Ardo keluar dari ruangan tersebut dengan lemas setelah ia di suruh keluar oleh guru di sana, ia tidak tahu nasib Aarun selanjutnya tapi ia berharap semoga sahabatnya itu di beri keadilan dan juga tidak di anak tirikan oleh guru-guru di sana.
Ardo memutuskan menunggu Aarun di luar karena ia tidak mungkin masuk kelas lagi pasti ia akan ketahuan bolos mata pelajaran.
Aarun juga telah keluar bersama ayah dan ibunya, Riany langsung menarik tangan Aarun untuk mengajak anaknya menjauhi Harry, mereka berhenti di dekat tangga yang masih sepi, wajah Riany penuh amarah, sangat jelas di matanya jika dia sedang emosi, matanya sampai merah dan melotot, Aarun tidak pernah melihat tatapan ibunya yang seperti itu.
"Kenapa kau lakukan ini pada ibu?" tanya Riany seolah mengintimidasi.
"Aku tidak berniat apa-apa terhadap ibu, aku hanya ingin agar si tua bangka itu menunjukkan batang hidungnya itu saja," ucap Aarun enteng, setelah tahu jika selingkuhan ibunya adalah Tuan Roberto, Aarun langsung kepikiran cara ini.
"Kau tidak sadar sudah mempermalukan ibu?" tekan Riany sepertinya kemarahannya tak bisa ia bendung lagi.
Aarun terdiam ia menunduk memperhatikan lantai putih dengan mata kosongnya, ia tahu jika pasti ibunya akan malu apalagi seluruh guru sudah tahu akan masalah ini, tapi hanya inilah jalan satu-satunya yang bisa Aarun lakukan.
"Kau tidak sadar, hah!" bentak Riany lagi.
"Aku tidak pernah berpikir soal itu Bu, aku hanya memikirakan soal Tuan Roberto," jawab Aarun berbohong.
"Kau itu masih anak-anak, jadi kau tak usah ikut campur persoalan orang tuamu!"
"Apa ibu tidak pernah memikirkan perasaan anak, atau ibu berpikir jika anak hanya sebuah robot yang seenaknya ibu buat lalu mengira kami tidak punya perasaan!"
Plaaakk!.
Harry yang melihat anaknya ditampar langsung berlari dan menahan Riany yang hampir saja menampar Aarun dua kali, Ardo juga memperhatikan pertengkaran itu dari kejauhan, ia syok berat setelah melihat Aarun ditempar oleh ibunya sendiri, rasanya sangat menyedihkan.
"Riany cukup!" tegur Harry, pria kurus itu menarik tangan Riany untuk keluar dari sekolah itu.
"Aarun ayah pulang dulu, tolong maafkan ibumu," bisik Harry pelan sebelum pergi dari sana.
Aarun memegangi pipi kirinya, ia tidak menyangka jika ibunya akan setega itu menamparnya. "Aarun kau tak apa, kan? Tanya Ardo khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab Aarun singkat.
Ardo masih terlihat khawatir "Lalu bagaimana hasilnya?"
Aarun berpikir sebentar sebelum menjawab "Tidak ada apa-apa cuma aku harus didenda sekitar 200 dollar."
"Du-dua ratus dollar karena memukul Vino!" kaget Ardo.
"Aku memukulnya dua kali jadi semuaya dua ratus dollar," lanjut Aarun.
"Hah! Jadi maksudmu kau juga membayar pukulan saat dirumah Eugene itu dan juga pukulan di kelas 3-1?"
Aarun menghela napas lalu berjalan mendahului Ardo "Ya begitulah," ucapnya.
Ardo berjalan di samping Aarun mereka menuju kantin "Lalu dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Ardo lagi.
"Ayahku sudah membayarnya lunas tadi."
"Jadi begitu, lalu bagaimana orang tuamu dan orang tua Vino?"
Aarun berhenti dan berbalik melihat sahabatnya itu "Mereka akan bertemu setelah ayahku mengantar ibu pulang, sekarang Tuan Roberto masih ada diruangan tadi, awas saja kalau dia mengingkari janjinya!" tegas Aarun.
Ardo hanya mengangguk mengerti, ia juga tidak bisa berbuat apapun, yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa dan berharap sahabatnya bisa cepat mendapatkan jalan keluar yang baik.
****
Setelah selesai membereskan rumah, Hannah masuk dikamar untuk melihat keadaan adiknya
"Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" Hannah kemudian duduk pinggiran kasur, Linzy tersenyum pada Hannah "Iya, mungkin besok aku bisa bekerja lagi," jawabnya.
Eugene juga ikut bergabung di kasur bersama Hannah "Linzy harus sembuh total dulu baru kembali bekerja seperti biasa lagi," ujar Eugene yang di balas Linzy dengan sebuah anggukan.
