webnovel

Gara-gara Turlap

Langkah kaki yang menaiki setiap anak tangga di gedung tiga lantai itu tidak bisa lagi disebut berjalan, melainkan berlari. Tangga yang menghubungkan lantai 1 dengan lantai dua itu seakan terlihat rata di mata gadis berambut sebahu karena dia yang harus mengejar waktu masuk kelas sebelum jatah terlambatnya habis.

Semenjak masuk kuliah, rasanya kecepatan berlari gadis itu semakin meningkat karena dari semester satu pasti sesi berlari di tangga gedung fakultasnya akan jadi sesi wajib di setiap semesternya. Dan hal itu kembali terulang di tahun ketiganya ini.

Kalau dosen yang sudah di kelasnya saat ini bukan dosen disiplin plus killer se-fakultasnya, mungkin dia akan sedikit santai untuk masuk kelas walaupun terlambat. Tetapi, jatah terlambat dosen tersebut hanya 10 menit sejak dirinya masuk. Dan sekarang sisa 3 menit untuknya agar tidak disuruh tutup pintu dari luar.

Ruangan di ujung koridor sudah tertangkap di pelupuk matanya. Seakan tidak kenal lelah, kecepatan berlarinya kembali ditambah. Beberapa meter sebelum sampai di depan pintu, gadis tersebut langsung mengerem laju kakinya. Suara gesekan sepatu dengan lantai bisa dipastikan didengar oleh teman-temannya di kelas.

"Pagi, Pak. Saya masih bisa masuk, kan?" tanya gadis tersebut dengan susah payah mengatur napasnya. Dosen berkacamata itu melirik jam di lengannya lalu mengangguk.

Embusan napas lega langsung terdengar sembari kakinya mencari tempat duduk yang kosong dekat salah satu temannya.

"Lari maraton lagi, Bu?" kekeh teman yang ada di sampingnya.

"Udah tahu Pak Alfa masuk, kok pake telat, sih, Pi?" timpal teman yang lainnya.

Gadis yang dipanggil Pi atau dengan nama panjang Jupi itu hanya mendengus, tidak menjawab pertanyaan temannya. Dia juga tahu kalau dia tidak bisa terlambat di kelasnya Pak Alfa, tapi ini kan bukan kemauannya.

Ini semua gara-gara kunci kosnya yang entah kenapa malah bersembunyi di tempat sendoknya. Dia kan sampai kelimpungan mencari benda kecil tersebut. Alhasil, dia harus cosplay jadi atlet lari hari ini hanya karena kunci kosnya.

Jalannya mata kuliah Pak Alfa sama seperti sebelum-sebelumnya. Menegangkan tapi sangat-sangat berbobot, tidak lupa juga dengan tugas di setiap akhir pembelajaran.

Terlihat, Pak Alfa sedang menuliskan beberapa judul tugas yang harus mereka selesaikan selama satu semester ini. Bisa dibilang ini TUBES alias tugas besar. Jangan salah, ya, bukan hanya fakultas teknik saja yang punya TUBES, anak hukum juga punya TUBES--khususnya untuk kelasnya Pak Awal.

"Ini beberapa kelompok penelitian yang harus kalian ambil. Perhatikan nomor yang menjadi perwakilan materi penelitiannya dan satu-persatu maju untuk mengambil nomor kelompoknya," jelas Pak Awal.

Teman-teman Jupi termasuk dirinya secara bergantian maju untuk mengambil nomor kelompok yang diacak itu. Setiap kelompok hanya terdiri dari dua anggota saja. Karena TUBES ini memerlukan ketelitian yang banyak, jadi tidak bisa dikerjakan oleh banyak kelompok--kata Pak Awal, sih, begitu.

"Dapat nomor berapa, Bi?" tanya Jupi kepada Abi--teman di sebelahnya.

"Dua, Pi. Lo berapa?" tanyanya balik.

