21 Bab 20

Rana tengah berkutat pada PR Kimia yang diberikan oleh Bu Susanti di sekolah tadi. Ia selalu mengerjakan tugas di awal supaya nanti tidak lupa. Rumus-rumus kimia coba ia pahami untuk memecahkan soal, juga deretan senyawa pada tabel periodik. Dari dulu ia memang menyukai Kimia, sebenarnya ada sedikit keinginan untuk menjadi ahli parfum terkenal. Suatu hari nanti.

Tring!

Gathan calling!

Ponsel yang tergeletak tak jauh darinya bergetar terus menerus tanda ada panggilan masuk. Rana mengabaikannya dan terus fokus pada 4 soal terakhirnya. Ia berharap si penelfon sabar menunggunya.

"Selesai," gumam Rana menyelesaikan 10 soal Kimia.

Gadis itu menutup bukunya dan merapikannya ke dalam rak. Setelah itu meraih ponselnya dan berjalan menuju tempat tidur. Duduk di atas tempat tidur dengan bersandarkan kepala tempat tidur.

"Gathan," gumam Rana membawa nama kontak yang menelfonnya beberapa kali.

Kembali ponsel itu berdering dan Rana segera mengangkatnya.

"Halo, assalammu'alaikum," sapa Rana ramah.

"Halo, wa'alakumsalam. Na, kamu marah sama aku? Maaf karena dar tadi pagi aku nggak ngehubungin kamu. Aku cuma..."

"Siapa yang marah? Aku nggak marah kok," potong Rana sebelum Gathan melantur kemana-mana.

"Terus kenapa telfon dari aku baru diangkat sekarang?"

"Aku baru selesai ngerjain PR."

"Oh, kirain kamu marah sama aku."

"Kenapa aku harus marah kalau kamu sibuk sama dunia kamu. Itu privasi kamu, Than. Aku nggak berhak ikut campur. Yaa, sebelum status kita berubah dan aku jadi pacar kamu."

"Aku lega dengernya."

Rana dapat mendengar desahan lega dari seberang telfon.

"Eh, maksud kalimat terakhir apa?" tanya Gathan baru tersadar.

"Nggak ada," sahut Rana cepat.

"Ehm, mau makan martabak sama aku nggak?" tanya Gathan kemudian.

"Martabak?"

"Iya, depan kompleks perumahan kamu."

"Sekarang?"

"Hehm, aku udah di depan rumah kamu."

Rana kaget mendengar ucapan Gathan barusan. Gadis itu buru-buru melirik jendela yang mengarah ke depan rumah. Dilihatnya Gathan tengah menatap ke atas, ke arah kamarnya dengan segenggam telfon yang berada di telinganya.

"Sejak kapan kamu di depan rumah aku?"

"Sejak tadi jam 7."

"Kenapa nggak masuk?"

"Aku fikir kamu marah, makanya aku pilih tunggu di depan. Jadi mau nggak, makan martabak sama aku?"

"Aku izin Ayah sama Ibu aku dulu."

"Oke."

Sambungan berakhir.

Setelah mendapat izin dari orangtua Rana. Gathan mengajak Rana ke sebuah kedai yang menjual martabak. Berhubung jaraknya lumaya dekat, mereka memutuskan untuk jalan kaki saja dan membiarkan mobil milik Gathan parkir di depan rumah Rana.

"Asyik juga ya jalan malam-malam kayak gini," gumam Gathan menatap keliling kompleks yang masih ramai. Kompleks rumah Rana memang banyak terdapat rumah kos, sehingga masih banyak anak muda yang nongkrong di depan rumah.

"Hehm. Dulu waktu keceil aku suka keliling kompleks sama Ayah. Sambil cerita apapun, tentang sekolahku, tentang hobi kita. Sekarang udah nggak pernah lagi, Ayah sering masuk angin kalau lama-lama di luar." Rana bercerita sambil tertawa.

"Kamu deket banget ya, sama orangtua kamu?" Gathan menoleh ke samping. Ia tersenyum melihat wajah Rana dari samping.

