webnovel

Pengantin Pria Itu Kekasihku

Fatimah tak minta ditemani siapapun, dengan berani dia berjalan memasuki gedung resepsi pernikahan Adnan dan Naura.

Fatimah mengambil napas panjang dan tersenyum selebar yang ia bisa, memperlihatkan lesung pipi yang menambah kesan manisnya.

Dia bisa melihat Adnan dan pengantin wanita yang di sampingnya, itu sudah pasti Naura, di atas pelaminan.

"Selamat ya, Adnan!"

Kini Fatimah berada di atas pelaminan itu, memberi selamat pada mantan kekasihnya.

"Fatimah ...," panggil Adnan lirih.

Mendengar Adnan memanggil nama Fatimah, Naura pun menatap sinis.

"Selamat atas pernikahanmu dan Adnan, semoga selalu berbahagia." Fatimah menatap pada Naura dengan senyum terbaiknya.

"Terima kasih," sahut Naura dengan senyum terkesan dipaksakan.

Fatimah kemudian menyalami kedua orang tua Adnan, tentu saja mereka merasa tak enak hati karena tahu hubungan Fatimah dan Adnan berlangsung begitu lama.

Ibu dari Adnan, Bu Tina, bahkan memeluk Fatimah seraya menitikkan air mata. Dia terus saja meminta maaf.

"Maafkan Adnan, Fat, sungguh. Ibu ingin kamu yang menjadi menantu Ibu."

Sedangkan ayah dari Adnan, Pak Hendra, berusaha menenangkan istrinya.

"Tidak apa-apa, Bu. Mungkin aku dan Adnan memang belum berjodoh." Fatimah melerai pelukannya dan berjalan turun dari pelaminan.

Fatimah turun diikuti oleh pandangan tak suka dari Naura. Naura tahu Adnan memiliki kekasih dan ia pun tahu namanya Fatimah. Namun baru hari ini pertemuan pertama kali Naura dan Fatimah.

Adnan sangat ingin mengejar Fatimah dan membawanya kabur sejauh yang dia bisa, namun ia tahu itu mustahil.

Susah payah Fatimah menahan gemuruh di dadanya, dalam hati ingin sekali rasanya ia berteriak. 'Pengantin pria itu kekasihku ...!'

Dengan langkah gontai ia meninggalkan gedung resepsi. Senyum yang sejak tadi Fatimah pertahanan perlahan memudar.

Langit yang tadi cerah tiba-tiba mendung, seakan turut bersedih bersama Fatimah. Dia terus berjalan tanpa berminat menyetop taksi.

Hujan pun mulai turun rintik-rintik. Fatimah berjongkok dan mulai menangis. Biarlah air matanya bercampur dengan air hujan, agar orang tak melihat bahkan tak tahu dirinya sedang menangis.

Kakinya mulai terasa sakit, karena berjalan sejak tadi dengan menggunakan high heels. Tapi lebih yang lebih sakit adalah hatinya.

Hari ini dia hancur sehancur-hancurnya, menyaksikan pria pujaan hatinya yang telah bersamanya selama empat tahun bersanding di pelaminan bersama wanita lain.

***

"Fatimah!" Bu Maryam berteriak terkejut melihat dress broken white Fatimah begitu kotor, dan tentu saja putrinya juga terlihat berantakan.

"Kamu darimana saja? Ibu cemas sekali! Di luar hujan begitu lebat dan kamu pulang dalam keadaan seperti ini?!" cecar Bu Maryam.

Fatimah hanya diam sama sekali tak menjawab ocehan Bu Maryam.

"Cepat mandi air hangat dan ganti bajumu!" perintah Bu Maryam. "Ibu akan buatkan bubur."

Fatimah hanya mengangguk lemah dan berjalan menuju kamarnya. Dia menatap cermin, penampilannya saat ini berbanding terbalik seperti saat dia akan berangkat.

"Kamu benar-benar bodoh, Fat!" rutuk Fatimah pada dirinya sendiri. "Makanya jangan sok kuat!"

Dia segera menuju kamar mandi dan menyelesaikan mandinya dengan cepat.

"Fatimah, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Bu Maryam dengan selembut mungkin, karena dia tahu putrinya sedang dalam mood yang tidak bagus.

"Aku ... tadi ... menghadiri pernikahan Adnan," jawab Fatimah terbata.

Bu Maryam tak bertanya lagi dan membiarkan Fatimah menyelesaikan makannya terlebih dahulu.

"Kenapa kamu tak mengajak Ibu?" Setelah Fatimah memakan habis bubur buatannya, Bu Maryam kembali bertanya.

"Aku pikir aku cukup kuat, Bu, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Aku masih menangisi pria itu dan masih berharap semua ini hanya mimpi."

Melihat raut wajah putrinya yang begitu sedih, tentu saja Bu Maryam tak tega.

"Ibu izinkan kamu kuliah S2 di Singapura."

