webnovel

Bab 19

Steve memandang ponselnya selama beberapa detik. Seolah ia ingin memastikan nama penelepon yang ia baca itu tidak salah.

Perlahan raut wajahnya berubah cerah. Senyum juga perlahan mengembang di wajahnya.

Helena tertegun memandang Steve.

Baru pertama kali ia melihat Steve tersenyum seperti itu. Bukan seperti senyum Steve yang biasanya.

Steve tampak sangat bahagia hanya karena sebuah panggilan telepon.

"Halo, Violet?" Steve mengangkat telepon itu.

Violet? Helena bertanya dalam hati.

Steve mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat pamit sebentar pada Helena.

Paham dengan isyarat itu, Helena menganggukkan kepalanya.

Steve berjalan menjauh dan Helena hanya menatap punggungnya. Sampai akhirnya Dave mengambil perhatian Helena.

"Violet itu kekasih Steve." Dave berkata sembari menatap gelas porselen di tangan Helena.

"Apa?" tanya Helena spontan.

"Violet itu kekasih Steve." Dave mengulangi kalimatnya tapi kali ini ia menatap langsung wajah Helena.

Helena terdiam. Alisnya berkerut.

Dave selalu bisa mengubah perasaan Helena dengan perkataan singkat dan tindakan yang tidak mudah ditebak.

"Untuk apa kau memberitahu hal itu?" tanya Helena.

Ia balas menatap Dave dengan raut wajah menahan kesal karena merasa disinggung.

Ia merasa tidak nyaman. Lagi pula Helena tidak pernah menanyakannya, lalu kenapa tiba-tiba Dave memberitahu tentang itu padanya?

Bukannya menjawab langsung, Dave malah menunjuk gelas yang berada di genggaman tangan Helena.

Helena mengikuti arah telunjuk Dave dan menatap gelasnya. Ia diam memperhatikan benda yang ada di tangannya.

Awalnya ia bingung dan ingin bertanya. Tapi, saat ia melihat gambar bunga violet di gelas yang diberikan oleh Steve, Helena terdiam.

Tangannya tanpa sadar mencengkeram erat gelas itu.

Helena ingat apa yang dikatakan Steve sebelumnya. Ingat apa yang dikatakan Steve sambil tersenyum dan memberikan gelas itu padanya.

'Ambillah kalau kau suka. Aku juga suka dengan gambarnya. Gambarnya memang bagus.'

Dave tentu sadar dengan sikap Helena.

"Hei, kau bisa menghancurkan gelasnya." Perkataan Dave menyadarkan Helena.

Helena melemahkan cengkeraman tangannya seolah mengikuti ucapan Dave padahal tidak mungkin gelas porselen ini akan pecah di tangannya. Helena tidak sekuat itu, apa lagi gelas ini tidak tipis seperti gelas plastik.

"Kau cemburu?" tanya Dave blak-blakan.

Helena sontak menatap tajam ke arah Dave. Ia merasa marah secara tiba-tiba. Apa Dave harus menyindirnya lagi?

Ini pertama kalinya ia melakukan itu. Menampakkan raut wajah marahnya pada Dave.

Apa yang dikatakan Dave benar-benar menyindirnya. Kenapa Dave selalu berhasil mengganggunya, Helena ingin bertanya tapi ia memilih diam.

Tanpa mengatakan apa-apa, Helena berjalan melewati Dave dan mendekati keranjang belanja.

Ia menaruh gelas porselen pilihan Steve di keranjang itu dengan sedikit tekanan tanpa hati-hati.

Hal itu menyebabkan bunyi yang sedikit keras, karena berbenturan dengan benda belanjaan lainnya yang ada di dalam keranjang.

Seolah ia tidak peduli, jika perkataan Dave yang mengatakan ia bisa menghancurkan gelas ini, bisa menjadi kenyataan sekarang.

Setelah menaruh gelas itu, Helena berlalu meninggalkan keranjang belanja mereka. Ia lalu menghilang di balik rak.

Dave tidak melakukan apa-apa dan hanya menghela napas.

"Kemana Helen?" tanya Steve yang tengah berjalan mendekat.

Dave memandang lawan bicaranya dan menjawab, "Mungkin dia menunggu di luar, di parkiran mobil."

Steve diam tidak membalas jawaban Dave. Ia mulai mendorong keranjang belanja dan berjalan menuju kasir.

Dave mengerutkan keningnya melihat tingkah Steve yang tampak pendiam. Bukannya wajahnya tadi sangat cerah saat menerima panggilan dari Violet? Lalu kenapa sekarang ia terlihat muram?

*****

Keadaan di dalam mobil sekarang sangat hening tanpa seorang pun yang bicara. Bahkan Steve tidak berniat menyalakan musik seperti saat ia mengendarai mobil ketika berangkat.

Raut wajah mereka semua tidak menampakkan keceriaan sedikit pun.

Wajar bagi Helena karena Dave membuatnya tersinggung. Sedangkan Dave juga wajar karena ia memang jarang tersenyum dan wajahnya terkesan dingin.

Tapi bagi Steve, ada yang aneh padanya. Helena dan Dave sadar itu.

Dave memilih sibuk melihat jalanan di depannya. Sedangkan Helena memandang keluar jendela mobil yang ada di sampingnya.

Meski mereka sadar, mereka tidak berani bertanya pada Steve. Lagi pula setelah pertengkaran antara Helena dan Dave, Helena merasa ia kehilangan kepercayaan diri untuk berkomunikasi dengan Steve.

Kejadian itu seolah membuat pembatas untuk Helena agar melangkah lebih jauh dan berharap lebih.

