webnovel

Hujan

"Jadi Aarun sedang mencari ibunya," ucap Hannah yang kini memegang photo seorang perempuan dengan rambut pendek yang sedang duduk bersama seorang anak perempuan yang menggunakan seragam sekolah mirip dengan seragam sekolah Aarun.

Eugene menunjuk gadis SMA tersebut seolah sedang bertanya tentang gadis itu "Itu kakakku, aku hanya punya photo ibu dengan kakak makanya hanya photo itu yang bisa ku bawa," jelas Aarun yang langsung di angguki ketiga gadis cantik itu.

"Sudah tiga hari ibu Aarun meninggalkan rumah," lanjut Ardo.

"Tepatnya saat kami pulang dari rumah kalian, tiga hari yang lalu-" sambung Aarun memperjelas.

"Nah, itu benar," potong Ardo.

Ketiga gadis itu kembali mengangguk paham "Tapi kenapa dia pergi?" Linzy melihat pada Aarun, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya, namun Aarun malah menunduk seolah tidak ingin membicarakan alasannya.

Sejujurnya Aarun malu untuk memberitahu alasan ibunya pergi, menurutnya itu adalah aib keluarganya, ia bingung antara ingin memberitahu atau tidak, ia benar-benar dilema.

Hannah juga menatap Aarun yang tepat duduk disampingnya, Hannah mengerti jika Aarun belum siap menjelaskan masalah keluarganya apalagi pada orang asing seperti mereka "Tak usah dijelaskan jika kau belum siap, yang terpenting sekarang adalah menemukan ibumu, kan," kata Hannah.

Aarun mengangguk "Terima kasih sekali lagi," ucapnya, Hannah ternyata gadis yang sangat pengertian, ia juga bisa membaca situasi dan menanggapinya dengan benar, semakin Aarun mengenal gadis itu semakin yang merasa bahwa Hannah sangat menarik.

"Jika ku coba ingat lagi, sepertinya aku tidak tahu apakah aku pernah berjumpa dengan ibumu," ucap Eugene setelah berusaha mengingat-ingat orang-orang yang pernah ia temui atau sering ia temui.

"Sama, tapi kau tenang saja, karena kami sudah tahu wajah ibumu, kami akan berusaha mencarinya juga, iya kan teman-teman?" sambung Eugene lagi yang di benarkan oleh Hannah dan Linzy.

"Terima kasih banyak teman-teman karena mau membantu Aarun, aku jadi legah sedikit karena tidak direpotkan," Aarun yang mendengar perkataan Ardo langsung menunjukkan wajah kesalnya. "Aku hanya bercanda, kau itu seperti wanita PMS saja," lanjut Ardo diiringi tawa kecil Hannah, Linzy dan Eugene.

Ternyata Ardo hanya ingin membalas dendam karena Aarun yang duluan mengatainya seperti itu "Itu tidak ada lucu-lucunya," ketus Aarun.

"Hei, kalian ini, sepertinya tipe teman yang sering bertengkar namun tidak bisa terpisahkan ya," goda Linzy yang sukses membuat kedua pria itu saling memalingkan wajah.

"Tidak seperti itu, yang tepat adalah Aarun hidupnya tidak akan baik jika tidak bersamaku, makanya, sepertinya Tuhan menciptakanku untuk mengawasi Aarun saja. Hemm aku lelah jujur," gerutu Ardo.

Aarun menghela napasnya, yang tadinya memalingkan wajah karena enggan melihat Ardo kini menatap Ardo dengan tajam "Enak saja, kau itu merasa paling dibutuhkan padahal kalau kau tidak ada pun aku akan baik-baik saja," ketus Aarun.

Ketiga gadis itu tertawa, kedua pria itu jika sudah bertengkar malah terlihat lucu dan menggemaskan.

"Sudah,sudah, kalian ini ya." Hannah mencoba menengahi mereka.

Tak mereka sadari hujan yang tadinya deras mulai berhenti, bahkan pejalan kaki yang tadinya singgah untuk berteduh kini telah kembali berjalan atau melakukan aktifitas biasa.

"Hujan sudah reda, kalian pulanglah untuk ganti pakaian," suruh Eugene.

"Tidak usah, kami mau lanjut pencarian lagi," tolak Aarun.

"Tapi bagaimana jika kalian sakit, lihatlah udara sangat dingin, nanti kalau kalian malah sakit, malah lebih menghambat pencarian ibu Aarun, kan?" kata Eugene lagi, ya itu sangat benar, lebih baik Ardo dan Aarun pulang kerumah dulu untuk ganti baju.

"Lalu kalian bagaimana?" tanya Aarun.

"Kami mau melanjutkan perjalanan ke,-" ke tiga gadis itu saling menatap, mereka baru menyadari sesuatu.

"Kalian tidak kesekolah?" tanya Linzy.

"Ini hari libur," jawab Ardo heran.

