webnovel

Kacamata Untuk Emily

Julian, bocah miskin yang tinggal bersama neneknya didesa, memiliki seorang teman yang bernama Emily, gadis lugu berkacamata yang berasal dari keluarga mampu. Mereka berteman dari kecil hingga dewasa. Namun saat SMA, Emily, tiba-tiba pergi meninggalkan Julian tanpa penjelasan, membuat luka mendalam di hatinya. Bertahun-tahun kemudian, Julian bangkit dari keterpurukan. Kini, dia bukan lagi anak miskin yang diremehkan, melainkan pria sukses dengan karier gemilang dan bisnis yang berkembang pesat. Dia juga memiliki ambisi untuk mendirikan perusahaannya sendiri. Namun, ketika hidup Julian sudah berubah, Emily kembali hadir dalam kehidupannya, namun kali ini dengan nasib yang berbalik. Apa yang membuat Emily kembali datang ke kehidupan Julian? Lalu bagaimanakah kisah mereka didalam menghadapi bayang-bayang masa lalunya? Dan konflik apa saja yang akan ditemui Julian dalam menggapai cita-citanya untuk mendirikan perusahaannya sendiri? Ikuti kisah selengkapnya di dalam Novel ini. Novel Kacamata untuk Emily ini memadukan berbagai genre meliputi "Romance, Slice of Life, Remaja, Pengembangan karir, CEO dan Bisnis Fiksi." Dibalut dengan gaya penulisan menggunakan sudut pandang orang pertama dan dialog yang ekspresif serta progress cerita yang "slow pacing" membuat novel ini dapat memberikan pengalaman membaca yang lebih emosional, realistis, dan imersif. [NOTE] Tentang novel ini: Disini anda akan dibawa seolah-olah menjadi sang MC, karena novel ini ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Nikmati bagaimana tokoh tersebut menjalani kehidupannya didalam cerita dan rasakan pengalaman emosionalnya seperti saat merenung, merasakan sesuatu, dan bereaksi terhadap sebuah situasi. Bukan hanya itu, Novel ini juga menggunakan dialog sebagai pembentuk dan penggerak cerita sehingga suasana cerita terasa lebih realistis dan dinamis. Lalu, Novel ini juga memiliki set progress cerita "Slow Pacing" yang akan membuat para pembaca merasakan bagaimana hubungan tiap karakter tumbuh dan berkembang secara lebih dalam pada tiap bab. Alih-alih mengejar Plot yang cepat, Pembaca justru dapat menikmati detail setiap adegan, gerak tubuh, ekspresi wajah, bahkan keheningan di antara para tokoh secara kompleks. Biarkan cerita terungkap secara perlahan. Resolution sering akan anda temui diakhir bab sebagai kesimpulan perkembangan sang MC dalam cerita. Karena plot novel ini memang fokus kepada sang MC. Semoga ini bisa memberikan pengalaman membaca yang unik dan bermakna bagi para pembaca Novel "Kacamata Untuk Emily"

TriYulianto · Teen
Not enough ratings
11 Chs

BAB 6. MALAM YANG TENANG

CHAPTER 6-1 MENDEKORASI KAMAR BARU

Sesampainya pulang dari swalayan, kami segera membawa masuk semua barang belanjaan ke dalam rumah. Aku membantu membawakan beberapa perlengkapan tidur ke kamar yang akan menjadi tempat tinggal Emily.

Emily kemudian mulai menata kamar kecil itu dengan menyusun kasur lipat, bantal, guling, sprei, dan baju yang baru kami beli. Meskipun hari ini penuh dengan kejutan emosional, Emily tampak lebih tenang sekarang.

Emily mulai mengambil kasur lipat dan membentangkannya di sudut ruangan sambil memastikan bahwa kasur tersebut rata dan tidak ada bagian yang terlipat. Setelah itu, dia meletakkan bantal dan guling dengan rapi di atas kasur, mengatur posisinya agar terlihat menarik. Selanjutnya, dia memasang sprei pada kasur, merapikannya agar semua sudut terlihat rapi dan teratur.