*****

Helena diam menatap kanvas di hadapannya. Tangannya terangkat sembari memegang kuas, namun saat ujung kuas hampir menyentuh permukaan kanvas, tangan Helena berhenti bergerak.

Ia kembali menarik kuasnya menjauh dan menurunkan tangannya. Ia sekali lagi diam menatap kanvas di hadapannya. Hal itu yang sudah berulang kali ia lakukan selama beberapa menit.

Ia sekarang berada di studio yang diberikan oleh Nyonya Michelle padanya.

Sebenarnya ia telah hampir menyelesaikan sembilan puluh persen lukisannya hari ini, namun ia tidak bisa menyelesaikan lukisannya di saat terakhir, seolah ada yang menahannya.

Apa yang ia lukis kali ini memiliki objek yang sama dengan lukisan sebelumnya saat ia melukis di balkon apartemen Steve.

Ia menggambar sosok Steve.

Namun ia tidak bisa menggambar wajah Steve. Hanya ekspresi Steve yang kurang, hingga membuat objek lukisannya tampak seperti manusia tanpa wajah.

Kalau ia tidak terbiasa dengan melukis seperti ini, ia mungkin akan takut melihat lukisannya yang mengingatkannya dengan hantu tanpa wajah atau hantu dengan wajah rata.

Akhirnya Helena menghela napasnya. Ia berdiri dari kursinya dan berlalu dari lukisannya yang belum jadi.

Saat ia mengunci pintu studionya, ia teringat kembali dengan raut wajah Steve saat pulang dari berbelanja tadi.

Steve sudah dua kali hari ini menampilkan ekspresi yang tidak biasanya.

Jika Steve tidak menampakkan ekspresi kaku dan kosong seperti tadi, mungkin Helena bisa menyelesaikan lukisannya. Karena itulah tujuannya melukis hari ini, ia ingin mengabadikan senyuman bahagia Steve sebelumnya.

Helena menyusuri koridor yang menghubungkan studio dengan bangunan utama. Cahaya matahari sore jatuh ditubuhnya saat berjalan.

Ia mengingat Steve yang langsung mengajak Dave ke ruangan kerjanya setelah pulang dari belanja dan tidak keluar bahkan ketika makan siang.

Makan siang mereka, diminta untuk diantar ke kantor.

Sedangkan Nyonya Michelle sedang pergi keluar entah sejak kapan. Beliau juga pergi tanpa sopir.

Akhirnya Helena makan siang bersama lima pekerja tanpa satu pun tuan rumahnya.

Langkah Helena terhenti di depan kantor Steve. Ia memandang pintunya yang tertutup selama beberapa saat.

Helena berkedip. Sebuah ide melintas di otaknya. Ia lalu bergegas kembali melangkahkan kakinya. Kali ini ia berjalan menuju dapur.

*****

Pintu kantor diketuk.

Dave dan Steve yang berada di dalam saling berpandangan.

Steve duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerjanya.

Sedangkan Dave duduk di sofa yang berhadapan dengan meja berkaki rendah di ruangan itu.

Dave memilih menunda pekerjaannya dan berdiri, lalu membuka pintu kantor.

Ia melihat Emily, salah satu pembantu yang lebih tua beberapa tahun dari Nyonya Michelle, sedang membawa nampan dengan piring berisi pie apel diatasnya.

"Ada apa?" tanya Dave.

"Saya ingin membawakan camilan untuk anda dan tuan muda Steve."

"Oh," respon Dave, lalu mempersilakan Emily untuk masuk ke dalam kantor Steve.

Setelah Emily meletakkan camilan itu di atas meja, ia pamit keluar ruangan.

Dave lebih dahulu mengambil satu potong pie apel itu. Ia lalu menggigitnya dan mulai mengunyah.

Alisnya berkerut saat merasakan rasa pie yang ia makan.

Mulutnya terbuka dan berkata, "Rasanya tidak seenak biasanya."

Steve bangkit dari kursinya dan hendak mengikuti Dave yang makan camilan.

Steve baru akan membalas perkataan Dave saat sebuah suara terdengar dari arah pintu yang terbuka.

"Aku tahu, aku tahu rasanya belum seenak buatan Nyonya Michelle." Helena sedang berdiri dengan membawa nampan dengan gelas dan teko porselen berisi teh.

Emily belum menutup pintu kantor saat keluar tadi. Ternyata ada alasannya.

Dave terdiam karena terkejut melihat keberadaan Helena. Ia dan Steve hanya menatap Helena yang masuk dan menaruh nampannya di atas meja depan Dave duduk.

"Kau yang membuat ini?" tanya Steve setelah Helena selesai meletakkan benda bawaannya.

Helena mengangguk dan menjawab, "Itu pie apel yang aku buat pertama kalinya."

Dave menatap potongan pie ditangannya. Meski ini tidak seenak buatan Nyonya Michelle, Dave tidak mengingkari jika rasanya enak, padahal ini pie buatan Helena yang pertama kali.

Artinya percobaan Helena yang pertama sudah sangat baik hingga membuat Dave tertegun.

*****

Masih adakah yang membaca cerita ini? Maaf karena baru update sekarang dan terima kasih kepada pembaca yang mampir ke cerita ini :) aku akan lebih berterimakasih lagi jika ada yang berbaik hati memberi komentar meski hanya satu kata. Sebab komentar kalian adalah penyemangat untukku untuk terus update cerita ini ;) sampai jumpa di bab selanjutnya^^ semoga aku bisa update setiap hari!!

Dwi_Nacreators' thoughts