"Gue berapa aja bisa, asal jangan 4, please. Tempat penelitiannya jauh, coy," keluh Jupi dengan tatapan penuh permohonan yang ditujukan ke gulungan kertas yang ada di tangannya.

Setelah merapalkan permohonannya itu sekali lagi, Jupi pun membuka gulungan tersebut. Detik itu juga bahunya langsung lemas. Angka yang tercetak jelas di kertas itu adalah angka yang tidak diinginkan.

Kadang memang seperti itu. Apa yang tidak diharapkan hadir entah kenapa malah menghampiri dengan suka rela. Dan itu yang sedang menimpa Jupi saat ini.

Dua teman yang ada di sampingnya sontak tertawa pelan. "Nasib sial memang sudah jadi nama tengah lo, Pi," kelakar Abi.

Pak Awal sudah mulai menginstruksikan mahasiswanya untuk duduk sesuai dengan nomor urut kelompok. Hal itu semakin membuat Jupi menekuk wajahnya lagi. Rasanya dia ketiban sial berkali-kali hari ini.

Bagaimana tidak coba, saat ini orang yang duduk di samping Jupi adalah orang yang berada di urutan paling atas sebagai orang yang tidak dia inginkan untuk dijadikan teman kelompok. Orang itu sudah pasti Arkhee.

"Semoga kita akur, ya, Pi," ucap Arkhee dengan ekspresi songongnya.

Arkhee Yanshah namanya. Orang yang mungkin akan jadi rebutan teman-temannya yang lain, tapi tidak untuk Jupi. Arkhee itu punya otak encer dengan kemampuan berpikir kritis yang tidak perlu diragukan lagi. Dia juga termasuk anak kesayangan Pak Awal.

Hanya saja … yang membuat Jupi tidak ingin sekelompok dengan orang berotak encer seperti Arkhee ini karena dia sulit diatur dan diajak bekerja sama dengan baik. Dia tipikal orang yang mau ucapannya didengar karena dia sadar apa yang keluar dari mulutnya itu sudah pasti benar.

Jupi menamai Arkhee ini sebagai orang narsis. Bukan hanya sombong, melainkan narsis juga. Rasanya Jupi akan mengumpat jika setiap kali mendengar temannya itu mengagung-agungkan hasil berpikir otaknya.

***

Hari ini mereka akan mulai melakukan penelitian ke kantor yang sesuai dengan materi tugas mereka. Karena terbilang tugas berat, jadi mereka harus langsung bergerak walaupun akhir semester masih lama.

Dengan gusar, Jupi melirik sekali lagi jam yang melingkar di lengan kanannya. Ini sudah lewat 20 menit dari janji berkumpul untuk berangkat ke tempat penelitian.

"Pasti tuh orang masih tidur," gerutu Jupi yang lagi-lagi harus menelpon Arkhee. Ini sudah panggilan yang kelima dan sama sekali tidak mendapat jawaban dari orang tersebut.

"Lo kemana aja, sih? Ini udah setengah jam dari janjian kita. Cepat ke sini atau penelitian kita berhenti sampai sini," sembur Jupi begitu panggilannya akhirnya diangkat oleh Arkhee.

"Santai, Bu, gue ketiduran. Mau mandi dulu terus sara--"

"Nggak ada sarapan-sarapan. Siapa suruh lo ketiduran. Sepuluh menit lo nggak muncul di depan gue, besok lo ketemu Pak Awal buat cari teman kelompok lain."

Panggilan itu langsung terputus secara sepihak. Jupi seperti kebakaran di tempatnya saat mendengar Arkhee yang katanya mau sarapan dulu. Enak saja. Jupi saja hanya minum air putih karena mengingat janjinya dengan Arkhee untuk berangkat lebih awal. Sekarang, malah laki-laki itu yang mengingkari janjinya.

***

Terhitung dua dinas yang mereka kunjungi. Karena hari ini baru pemasukan surat untuk penelitian, jadi mereka tidak terlalu menghabiskan banyak waktu di dua dinas tersebut. Sesuai prosedur di masing-masing dinas, mereka akan kembali minggu depan.