Selesai dengan kasur, Emily lalu membuka tas belanjaan dan mengeluarkan seluruh baju. Dia menggantungnya di lemari bekas yang sudah dibersihkan tadi sore, mengatur warna dan jenis pakaian agar terlihat menarik dan terorganisir.

Sambil menemani Emily yang sibuk menata dan mendekorasi kamar tidurnya, aku mengajaknya mengobrol santai dengan bahasan yang sederhana. Sesekali aku melemparkan candaan tentang kenangan lucu pada masa kecil kami. Emily tertawa mendengarnya diselingi dengan melipat beberapa pakaian.

Julian: "Hei, kau ingat waktu kita masih kecil? Saat kita pergi di pinggir sawah, aku pernah membuatkan mu boneka jerami. Tapi kau malah lari sambil teriak-teriak seperti dikejar hantu."

Emily: (Memalingkan muka, tersenyum malu), "Astaga... Aku tak mau mengingat soal itu. Boneka jerami buatanmu itu menyeramkan, Julian!"

Julian: (Tertawa), "Seram? Itu cuma beberapa potongan jerami yang ku susun dengan dua kancing baju sebagai mata, dan kau benar-benar ketakutan sampai menangis!"

Emily: (Sedikit cemberut), "Bukan masalah kancingnya, tapi cara kau membuat tangannya itu, terlihat seperti mau menerkam! Ku pikir dia akan hidup dan mengejar ku."

Julian: (Masih tertawa), "Hahaha... Kau lucu sekali... Takut dengan boneka jerami. Bahkan sampai sekarang aku masih mengingat wajah jelek mu saat lari ketakutan."

Emily: (Tersipu malu), "Ya ampun, aku kan masih kecil waktu itu! Mana aku tahu kalau boneka itu nggak akan bergerak."

Julian: "Tapi kau lari kencang banget! Padahal aku cuma mau kau menyentuh boneka jeraminya."

Emily: (Menyeringai sambil menyilangkan tangan didada), "Ya, dan selamat. Kau berhasil menciptakan trauma masa kecilku, Julian. Monster boneka jerami mu adalah musuh bebuyutan ku."

Julian: "Dia bukan monster, Emily. Dia juga punya nama, Aku memberinya nama Crowsbane!"

Emily: "Kurasa nama itu terlalu keren deh, untuk sebuah boneka jerami."

Julian: "Padahal waktu itu, Crowsbane hanya ingin bersama-sama dengan kita."

Emily; "Itu karena kau saja yang menganggap boneka jerami adalah sahabatmu. Sampai setiap hari kau selalu membawanya kemana-mana. Membuatku merinding."

Julian: "Tentu saja, selain dirimu, Crowsbane adalah temanku juga."

Emily: (Menyipitkan mata), "Yah, tapi untung saja, dia segera menghilang dari hadapanku."

Aku menatap Emily dengan menyeringai nakal, mencoba menakutinya.

Julian: "Kau ingin tahu... Mungkin dia... Saat ini... Masih di kebun... Menunggumu... Emily~"

Emily mengerutkan dahinya, melirik ku sambil menggembungkan pipi lucunya.

Emily: "Jangan coba-coba menakut-nakuti ku, Julian!"

Kami berdua pun tertawa lepas setelahnya. Sesekali dia menatap ke arahku dengan tatapan yang lebih ceria. Namun, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari caranya melihatku kali ini, seolah ada perasaan hangat yang terpancar dari kedua bola matanya.

------

CHAPTER 6-2 TAKDIR YANG MEMPERTEMUKAN KITA BERDUA

Di tengah obrolan canda tawa kami, aku penasaran bagaimana cara dia bisa mengetahui rumahku.

Julian: "Oh ya, ngomong-ngomong Emily, dari tadi aku penasaran. Bagaimana kau bisa tahu alamat rumahku?"