Linzy menepuk  jidatnya, saking tidak mempunyai kalender mereka tidak tahu jika ini adalah hari libur, "Memangnya kalian mau kemana?" tanya Ardo lagi.

"Rencananya kami ingin melihat sekolahmu, tapi ternyata ini hari libur ya, sayang sekali" balas Hannah sembari memanyumkan bibir bawahnya yang malah terlihat lucu dimata Aarun yang sedari tadi hanya menyimak mereka.

Aarun menelan ludahnya dengan susah payah, entah kenapa otaknya malah berpikir yang aneh-aneh, ia benar-benar menyesal dan kecewa mengapa bukan dirinya yang-, Aarun menampar dirinya sendiri, mengapa ia berpikiran sedemikian, jika Hannah tahu apa yang sedang ia pikirkan mungkin Hannah tidak ingin bertemu dengan dirinya lagi.

"Ada apa Aarun?" ternyata Aarun malah jadi pusat perhatian, ia hanya tertawa kecil "Tidak apa-apa," ujarnya singkat.

"Apanya, lihatlah wajahmu memerah lagi," ujar Ardo yang sukses menggoda Aarun kembali dan tentunya sukses untuk membuat para gadis itu memperhatikan wajah Aarun dengan intens.

"I-ini karena aku menamparnya bodoh!" Aarun sedikit memperbesar suaranya.

"Benarkah, atau kau sedang jat-" mulut Ardo yang cerewet itu langsung di tutup oleh Aarun menggunakan tangannya, ia tidak habis pikir kenapa ada orang seperti Ardo yang begitu blak-blakan.

Itulah Ardo dia suka sekali menggoda Aarun apalagi jika Aarun kedapatan tertarik pada seorang gadis, sebenarnya Aarun akan melakukan hal yang sama jika saja sahabatnya itu juga kedapatan mulai menyukai seorang gadis namun sayangnya, malah Aarun lah yang terus menerus digoda, Aarun kadang berpikir apakah gerak-geriknya terlalu kentara sehingga Ardo tahu, dia juga sedang bingung atas perasaannya sendiri.

Akhirnya mereka pun pamit, Hannah, Linzy dan Eugene memutuskan tetap pergi ke sekolah Zervard karena mengikuti instruksi Ardo yang bilang meski hari libur pun, disana masih ramai juga jadi tidak ada masalah, sedangkan Aarun dan Ardo kembali bersepeda untuk pulang mengganti pakaian mereka yang basah, meski sebenarnya bagian atasnya sudah setengah kering karena lamanya mereka di halte tadi.

Karena memang sudah siang, Aarun dan Ardo sepakat untuk pulang istirahat, mereka juga belum makan siang, sambil menunggu adanya informasi terbaru Aarun akhirnya kembali kerumah.

Kini pria itu sedang duduk santai sembari menonton berita siang ini, tanpa sengaja ia membaca disudut bawah berita yang dibawakan oleh seorang perempuan, bertuliskan berita orang hilang, Aarun mulai berpikir bagaimana jika mereka lapor polisi saja agar pencarian lebih mudah.

Arin datang membawakan beberapa cemilan dan juga soda dimeja depan Aarun duduk "Kak bagaimana jika kita laporkan ibu hilang dikantor polisi?" usulnya.

Arin pun ikut duduk disebelah Aarun "Aku tidak tahu apakah bisa, karena ibu pergi atas kemauannya sendiri, bahkan barangnya saja masih ada disini semuanya. Kakak sebenarnya pernah memikirkan cara ini tapi aku takut laporan kita malah ditolak oleh polisi," jelas Arin sambil meraih soda dan membukanya.

Ya, itu benar, kasus mereka ini sangat berbeda dari orang-orang yang melaporkan kehilangan anggota keluarganya, tapi apa salahnya mencoba.

"Kita tak usah melaporkan dulu kejadian ini tapi coba saja bertanya pada polisi yang bertugas didaerah ini kak, bagaimana?" usul Aarun lagi.

"Ya, apa salahnya kita mencoba, jika tidak bergerak mana bisa kita tahu. Baiklah, tapi kita harus menunggu ayah pulang dulu," Arin menengok jam tangannya yang kini menunjukkan pukul 2 siang. "paling jam 4 sore ayah sampai dirumah, nah kita bertanya apakah dia setuju, dan ayah kan punya kenalan, mungkin orang itu bisa membantu kita," lanjut Arin. Aarun mengangguk paham, mereka pun memutuskan untuk menunggu ayahnya pulang.

Fokus Aarun dan Arin teralihkan setelah tiba-tiba saja pintu terdobrak dengan keras. Mereka melihat wanita yang mereka cari-cari akhirnya datang sendiri kerumah itu, dan ternyata ia bersama ayah mereka dan tampak sekali jika mereka sedang bertengkar hebat mulai dari perjalanan menuju rumah itu.

"Aku ingin kita berpisah!" Tekan Ibunya.