Karena mereka sudah selesai berkunjung sebelum siang, jadi Jupi akan memanfaatkan waktu ini untuk mengajak Arkhee ke perpustakaan untuk mengumpulkan materi penelitian. Jupi tidak ingin membuang waktu hanya untuk menunggu satu minggu kedepan.

Perjalanan yang cukup jauh dari kampus mereka inilah yang membuat Jupi kesal. Mendapat tempat penelitian jauh bersama orang seperti Arkhee membuat Jupi harus belajar yang namanya sabar lebih banyak.

Tidak mudah menghadapi Arkhee. Orang itu terlalu aktif, baik aktif bergerak maupun aktif berbicara. Contohnya sekarang ini. Hampir satu jam perjalanan, Jupi harus mendengarkan Arkhee yang bercerita soal pengalamannya pergi bersama Pak Awal di seminar terkenal di luar kota. Jangan lupakan dengan cowok itu yang terlalu memuji dirinya yang berani bertanya di seminar tersebut.

Masih ingatkan kan, Jupi pernah bilang kalau Arkhee ini salah satu spesies paling narsis yang pernah dia temui? Jupi tidak bohong akan fakta itu. Bahkan bukan hanya dirinya yang beranggapan seperti itu, tapi teman-temannya punya pemikiran yang sama.

"Kita disuruh berhenti?" tanya Jupi saat Arkhee perlahan menepikan motornya. Salah satu polantas menghampiri mereka dan mulai meminta surat-surat kendaraan Arkhee.

Hampir lima menit Arkhee mencari apa yang diminta petugas. Melihat gelagat Arkhee yang terlihat panik, Jupi pun bertanya. "Kenapa, Ar?"

"STNK gue nggak ada," jawab Arkhee masih mengobrak-abrik bagasinya. Bahkan isi dompetnya pun sudah dikeluarkan dan berhamburan di dalam bagasi motornya.

Petugas pun menghampiri keduanya. "Kenapa? Nggak ada?"

"Kayaknya ketinggalan, deh, Pak," jawab Arkhee.

"Berarti SIM kamu saya tahan dulu. Nanti ikut sidang untuk ambil SIM-nya," balas petugas itu dengan tegas.

"Tapi, Pak, STNK saya hanya ketinggalan, bukan nggak ada." Arkhee masih berusaha negosiasi agar SIM-nya tidak ditahan.

"Sama aja, Dek. Sekarang kan, nggak ada jadi ya SIM kamu saya tahan. Kamu kan tahu kalau mau bawa kendaraan, ya, dicek dulu surat-suratnya. Pokoknya ambil ini di ruang sidang hari jumat nanti." tandas petugas tersebut dengan memberikan surat tilang kepada Arkhee.

"Astaga," geram Arkhee yang hampir meremas surat tilang tersebut.

"Udahlah. Salah sendiri nggak teliti. Masih mending motornya nggak ditahan," ujar Jupi setelah petugas itu meninggalkan mereka.

"Lo, sih."

"Loh, kenapa gue?" Jupi menautkan keningnya karena Arkhee yang tiba-tiba ketus kepadanya.

"Kalau lo nggak nyuruh gue buat cepat-cepat, pasti gue bakal ngecek surat-surat dulu," ketus Arkhee.

"Eh, lo jangan seenaknya nyalahin gue, ya. Kalau lo nggak ngaret, gue juga nggak bakal nyuruh lo cepat-cepat, ya. Jangan kebiasaan nyalahin orang lain padahal diri sendiri yang teledor," balas Jupi tidak kalah menyeramkan.

Dia jelas tidak terima disalahkan Arkhee atas apa yang cowok itu perbuat sendiri. Masih mending Jupi memberinya waktu sebentar, kalau tidak pasti Jupi akan membiarkan temannya itu bertemu Pak Awal karena dia pasti akan mengganti Arkhee sebagai anggota kelompoknya.