webnovel

HARUSKAH AKU MENCARIMU

Raya berlari menuju kamarnya. Dia segera menutup pintu dan mematikan lampu. Lalu semua tertumpah begitu saja seluruh kesedihannya dalam tangis yang tak kunjung reda. Sesak rasanya merasakan derita yang entah kapan akan berakhir.

"Ray, gue tahu lu di dalam. Buka dong. Jangan mengunci diri," teriak Nadia dari luar.

Raya enggan menanggapi karena saat ini yang dia butuhkah hanya kesendirian dan ketenangan di dalam kamarnya.

Merasa tak ada respons dari dalam. Nadia dengan ganasnya mengetuk pintu. Raya akhirnya menyerah sebelum pintu kamarnya jebol.

"Kenapa sih, Nad? Berisik sekali kamu. Mengganggu saja," protes Raya sembari melempar tubuhnya di atas kasur.

Kepala Nadia pening seketika melihat hamparan tisu bekas memenuhi lantai. "Astaga, are you okay? Lu baek-baek aja kan, Neng? Ternyata bener firasat Devan. Dia meneleponku tadi dan meminta tolong untuk menemanimu? Ternyata karena ini?" tunjuknya mengarah pada tumpukan tisu tak berbentuk.

Devan ternyata masih mencemaskan Raya meski dia sudah teramat kecewa. Perih. Dia tak bisa lagi mengenyahkan bayangan Devan dalam pikirannya. Karena entah sejak kapan, sebagian hatinya telah memilih bocah resek itu. "Aku hanya sedikit stres."

Nadia menyilangkan tangan bersiap mengeluarkan pendapatnya. "Hm, semua ini pasti karena Clay 'kan? Pantas saja dia tiba-tiba meminta bertemu denganmu di saat hujan. Aku memang sudah curiga dari awal. Kalian bertengkar 'kan?" Gadis manis itu mendengus sebal. "Apa yang kamu lihat dari seorang Clay, Ray? Mendingan memilih adiknya. Aku mendukungmu sepenuhnya jika kamu dan Devan bisa menjadi sepasang kekasih."

"Ah, dia masih bau kencur. Nanti apa jadinya kalau kami benar-benar bersama. Orang-orang akan berpikiran buruk tentangku," sergah Raya berpindah tempat duduk, kini bersandar di bahu Nadia.

Nadia mengusap manja temannya itu. "Halah, zaman sekarang banyak kok cewek lebih suka dengan daun muda. Sudah zamannya begitu. Kenapa kamu masih memikirkan pendapat orang lain? Yang penting 'kan kebahagiaan kalian. Kalau menuruti omongan orang mah nggak akan selesai, Ray. Ada saja kekurangan kita di mata orang lain. Wajarlah manusiawi banget," tutur Nadia menasihati Raya seolah seperti seorang motivator yang memberikan wejangan kepada pengikutnya.

"Tetap saja aku harus jaga martabat seorang guru. Soalnya aku membawa nama baik profesi, Nad," ungkap Raya masih memikirkan bagaimana nantinya jika dia berpacaran dengan Devan. Ah, Raya akan menjadi bahan bullyan lagi di sekolah. Dia tak bisa membayangkan hal itu terjadi.

Nadia menoleh ke Raya. Gadis itu menghunjamkan matanya lekat "Sekarang cerita padaku, Bestie. Sebenarnya apa yang terjadi padamu dan Claytone tadi? Dan ada masalah apa denganmu juga Devan? Aku harus tahu pokoknya," ujar Nadia setengah memaksa.

Raya menghembuskan napas panjang. "Clay tadi bersikap aneh, dia melakukan hal di luar kewajaran. Maksudnya Clay ... menginginkan hubungan lebih intim. Ya, kamu tahu sendirilah tak perlu aku jelaskan secara gamblang," aku Raya seraya mengingat kejadian tadi.

Nadia membuka mulutnya dengan ekspresi kaget. "Kalian sudah berhubungan badan?" tanyanya tak percaya.

"Beruntung tidak sampai separah itu sih? Aku langsung menolak dan dia tampak sangat kecewa. Eh, di tengah pertengkaran kami malah Cindy meneleponnya," terang Raya masih kesal.

"Cindy siapa?"

