap air mata yang dari tadi membasahi pipinya.

Hujan membuat melow bagi siapapun yang sedang bergelut dengan hatinya.

4 tahun sudah usia pernikahan Alena ternyata tidak membuat satu sama lain saling mengerti. Ada rasa sakit yang teramat dalam yang tak bisa diucapkan oleh kata.

"Lo harus ngerasain lebih sakit dari gue, Gis! Harus!" gumam Alena.

~~~

"Kamu maunya gimana? kita udahan aja, masing-masing aja dari pada bersama tapi kita saling menyakiti" Ucapan Agis bagaikan sebuah pisau yang menusuk tepat dijantungnya.

Alena terdiam sejenak. Berfikir kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Yaudah kalo itu mau kamu, ok." hanya itu yang keluar dari mulut Alena.

Entah mengapa Alena mengiyakan permintaan lelaki bajingan itu untuk berpisah. Tak ada kalimat penahanan apa lagi pertanyaan apakah semua masih bisa diperbaiki?

Jauh dalam lubuk hatinya, Agis adalah lelaki yang paling ia cintai. Bahkan Alena jauh lebih mementingkan kebahagiaan Agis dari pada dirinya sendiri. Entah sudah berapa banyak ia berkorban, tetapi ternyata ketulusan saja tidak cukup dimata Agis. Kebaikan Alena terabaikan. Dan itu membuat dadanya sesak.

3 Tahun lalu, hal ini pernah terjadi. Kisahnya dan Agis sempat juga diujung perpisahan. Namun bedanya, saat itu Alena bersikeras mempertahankan rumah tangganya. Ia bahkan sampai mengemis dan memohon agar tidak ditinggalkan oleh Agis. Saat itu bagi Alena, Agis adalah dunianya. Bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan hidup tanpa separuh dari jiwanya?

Tetapi hari demi hari, dengan seiring perlakuan Agis selama menikah, membuat Alena kali ini mencoba untuk mengikhlaskan. Tak ada lagi Alena yang meraung-raung bertekuk lutut memohon untuk dikasihani agar tidak ditinggal pergi.

Tak ada lagi Alena yang menjatuhkan harga dirinya demi mempertahankan rumah tangganya.

Yang Alena ingat saat ini hanyalah keburukan dari seorang Agis. Betapa bodohnya ia selama ini mempertahankan seorang pria yang tidak pantas untuk dipertahankan. Semua hal menyedihkan datang silih berganti dalam ingatan Alena.

Agis yang mendorongnya saat ia sedang hamil sampai keguguran, Agis yang membentaknya dengan keras, Agis yang selalu membandingkannya dengan wanita lain, dan Agis yang diam-diam bermain dengan perempuan lain dibelakangnya selama ini.

Bukan, bukan karena Agis tidak punya sisi baik, tapi bukankah Alena juga punya sisi baik? Dan itu tidak terlihat dimata Agis.

"Mba boleh minta kursinya untuk ibu hamil?" ucap penjaga busway pada Alena. Alena tersontak, terbuyar lamunannya. Buru-buru Alena bangkit sambil menyeka airmata dan tersenyum mempersilahkan ibu hamil yang menunggunya.

"Oh iya mas, silahkan bu" jawab Alena.

~~~

"Len lo beneran cerai sama suami lo?" ujar Diana penuh tanya.

Alena hanya mengangguk sambil menyuruput hot coffee yang ada ditangannya.

"Emang udah gak bisa diperbaikin lagi, Len?" Jawab Diana.

"Ya lo kan udah lama, seenggaknya sayang kalau harus diakhirin gitu aja." Lanjut Diana, sambil menatap dalam ke arah Alena.

Alena menghela nafas panjang. Kemudian ia menatap sahabatnya itu dengan tatapan sedih. Diana tau, ada rasa sakit dibalik sana yang teramat dalam.

"Na, bukan gue yang minta perpisahan ini. Gue gak bisa nahan orang untuk tetap bersama gue, udah cukup 4 tahun ini berarti gue gak baik dimata dia kan?" Jawab Alena sambil tersedu. Airmatanya jatuh perlahan. Tak ada yang mudah dalam perpisahan. Apapun bentuknya, perpisahan itu menyakitkan.

