webnovel

Rasanya Menyesakkan

"Ini ...."

Adnan menatap ketiga alat di tangannya tak percaya. Semuanya menunjukkan dua garis yang berarti positif.

"Apa kamu sudah percaya? Aku bisa melakukan tes sebanyak yang kamu mau, Ad! Hasilnya akan tetap sama."

Adnan menggenggam alat tes kehamilan itu di tangannya dan memejamkan mata dramatis. Keinginannya untuk kembali bersama Fatimah seperti tak akan mudah seperti harapannya.

***

"Fatimah!"

Suara ketukan pintu disertai panggilan dari ibunya tak membuat Fatimah beranjak dari tempat tidurnya. Dia menangis semalaman setelah pertemuannya dengan Adnan kemarin.

Fatimah begitu terkejut mendapatkan undangan yang tak tahu dari siapa di teras rumahnya. Ia sangka undangan dari salah satu temannya. Namun dalam undangan itu jelas tertulis Adnan Wisnu, yang tak lain adalah nama kekasihnya.

'The Wedding of Adnan Wisnu & Naura Lestari'

Setelah mendapat undangan itu, Fatimah segera meminta bertemu dengan Adnan. Karena kekasihnya sama sekali tak memberitahu perihal rencana pernikahannya dengan wanita lain.

"Fatimah! Buka pintunya!" Suara Bu Maryam terdengar khawatir dengan ketukan yang semakin keras.

Fatimah pun akhirnya memilih membukakan pintu, agar ibunya tak berpikir dia melakukan hal yang macam-macam.

Bu Maryam melihat jelas bagaimana berantakannya putrinya saat ini. Matanya bengkak, rambutnya acak-acakan, dan terlihat benar-benar putus asa.

"Bu ... kenapa semua ini terjadi padaku?"

Bu Maryam memeluk putrinya. "Fatimah, bukankah kamu tahu jodoh, maut, rezeki, itu semua sudah diatur oleh Allah? Mungkin Adnan memang bukan jodohmu, Nak."

Sebenarnya tak mudah bagi Bu Maryam mengucapkan hal ini, terlebih dia tahu hubungan Fatimah dan Adnan bertahun-tahun lamanya.

"Tapi ... rasanya menyesakkan sekali," lirih Fatimah.

"Ibu tahu, Fat. Ibu juga sedih. Ibu mana yang tak sedih melihat putrinya terpuruk seperti ini?" Bu Maryam mengusap-usap bahu Fatimah.

"Lupakan saja Adnan, Fatimah. Apa perlu Ayah memberinya pelajaran?" Pak Fadil sudah bersiap menaikkan lengan bajunya, seakan-akan hendak menghajar orang.

Fatimah tahu ayahnya hanya bergurau pun tak sadar tertawa kecil. Bu Maryam pun akhirnya turut tersenyum.

"Memangnya Ayah bisa menghajar orang?" Tantang Fatimah.

"Mana bisa, Fat. Ayahmu kan tugasnya menolong orang, bukan menghajar orang!" kekeh Bu Maryam.

"Bisa-bisa masuk berita, seorang dokter menghajar mantan pacar putrinya karena sakit hati!" seloroh Pak Fadil.

Fatimah pun tertawa karena terhibur oleh kedua orang tuanya.

"Apa Ibu dan Ayah tak marah padaku?"

Bu Maryam dan Pak Fadil saling berpandangan.

"Kenapa kami harus marah padamu?" tanya Bu Maryam.

"Mungkin jika orang tua lain akan menyebut aku bodoh karena terlalu percaya pada laki-laki, atau mungkin karena berpacaran bertahun-tahun tapi malah ditinggal menikah."

"Enak saja! Anak Ayah lulus cumlaude masa dibilang bodoh?" sanggah Pak Fadil. "Yang perlu dimarahi itu Adnan, bukannya kamu, Fat. Tapi Ayah tidak mau memarahi anak orang, takut di penjara."

Lagi-lagi gurauan ayahnya membuat Fatimah tertawa. "Mana ada di penjara hanya karena marah-marah?"

"Ada. Kalau marahnya sekaligus memukul dan meninju," jawab Pak Fadil.

"Sudah! Sudah! Ayah ini tidak ada seriusnya sama sekali," protes Bu Maryam. "Makan dulu ya, Fat? Sejak kemarin kamu belum makan."

"Fatimah, kamu mogok makan agar bisa masuk rumah sakit dan dirawat oleh ayahmu sendiri?" imbuh Pak Fadil.

Fatimah menggeleng cepat, ia paling anti masuk rumah sakit. Entah kenapa melihat rumah sakit saja dia begitu ketakutan.

Ayahnya seorang dokter, tapi Fatimah sama sekali belum pernah mengunjungi tempat kerja Pak Fadil. Bu Maryam juga dulu seorang perawat, namun sudah berhenti dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga.

Untungnya baik Bu Maryam ataupun Pak Fadil, tidak pernah memaksakan Fatimah untuk menjadi seperti mereka.

"Iya, iya, aku makan!" seru Fatimah, daripada dia sakit lalu masuk ke rumah sakit dan dirawat oleh ayahnya sendiri. "Kalau aku sakit terus dirawat sama dokter tampan sih, aku tidak menolak, Yah!"

"Kamu mau Ayah carikan dokter tampan?" tawar Pak Fadil.

"Memangnya ada? Teman Ayah kan sudah tua-tua semua."