Hannah mengulurkan tangannya lalu menyentuh dahi Linzy dengan punggung tangannya "Sepertinya panasnya sudah mulai reda," lirihnya.
"Aku akan membuatkanmu susu hangat, tunggu sebentar." Hannah bergegas ke dapur meninggalkan Eugene dan Linzy yang sedang mengobrol.
Sebagai kakak yang baik, Hannah sangat memperhatikan adik-adiknya, ia yang selalu merawat Eugene dan Linzy walau pun mereka cuma beda setahun saja, sudah sedari kecil ia hidup menderita, ia tahu rasanya sakit, ia tahu rasanya tidak punya uang, ia tahu rasanya di perlakukan tidak baik, itulah mengapa ia selalu bersikap baik pada orang-orang yang ia sayangi.
Gadis itu mengambil teko lalu memanaskan air dengan gesit, tangannya membuka lemari kecil tempat biasanya ia menyimpan bumbu-bumbu dapur lalu mengambil kaleng berwarna putih dengan gambar seekor sapi.
Tapi wajahnya seketika berubah kecewa setelah melihat kaleng itu kosong "Yah, susunya habis," gumamnya.
Hannah terlihat berpikir lalu melirik sebuah laci, gadis itu ingat jika ia pernah menyimpan uang disana, tapi ingatannya samar-samar "Aku pernah menyimpan uang disana mungkin cukup untuk beli susu tapi apa aku sudah ambil ya? Ah aku bingung." Hannah yang ragu mencoba mendekati laci dan membukanya.
Ia mengacak-acak laci yang berisikan benda-benda seperti alat tulis dan juga buku-buku bekas yang sering mereka pungut di jalanan tapi Hannah tidak menemukan uang sedikitpun.
Hannah mencari ditempat lain, ia menelusuri ruangan di rumahnya hingga mencari dibawa meja ataupun tempat yang sulit di jangkau siapa tahu ada uang yang jatuh disana tapi ia cuma menemukan koin yang tentunya tidak cukup untuk Hannah beli susu.
Hannah tidak menyerah, ia kembali mencari di kantong-kantong celana ataupun baju, siapa tahu ada koin yang bisa mencukupkannya beli susu tapi ternyata tidak ada.
Gadis itu dengan terpaksa keluar rumah meski hari sudah malam, ia membuka pintu kamar sedikit dan muncul di daun pintu "Aku keluar beli susu dulu ya," izinnya.
"Apa aku perlu menemani Kakak?" tawar Eugene.
"Ti-tidak usah Eugene, aku cuma sebentar kok" Hannah langsung menutup pintu sebelum Eugene dan Linzy makin banyak tanya.
Dengan cepat, ia mengambil piano kecil yang sering ia bawa lalu keluar dari rumah sebelum ketahuan, ia terpaksa mengamen untuk mencukupi uang yang ia dapatkan tadi.
Hannah pikir, mungkin tidak ada salahnya mengamen untuk membeli susu, semoga malam ini ia bisa mendapatkan uang yang cukup.
Hannah berlabuh di depan mini market, di pikirannya hanyalah setelah selesai mengamen dan mendapatkan uang untuk beli susu ia akan langsung masuk ke mini market dan membelinya lalu pulang.
Gadis itu berdiri di tengah orang-orang yang lalu lalang, entah kenapa ia terlihat menyedihkan, ia tidak sepercaya diri itu saat mengamen seperti hari-hari biasanya, mungkin saja ia sedih dan sedikit tertekan, ia memperhatikan gadis seumurannya yang sedang berjalan santai keluar restoran depan mini market, gadis itu membawa banyak barang dan juga sekotak makanan yang ia bawa pulang. Beda dengan dirinya yang sedang berjuang untuk membeli sekaleng susu saja.
Air matanya sudah tertumpuk rasa ingin cepat keluar dari ujung matanya, tapi untuk apa ia terus meratapi nasibnya. Sudah terlalu banyak iri yang ia pendam apalagi dengan gadis sebayanya, ia hanya ingin hidup sederhana yang berkecukupan, ia tidak butuh mewah asalkan cukup tapi kenapa sepertinya pintu rezeki tidak pernah terbuka untuknya.
Akhirnya air mata yang sedari tadi ia kumpulkan akhirnya pecah juga. Hannah mulai bernyanyi di iringi pianonya, suaranya bergetar menahan air mata yang terus keluar tapi ia tetap terus bernyanyi.
"Have you seen my Childhood?
I'm searching for the world that I come from.
'Cause I've been looking around.
In the lost and found of my heart...
No one understands me.
They view it as such strange eccentricities...
'Cause I keep kidding around.
Like a child, but pardon me..."
~Michael Jackson - Childhood.