Upps, Raya lupa kalau Nadia belum mendengar ceritanya tentang Cindy, si teman masa lalu Claytone. "Dia teman Clay. Dan aku yakin penyebab keanehan itu bersumber dari Cindy. Karena tak sanggup lagi disakiti, aku memutuskan untuk minta putus saja."

"Jadi kalian sudah putus?" Nadia tak menyangka hubungan selama tiga tahun Raya dan Claytone akhirnya putus di tengah jalan.

Raya menggeleng. "Claytone tak mau berpisah denganku. Dia masih mengharapkan kami bisa seperti dulu." Tapi apakah mungkin itu bisa terjadi? Dia saja tak yakin.

Nadia mengelus-elus kepala Raya. "Sudahlah lebih baik kalian putus saja. Itu menurut gue adalah jalan terbaik. Gue sebagai seorang teman tak mau lu semakin tersakiti oleh perlakuan Clay yang kurang manusiawi."

Raya tertunduk lesu, mengambil tisu untuk membersihkan air matanya lagi. Entah kenapa tak mau berhenti.

"Raya, lu berhak untuk bahagia. Buat apa mempertahankan seseorang yang jelas-jelas sudah beda sekarang. Bahkan dia memiliki wanita lain di sisinya," pungkas Nadia.

"Iya, terima kasih, Nad. Aku nggak sia-sia punya teman tukang minjem parfum. Ternyata kamu bisa menasihatiku untuk tidak semakin terpuruk lagi."

Nadia garuk-garuk kepala yang tak gatal dibilang tukang minjem parfum. Aduh, apes.

***

Pagi-pagi Raya sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dia berharap bahwa Devan datang menjemputnya. Berkali-kali wanita itu menengok ke arah pintu gerbang tapi ... dia tak ada di sana.

Apakah Devan semarah itu dengannya? Tentu dia pasti sangat terluka. Tapi kenapa aku jadi seperti ini? Bagus dong jika Raya bisa kembali ke Claytone. Sedangkan Devan masih bisa menjadi adik iparnya kelak. Namun mengapa hati ini merasakan sakit?

Jauh dalam lubuk hati terdalam Raya sangat mencintai bocah resek itu. Tak mau Devan bersedih. Raya bisa sangat egois jika itu menyangkut Devandra, salahkah apabila seorang guru telah jatuh cinta pada muridnya sendiri?

Raya terpaksa naik kendaraan umum. Menerima nasib berdesakan lagi dengan yang lain. Kehidupan enaknya bersama Devan, layaknya mimpi dan kini dia sudah terbangun dari mimpi itu.

Tepat pukul setengah tujuh dia sudah sampai di sekolah. Sempat melirik dulu ke arah parkiran sepeda motor. Ya, barang kali saja dia bisa menemukan Devan di sana. Tapi ternyata tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Sepeda motor sport yang biasa dia tunggangi pun tak ada. Di mana dia?

Hingga jam pelajaran berbunyi dan semua masuk ke kelas masing-masing pun Devan belum juga datang. Raya masuk memulai pelajarannya dengan bercampur gelisah di dada. Dia sesekali menatap bangku Devan yang kosong itu.

Raya sangat cemas dengan keadaannya. Setidaknya dia tahu di mana keberadaan Devan saja sudah cukup baginya. Berkali-kali dia menghubungi ponsel Devan, namun tak terhubung. Sungguh ini menjadi hari paling kelabu sepanjang hidup Raya. Lebih sesak ketimbang tak bisa berkomunikasi dengan Claytone.

Haruskah Raya pergi ke rumahnya? Dia bisa saja beralasan disuruh Pak Danu, kepala sekolah, untuk memeriksa keadaan Devan. Tapi nanti takutnya dia bertemu dengan Cindy. Aduh, malas sekali melihat wanita genit itu. Ditambah lagi pasti ada Claytone juga. Raya harus bagaimana?

Apakah hanya diam saja menunggu sampai Devan datang sendiri kepadanya? Iya, kalau dia bersedia datang. Jika tidak bagaimana?

Raya menimbang-nimbang antara logika dan perasaannya. Sebaiknya datang untuk sekedar melihat Devan atau lebih baik tinggal di sini dan menunggunya. Mana yang lebih membuat Raya tenang? Ah, sebaiknya memang Raya harus ke sana saja. Dia nekat. Biar saja jika ada Claytone dan Cindy, memangnya kenapa?