"Jadi kamu menyebut Ayahmu tua, Fat?" Pak Fadil beralih mengadu pada Bu Maryam. '"Ibu, masa masih muda begini Ayah dikatai tua oleh Fatimah!" Pak Fadil pura-pura merajuk.

"Ayah memang sudah tua! Yang masih muda Ibu dan Fatimah."

Bu Maryam merangkul Fatimah berjalan menuju ruang makan, meninggalkan Pak Fadil yang masih cemberut.

***

Ponsel Fatimah sejak tadi tak berhenti berdering. Telepon dari siapa lagi kalau bukan dari Adnan.

"Ingin rasanya aku blokir nomornya!" gerutu Fatimah tak mengindahkan suara deringan ponselnya. Ia malah berjalan ke luar dan meninggalkan ponselnya di dalam kamar.

"Mau kemana, Fatimah?" tanya Bu Maryam, melihat putrinya bersiap pergi memakai sling bag berwarna maroon kesayangannya.

"Aku ingin bertemu Syahnaz, Bu."

Bu Maryam mengucap hamdalah dalam hati karena putrinya sudah mau ke luar bertemu temannya lagi, karena sudah beberapa hari ini Fatimah hanya mengurung diri di kamar.

"Syahnaz baik-baik saja kan?"

Fatimah pun mengangguk. "Hari ini dia bahkan mengajakku mengunjungi salah satu toko gaun, untuk mencari dress yang akan ia gunakan untuk acara pertunangannya."

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bu Maryam khawatir, karena putrinya baru saja putus cinta, malah kini mengantar sahabatnya memilih gaun.

"Aku baik-baik saja, Bu." Fatimah tersenyum palsu demi menyakinkan Bu Maryam.

"Oh, syukurlah. Sudah lama Syahnaz tak main kemari, nanti ajak dia mampir ya?"

"Iya, Bu. Fatimah pergi dulu ya! Assalamu'alaikum."

Fatimah mencium tangan ibunya dan segera bergegas menemui sahabatnya, Syahnaz.

"Wa'alaikumussalam," sahut Bu Maryam sembari melihat putrinya menjauh.

***

"Kenapa kamu dan Adnan tidak tunangan dulu sih, Fat?" Syahnaz memang belum tahu kabar bahwa hubungan Fatimah dan Adnan kandas.

"Tidak apa-apa. Aku ingin langsung menikah saja. Kamu sendiri kenapa memilih tunangan lebih dulu?" Fatimah melirik pada Syahnaz sebentar, kemudian kembali melihat-lihat gaun yang terpajang di depannya.

"Aku ingin lebih mengenalnya, dan jika dia macam-macam nanti, aku bisa batalkan pertunangan ini. Tapi kalau langsung menikah, aku takut ada masalah ke depannya dan berakhir cerai. Nanti aku jadi janda dong?!" Syahnaz lalu bergidik sendiri. "Membayangkannya saja aku sudah takut!"

Fatimah terkekeh melihat kelakukan Syahnaz, kemudian teringat hubungannya dengan Adnan yang sudah berakhir dan membuatnya kembali murung. "Aku dan Adnan sudah putus, Naz."

"Hah? Putus? Kamu dan Adnan? Tapi kenapa?!" berondong Syahnaz tak sabaran.

"Mungkin belum jodohnya."

"Tapi Fatimah ... kamu bersamanya empat tahun kan? Bagaimana bisa?"

Fatimah menghela napas panjang. "Adnan akan segera menikah."

Syahnaz tentu saja terkejut mendengar kabar dari mulut Fatimah. "Adnan akan menikah? Dengan siapa?"

"Namanya Naura."

"Maksudku ... kenapa tiba-tiba jadi begini?"

"Aku juga tidak tahu, Naz. Setiap malam aku berharap ini hanya mimpi, namun ini kenyataan yang harus aku terima."

Syahnaz memegang kedua pundak Fatimah. "Maafkan aku tidak tahu apa-apa dan malah membawamu kemari untuk memilih gaun untuk acara pertunanganku. Kenapa kamu tak menolak ajakanku, Fat?"

"Mana bisa aku menolak ajakanmu? Bisa-bisa aku didiamkan tujuh hari tujuh malam!"

Syahnaz pun terkekeh mendengar ocehan sahabatnya. Dia sadar diri selama ini suka merajuk jika Fatimah tak menuruti permintaannya.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang sih? Aku akan buat perhitungan pada pria yang bernama Adnan Wisnu itu! Bisa-bisanya dia menyakiti sahabatku. Meninggalkanmu untuk menikah dengan wanita lain? Adnan pasti sudah tidak waras!" Syahnaz meninju-ninju tangannya sendiri.

"Sudahlah, Syahnaz. Sejujurnya aku malas membahas Adnan! Baru beberapa hari yang lalu aku menerima undangan yang tak tahu siapa yang menaruhnya di teras rumah. Kemudian aku langsung meminta bertemu untuk meminta penjelasan, dan Adnan membenarkannya."

Syahnaz menutup mulutnya yang menganga tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Dia benar-benar akan menikahi wanita yang bernama Naura itu?"

"Dia tak mengelak bahwa dia akan menikah, tapi ... dia memintaku untuk menunggunya bercerai setelah bayinya dilahirkan."

Mendengar paparan Fatimah membuat dahi Syahnaz berkerut dalam. "Bercerai? Bayi? Apa maksudmu, Fat? Aku tidak mengerti!"