"Sayaaaang... sabar ya..." Diana memeluk erat Alena. Disana ia temukan kehancuran. Perempuan yang selama ini ia kenal ceria dan periang ternyata menyimpan banyak luka dihatinya.

"Lo gak akan pernah bahagia Gis." Gumam Diana.

~~~

Alena menggelar sajadah, rokaat demi rokaat yang ia tunaikan dalam sholat selalu banjir dengan airmata. Saat ini hanya penciptanyalah tempat ia mengadu, bagi Alena ini adalah cara terbaik untuk menenangkan hatinya.

"Ya Allah.. Ya Tuhanku.. engkau yang paling tau akan Hamba-HambaMu, berikanlah aku kekuatan untuk melewati segala kepahitan hidupku, YaAllah.. Demi Allah selama hatiku tidak ikhlas, tolong jangan pernah buat siapapun yang menyakitiku bahagia ya Allah.. sebaik-baiknya balasan adalah balasanMu ya Rabb.." Ujar Alena dipenghujung doa.

Tetapi kemudian ia terpuruk kembali dalam lamunan, teringat saat masih bersama Agis, ia pernah menunaikan ibadah bersama. Saat itu rasanya begitu indah. Layaknya rumah tangga yang sakinah mawwadah warrohmah, manis sekali untuk dikenang. Sulit memang mencintai dan membenci satu orang dalam waktu yang bersamaan. Tapi semua harus dilewatkan. Berjalan, kembali menata hidup. Melupakan orang yang sudah membuangnya seperti sampah.

"Suatu hari, kau akan rindu denganku. Dan saat itu, rindumu takkan berarti lagi, karena aku sudah dimiliki yang lain."

~~~

Tok-Tok-Tok..

Suara ketukan pintu membangunkan Alena dari tidurnya.

"Iya bentar..." teriak Alena dari dalam.

Sial. Kenapa harus dia yang datang.

"Mau ngapain?" tanya Alena ketus. Ya benar, lelaki yang kini berdiri dihadapannya adalah Agis. Dengan wajah penuh kebencian Alena menatap ke arah Agis.

"Gue kan cuma mau ambil baju. Baju-baju gue masih disini kan?" Jawab Agis.

Alena berjalan mengikuti Agis dari belakang. Jauh dalam hatinya, Alena berharap Agis mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Alena berharap semua kembali bisa diperbaiki. Ternyata cinta yang tersisa dihatinya masih teramat besar.

"iiiiih.. gue mikir apaan sih! Gila aja! enggak-enggak. Sadar, Len.. orang yang ada didepan lo sekarang itu yang udah ngehancurin lo berkali-kali!" gumam Alena dalam hati.

"kapan lo pindah?" tanya Agis sambil menyeruput segelas kopi kemudian terduduk di sofa ruang tamu.

"mana gue tau. Lo udah ngurus surat perceraian kita?" Ujar Alena, penuh tanya.

"Belum lah, ngurus cerai pakai duit, Len. Gue belum ada duitnya"

Alena menarik nafas dalam-dalam. Bisa-bisanya sebuah perceraian dijadikan mainan.

"Lah, elu gimana sih?! Harusnya ya sebelum ngomong cerai udah dipersiapin dong semuanya. jangan seenak jidat lo!" Ujar Alena dengan nada sedikit berteriak.

"Halah lo tuh cuma bisa bacot doang! Coba lo dong yang urus, kan lo punya duit! Jangan semuanya lo beratin ke gue! Bisanya cuma marah-marah doang!" Jawab Agis, sambil berjalan keluar kemudian...

BRAAAAAAK!

Suara pintu terbanting menggelegar seisi rumah.

Alena terdiam disudut ruangan.

Sambil menatap kearah langit-langit, ia berkata..

"Apakah hidupku harus semenyedihkan ini, Tuhan?"

kemudian hening.....