Emily berhenti sejenak dari melipat baju, menatapku sambil duduk di tepi kasur yang baru saja ditata. Dia menghela napas, lalu mulai menceritakan apa yang terjadi.

Emily: "Sebenarnya, aku sudah melihatmu sejak kemarin malam, Julian."

Julian: "Kemarin malam?"

Emily: "Aku berada di salah satu kedai ramen mu. Aku tidak tahu itu milikmu pada awalnya. Lalu, aku melihatmu di sana. Aku sempat terkejut dengan perubahan dirimu. Namun, aku masih bisa mengenalimu. Di saat ingin menyapa, kau sudah terlanjur pergi terlebih dahulu."

Julian: "Jadi, kamu sudah mampir ke kedai ramen ku?"

Emily: (Mengangguk), "Iya. Setelah kau pergi, untuk memastikan aku bertanya pada salah satu pegawai di sana. Mereka bilang bahwa kedai itu memang milikmu. Bosnya bernama Julian. Jujur, aku tak menyangka saat tahu kalau bosnya ternyata kau. Aku bahkan berpikir, 'Apa ini benar-benar Julian yang kukenal dulu?'"

Julian: (Tertawa), "Hahaha... Aku memang tidak terlihat seperti bos, ya?"

Emily: "Bukan begitu... Kau benar-benar membuatku kagum, Julian. Dari dulu yang dianggap remeh, sekarang kau bisa berkembang seperti ini."

Julian: (Tersipu malu, menggaruk kepala), "Ah, jangan dibesar-besarkan, Emily. Aku cuma berusaha sekuat tenaga. Masih banyak yang harus ku pelajari."

Emily: "Tapi tetap saja, kau pantas bangga dengan hasil pencapaian mu ini."

Julian: "Terima kasih, Emily. Lalu, apa yang kau lakukan di kedai ku setelah itu?"

Emily: "Aku bertemu dengan manajer mu, seorang pria tua di kedai itu. Kalau tidak salah, namanya Reno."

Aku tersenyum senang saat mendengar nama Reno.

Julian: "Oh... Kau bertemu dengan paman Reno, ya?"

Emily: "Paman?"

Julian: "Aku menganggapnya sudah seperti keluargaku sendiri. Dia adalah orang yang sangat penting bagiku."

Emily: "Saat itu kami sempat mengobrol dan membahas banyak hal tentang dirimu. Ia juga bilang bahwa sudah lama mengenalmu."

Julian: "Tentu saja. Dia selalu membantuku selama ini. Bahkan kedai ramen yang aku rintis itu pun hasil kerja keras kami berdua."

Emily: "Aku tahu, karena itu kau mempercayakan kepadanya untuk mengelola kedai tersebut, kan?"

Julian: "Tepat sekali. Jadi, paman Reno yang memberitahu rumahku?"

Emily: "Benar... Aku bertanya padanya tentang alamatmu, dan dia memberitahu ku setelah yakin aku tidak punya niat buruk."

Julian: "Tak heran kenapa dia mau membantu mu. Dia orang yang selalu peduli dengan orang lain."

Emily: (Tersenyum kecil), "Aku tahu dia orang yang baik. Pak Reno juga menawarkan ku untuk menginap di sana malam itu. Dia melihat bahwa aku tidak punya tempat bermalam. Jadi, aku sempat menginap di kamar kecil belakang kedai."

Julian: "Benarkah? Memang disana aku sengaja membuat kamar khusus untuk karyawan. Namun, karena karyawanku kebanyakan dari orang lokal, maka kamar tersebut kosong tak ada yang menempati."

Emily: "Oh... Begitu. Terus aku juga sudah mencicipi ramen milikmu."

Julian: "Oh, ya? Jadi... Apa pendapatmu?"

Emily: "Itu sungguh enak sekali, tak heran kenapa kedaimu ramai pengunjung."