"Bukannya semua anak pasti deket sama orangtuanya ya? Aneh pertanyaan kamu." Rana menoleh ke samping dan pandangan mereka saling bersitubruk.

Gathan tersenyum geli saat Rana memalingkan wajahnya lantaran salah tingkah. Meskipun cahayanya hanya ditemani bulan, tapi ia bisa melihat semburat merah di pipi Rana.

"Orangtuaku terlalu sibuk, jadi aku lebih sering menghabiskan waktu dengan pengasuhku."

"Tapi kamu tahu 'kan kalau mereka sayang banget sama kamu? Sekalipun mereka tidak selalu berada di dekat kamu."

"Iya, aku tahu." Gathan berujar pelan. Ia tahu kalau orangtuanya sangat menyanyanginya. Mungkin benar apa yang di katakan oleh Rana, cara mereka menunjukan kasih sayangnya dengan bersikap tegas padanya. Terutama Papanya.

Kembali mereka menelusuri jalanan kompleks. Menyapa jika melewati tetangga. Membicarakan banyak hal hingga membuat hubungan mereka semakin dekat. Sampai akhirnya mereka sampai di kedai martabak yang penuh dengan para pembeli. Mereka memesan 2 jenis martabak, satu manis dan satu lagi yang asin. Hanya dalam waktu kurang dari 2 jam, Gathan semakin dibuat terpesona dengan Rana.

Saat Rana menyibak poninya ke samping, saat ia mengikat rambutnya membentuk cepolan, saat makan martabak dengan lahap, saat dagunya bergerak menikmati musik dari pengamen yang menghampiri meja mereka juga saat ia membantu seorang ibu-ibu yang kesulitan menyebrang jalan dalam perjalanan pulang.

"Udah malam, masuk gih," ujar Gathan.

"Hehm, terimakasih kudapan malamnya." Rana tersenyum manis. Gadis itu lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Saat mencapai pintu gerbang, ia kembali menoleh ke belakang. "Tawaran kencan lo masih berlaku nggak?" tanyanya cepat.

"Hah?"

"Besok pulang sekolah kita jalan. Dating pertama kita," ucap Rana cepat dan tanpa menunggu respon dari Gathan, ia berlari masuk ke dalam rumah.

"Dating?" Gathan masih menelaah ucapan Rana barusan. "Maksudnya? YES, AKHIRNYA RANA MAU KENCAN SAMA GUE!" teriak Gathan setelah menyadari maksud dari ucapan Rana tadi.

"WOY, MAS! GUE TAHU LO SEDANG JATUH CINTA! TAPI SIMPATI DIKIT SAMA GUE YANG LAGI NGERJAIN SKRIPSI! JANGAN BERISIK!" Sebuah suara yang cujup nyaring menimpali ucapan Gathan barusan.

Gathan menoleh ke sekeliling dan tersenyum meminta maaf pada seorang pemuda yang duduk di depan teras rumah dengan laptop dan kertas yang berantakan di sekitarnya. Lalu ia masuk ke dalam mobilnya dengan senyum tak lepas dari bibirnya.

"Cie, yang baru jadian," celoteh Rajasa menggoda putrinya yang mengintip Gathan dari jendela ruang tamu.

"Ayah." Rana menoleh kaget. "Ngagetin aja sih."

"Jadi anak Ibu udah punya pacar nih," tanya Saras ikut menggoda putrinya.

"Apaan sih, Yah, Bu. Kencannya baru besok, belum resmi," oceh Rana mengelak.

"Halah, bisa aja. Bilang aja nggak sabar nunggu hari esok."

"Udah ah, aku mau tidur dulu. Ngantuk," pamit Rana.

"Lho, emangnya orang yang jatuh cinta bakalan bisa tidur ya, Bu? Apalagi besok kencan."

"Waduh, nggak tahu juga, Yah. Tanya sama yang bersangkutan aja."

Obrolan sepasang suami itu sengaja untuk menggoda putri semata wayang mereka.

avataravatar
Next chapter