Fatimah menatap Bu Maryam tak percaya mendengar kalimat yang terlontar dari ibunya. Ia ingat sekali ibunya melarangnya dan bersikeras agar Fatimah melanjutkan studinya di Jakarta.

"Apa Ibu serius?"

"Iya. Tapi janji satu hal pada Ibu."

"Apa, Bu?"

"Lupakan Adnan dan berbahagia lagi."

Kedua sudut bibir Fatimah tertarik membentuk senyuman. Lekas ia mengangguk cepat dan memeluk Bu Maryam.

"Terima kasih, Bu. Aku janji tidak akan bersedih lagi gara-gara pria itu!" Fatimah kini bahkan seperti tak mau lagi menyebut nama Adnan.

Pak Fadil baru saja tiba dan melihat anak istrinya sedang berpelukan. "Ibu, Fatimah, kalian sedang apa? Berpelukan seperti Teletubbies saja!"

"Bilang saja Ayah iri!" sahut Bu Maryam.

"Ibu sudah mengizinkan aku kuliah di Singapura, Yah!" Fatimah berseru dan nadanya terdengar sangat gembira.

"Wah, benarkah? Tidak sia-sia Ayah membujuk Ibumu siang dan malam!"

"Bukan karena bujukan, Ayah!" seru Bu Maryam tak terima. "Itu karena Fatimah pulang dari pernikahan Ad--"

"Ibu ...!" Fatimah memotong ucapan ibunya karena merasa malu.

"Iya-iya, Ibu tidak cerita pada Ayahmu." Bu Maryam pun mengerti dan tidak melanjutkan kalimatnya.

"Oh ... jadi ada yang main rahasia-rahasiaan dari Ayah?" Pak Fadil menatap Bu Maryam dan Fatimah bergantian.

"Nanti Ibu ceritakan kalau tidak ada Fatimah," bisik Bu Maryam pada Pak Fadil, namun masih bisa terdengar oleh Fatimah.

"Ibu ...!" Fatimah pun melayangkan protes lagi yang membuat Bu Maryam dan Pak Fadil tertawa.

***

Fatimah sedang begitu sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk syarat melanjutkan studinya di Singapura. Ia mengambil jurusan Bussiness Analysis, dan yang menjadi kampus tujuannya yaitu National University of Singapore.

Fatimah tergolong beruntung, dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata dan memiliki orang tua yang ekonominya dapat menunjang keinginannya.

"Fat, kamu kelihatannya sibuk sekali!" protes Syahnaz karena Fatimah seakan mengabaikannya sejak tadi ia datang.

"Aku mau lanjut kuliah pascasarjana, Naz."

Syahnaz datang ke rumah sahabatnya itu, namun yang didatangi terlihat sibuk dengan dokumen-dokumen yang Syahnaz tak tahu apa.

"Wuih, lanjut dimana nih?"

"NUS."

"Hah? NUS? Di Singapura?" Syahnaz terkejut bukan main, karena ia tahu Fatimah itu anak rumahan. Tapi kini dia bahkan akan kuliah di negara tetangga.

"Iya, kenapa?" Fatimah kini menatap kesal Syahnaz karena merasa disangsikan.

"Kenapa harus jauh-jauh sih? Memangnya orang tuamu mengizinkan?"

"Aku mau melupakan pria itu." Lagi-lagi Fatimah enggan menyebutkan nama.

"Pria itu? Siapa? Adnan?"

Fatimah mengangguk.

"Kenapa mesti jauh-jauh hanya untuk melupakan Adnan?" Pertanyaan Syahnaz hampir mirip dengan yang ibunya ajukan saat itu.

"Sudahlah, kamu tidak mengerti perasaanku!" gerutu Fatimah. "Siapa tahu aku bertemu jodohku disana." Lagi-lagi Fatimah berucap seperti saat itu menjawab pertanyaan kedua orang tuanya.

"Aamiin. Ucapan adalah do'a," cetus Syahnaz yang membuat Fatimah tersenyum tipis.

"Sudah selesai belum? Aku mau mengajakmu jalan-jalan!" Syahnaz berniat mengajak Fatimah menyegarkan pikirannya.

"Kemana?"

"Cuci mata. Lihat laki-laki ganteng!"

"Aku tidak berminat. Lagi pula kamu sebentar lagi akan bertunangan dengan Rama kan? Jangan ganjen deh, nanti aku aduin!" ancam Fatimah.

Syahnaz pun mengerucutkan bibirnya mendengar ancaman Fatimah. "Terus maunya kemana?"

"Aku mau nonton aja deh, ada film bagus tidak ya?"

"Lihat disana saja nanti! Yang penting jalan-jalan!"

Akhirnya Fatimah mengalah dan segera bersiap untuk pergi bersama Syahnaz, karena sahabatnya yang satu itu tidak menerima yang namanya penolakan.