Julian: (Tersenyum lebar), "Terima kasih atas review positif nya, Emily..."

Emily: "Ti-tidak masalah... Lagipula aku ditawari gratis kok."

Julian: (Tertawa kecil), "Hahaha... Kau itu jujur sekali. Lalu, di pagi harinya kau memutuskan untuk datang menemui ku?"

Emily: (Mengangguk), "Iya. Setelah diberikan sarapan, aku berterima kasih kepada pak Reno dan mengatakan padanya akan segera mencari alamatmu. Tapi, beliau malah mengantarkan ku sendiri sampai didepan rumahmu."

Julian: "Huh? Kau diantar paman Reno kemari? Kenapa dia tidak sekalian mampir?"

Emily: "Dia bilang sedang ada urusan, makanya dia tidak ikut berkunjung."

Aku menarik napas panjang, menyadari betapa beruntungnya Emily bisa bertemu dengan paman Reno yang membuat kami berdua bisa bertemu sekarang ini.

Julian: "Aku senang kau bisa bertemu dengan paman Reno."

Emily tersenyum lembut, menunduk sejenak sebelum menatapku kembali.

Emily: "Aku berhutang budi padanya. Kalau bukan karena bantuan pak Reno, aku mungkin tidak akan bisa bertemu denganmu secepat ini. Dan mungkin, malam ini aku harus tidur dijalanan.

Julian: "Untung saja hal itu tidak sampai terjadi."

Emily: "Aku juga...  Tak mau hal itu terjadi..."

Sejenak aku terdiam, membayangkan bagaimana dia bisa bertahan dengan nasib yang sudah dia lalui selama ini, sebelum bertemu denganku. Pikiranku membuat jeda keheningan diantara kami.

Emily: (Dengan nada penasaran), "Ada apa, Julian? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?"

Julian: "Maaf, Emily... Tapi, bagaimana caramu bertahan selama ini?"

Emily menunduk. Ada keraguan yang terpancar di wajahnya.

Emily: "Sebenarnya... Aku malas membahas itu. Tapi jika kau ingin tahu...Baiklah..."

Aku melihat bagaimana Emily tampak tertekan dengan pertanyaanku. Dengan cepat aku mencoba menenangkannya.

Julian: "J-jika kau tak mau membicarakannya, tidak masalah. Aku tidak akan memaksa mu untuk menjelaskannya, kok."

Emily: "Tak apa... Biar aku ceritakan padamu."

Perlahan, Emily mulai bercerita tentang kesulitan yang ia hadapi, meski suaranya terasa berat untuk mengutarakan.

Emily: "Setelah diusir dari kontrakan dan rumahku dijual oleh ayahku, aku mulai menghubungi beberapa teman yang masih bisa ku hubungi. Aku menumpang di rumah mereka sementara waktu, sambil terus berusaha mencari pekerjaan. Sayangnya, tidak ada perusahaan yang mau menerimaku. Bahkan pekerjaan kecil pun juga menolak ku. Kemudian mereka yang aku tumpangi mulai merasa tidak nyaman dan mengusirku, menganggap aku hanya benalu bagi mereka. Akhirnya, aku harus hidup berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain, baik teman maupun saudara. Pada akhirnya aku menjual semua barang yang kumiliki, laptop, tas, buku, handphone, bahkan pakaian untuk bertahan hidup."

Emily menunduk sedikit, suaranya mulai melembut.

Emily: "Aslinya, aku ingin mencarimu, Julian... Tapi aku tidak tahu alamatmu. Jadi saat itu aku hanya bisa menghubungi siapa pun yang masih bisa dihubungi, berharap ada yang bisa menolong. Tapi setelah semua pintu tertutup, akhirnya aku bertekad mencarimu."

Julian: (Bersuara lembut), "Hal itu pasti berat sekali untukmu."

Emily: (Menunduk sejenak), "Iya, itu memang berat... Setiap kali aku berpindah dan memohon, aku seakan kehilangan arah dalam hidup ini. Tapi aku bertahan. Dan..."

Suara Emily sempat terhenti sebelum dia menyelesaikannya kalimatnya."

Julian: "Dan?"

Emily: (Tersendat), "Dan... Kalau kau juga mengusirku, maka...  Aku mungkin akan benar-benar menghilang dari dunia ini."

Mataku terbelalak kaget saat dia mengucapkan kalimat itu. Raut wajah Emily kini tampak kembali bersedih. Tanpa pikir panjang, aku meletakkan kedua tanganku di bahunya, meyakinkan dia untuk tidak berlarut dalam hal ini.

Julian: "Hentikan pikiran bodoh mu, Emily! Kau asistenku sekarang... Dan mulai saat ini, disinilah tempatmu untuk pulang. Paham?!"

Matanya berkaca-kaca, dia tersenyum kecil sambil mengangguk.

Emily: "Uhm... Paham."

Julian: "Baik. Jadi jangan pikirkan soal itu lagi, ya?"

Emily: "Terima kasih, Julian. Tapi, bukannya kau sendiri tadi yang ingin membahas soal itu?"

Julian: "Ah... Iya... Maafkan aku."

Setelah mendengar cerita dari Emily, aku merasa jika takdir kami terhubung satu sama lain. Bukan hanya di masa lalu, namun juga pertemuan yang membawa kami kembali bersama Ini terjadi melalui cara yang tak terduga.

Julian (Tersenyum), "Sepertinya, takdir punya caranya tersendiri ya, untuk mengatur kehidupan."

Emily: "Kenapa kau tiba-tiba berpikir seperti itu?"

Julian (Sambil tersenyum), "Entahlah, cuma terasa aneh saja. Kita dulu sempat berpisah begitu lama, dan sekarang tiba-tiba bertemu lagi di momen yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan."

Emily "Mungkin... Takdir memang suka bermain-main."

Julian: "Dan lihat di mana takdir membawa kita sekarang ini, kau dan aku sama-sama disini. Seperti potongan puzzle yang akhirnya bertemu lagi."

Emily: (Tersenyum tipis), "Apa menurutmu seperti itu?"

Aku mengangkat kedua tangan ku sedikit di samping bahu dengan telapak tangan terbuka ke atas dalam gestur humor.

Julian: "Siapa yang tahu?"

Emily tersenyum lebih lebar melihat gestur ku, lalu menggelengkan kepala perlahan.

Emily: "Kau ini... Sama sekali tak berubah, Julian. Selalu membuat hal yang rumit terdengar mudah."

Julian: (Tertawa pelan), "Yah, mau bagaimana lagi. Aku itu orang yang simpel kok. Jadi, kalau bisa dibuat santai, kenapa tidak?"

Emily: (Mengangkat alis, tersenyum nakal), "Santai? Kau bisa bilang begitu sekarang. Tapi aku masih ingat jelas saat kau panik gara-gara tak bisa mengerjakan PR matematika dulu. Sampai memohon-mohon padaku."

Julian: (Membalas dengan nada bercanda), "Hei, itu karena kau tidak membantuku menjelaskan soal-soal rumit waktu itu. Aku butuh 'rumus berjalan' ku."

Emily tertawa keras mendengar itu, menutup mulutnya dengan tangan sambil mencoba menahan tawa.

Emily: "Rumus berjalan? Astaga, Julian. Sudah lama sekali aku tak mendengar sebutan itu... Kau benar-benar nggak berubah ya!"

Aku tersenyum, menikmati suasana yang semakin santai di antara kami, sembari merasa lega melihat Emily yang lebih tenang dan tertawa lagi.

Setelah Emily selesai menata kamarnya, kami berpisah untuk beristirahat.  Malam ini, aku merasakan perasaan nyaman dan damai memenuhi rumah. Kami baru saja memulai babak baru dalam hidup kami.

[Bersambung ke BAB 7]