Hari demi hari Jina lalui bekerja di tempat itu dengan penuh kesabaran dan selalu menghibur dirinya sendiri agar tak menyerah pada keadaan.
Tapi suatu ketika masalah yang lebih besar pun timbul menimpa dirinya karena perbuatan seorang kurir yang benci padanya.
Dia meminta seorang kurir untuk menyetorkan sejumlah uang ke Bank. Dia bahkan memohon agar kurir itu tidak lupa. Biasanya pekerjaan itu dia lakukan sendiri meski ada kurir yang bertugas untuk melakukannya. Tapi karena saat itu dia memiliki banyak pekerjaan, dia pun tidak bisa membagi waktunya dan memberikan tugas itu padanya.
Jina menunggu sampai sore hari, tapi kurir itu tak kunjung membawa kabar. Hingga jam kerja selesai, si kurir tidak tahu kemana rimbanya. Dia benar-benar mempersulit keadaan Jina.
Lalu ke esokan paginya pihak Shipping datang ke ruangannya dan membentaknya tentang uang itu. Dia berkata,
"Hei, kenapa kamu tidak setor uang trackingnya? Kamu ga tahu kalau barang itu harus dikirim hari itu juga? Barang itu urgent."
"Aku sudah suru kurir semalam buat setor uangnya. Pagi-pagi jam 8 aku sudah memintanya menyetorkan uang itu lebih dulu. Aku tidak bisa pergi ke bank karena bos memberiku pekerjaan lain."
"Agh, aku ga peduli. Itu bukan urusan ku. Gara-gara kau, barang itu ga jadi dikirim. Aku ga mau tahu dan aku ga mau disalahkan. Sekarang kau jelaskan saja sama bos."
"Tapi itukan bukan kesalahan ku. Kau bantulah aku untuk menjelaskannya sama bos."
"Bukan urusan ku."
Tak lama kemudian pihak Shipping itu menceritakan pada bosnya kalau barang itu tidak jadi dikirim karena uangnya belum ditransfer. Mendengar itu, bosnya yang menuju ke kantor itu pun marah besar dan segera menelepon Jina. Dia memakinya di telepon tanpa mendengarkan penjelasannya lebih dulu.
Dia hanya bisa diam saja mendengarkan baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut bosnya.
Sesampainya disana, bosnya segera menemui Jina dan marah lagi padanya, seolah tak puas memakinya di telepon. Dia juga memanggil kurir yang bersangkutan itu, tapi tak memarahinya sedikit pun hanya karena dia saudara dari HRD sekaligus menejer disitu.
Kurir itu juga memfitnahnya dengan mengatakan bahwa uang itu tidak terlalu urgent. Karena itulah dia mengulur waktu dan melakukan hal yang lain.
Akibatnya bosnya semakin marah dan memaki-makinya lagi.
Itu bukanlah makian yang biasa dia dengar setiap harinya. Tapi kali ini makian itu terasa sangat berat seperti hujan es yang beratnya 20 kg sedang menimpa dirinya. Dia bahkan tidak sanggup menghadapi hinaan itu dan ingin menyerah saja. Ditambah lagi tidak ada seorang pun disana yang membelanya, meski dia sudah bekerja keras.
Orang-orang disana sangat memandang rendah dirinya hanya karena dia berasal dari desa kecil dan dari suku yang lain.
Setelah kejadian itu, dia menarik nafasnya dalam-dalam mencoba untuk tetap tenang dan tidak menangis.
Tapi sekeras apa pun usahanya, airmatanya tidak dapat tertahan. Maka untuk menutupinya, dia pergi ke kamar mandi dan mencuci wajahnya agar tidak terlihat seperti orang yang baru saja menangis.
Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya seperti biasa.
**********
Sepulang kerja, Jina menangis lagi semalaman di kamar kosnya. Dia menutup mulutnya agar suara tangisannya tidak terdengar ke anak-anak kos yang lain. Dia juga takut untuk tidur. Dia takut pagi akan datang. Dan kemarahan bosnya belum juga hilang. Jina sempat berpikir untuk mengakhiri kehidupannya karena tidak tahan dengan situasi yang dihadapinya terus-menerus. Dimana ketidakadilan selalu saja menghantuinya. Dia berpikir, mungkin dengan cara seperti itu, semua masalahnya bisa terhenti dan dia bisa hidup dengan tenang dan damai.
Tapi ketika dia hendak menggoreskan pisau itu ke tangannya, dia teringat pada keluarganya di kampung. Dia juga ingat pada perkataan neneknya. Dia berkata,
"Jika aku mati disini, siapa yang akan mengubur ku di tempat ini? Aku tidak punya siapapun disini, tidak ada yang peduli pada ku disini. Jika aku mati, siapa yang akan kirim uang ke kampung?
Aku sendirian disini.
Sendirian.
Benar-benar sendiri."
Karena merenungkan hal itu, dia pun mengurungkan niat buruknya itu. Dia terus mengucapkan kata-kata yang sama berulangkali, 'aku benar-benar sendirian. Aku sendirian'. Dia mengucapkannya sambil menangis pelan, hingga tangisan itu sangat menyesakkan dadanya, membuatnya sulit untuk bernafas.
Akhirnya Jina memutuskan untuk berdoa pada Yang Kuasa agar bebannya terangkat. Agar dirinya diberi kedamaian.
Jina berdoa panjang lebar mencurahkan semua perasaannya dan penderitaannya. Dengan mulut yang berkomat-kamit seperti orang yang mabuk alkohol.
Jina pun merasa sedikit tenang usai berdoa dan akhirnya bisa tidur. Dia tertidur meringkuk di sudut kamarnya.
**********
Ke esokan paginya, Jina bangun pagi-pagi sekali. Matanya bengkak dan sembab. Tapi dia tetap bersiap-siap dan pergi bekerja. Dia juga mengawali harinya dengan berdoa agar dirinya diberi kekuatan.
Beberapa jam setelah dia sampai di kantor, bosnya pun datang menuju ruangannya. Ruangan bosnya bersebelahan dengan ruang kerjanya. Dan bosnya pasti melewati ruang kerjanya lebih dulu sebelum akhirnya sampai di ruangan pribadinya. Jina yang melihat bosnya itu dari jauh berharap agar bosnya tidak mengingat kejadian kemarin dan bisa bersikap baik padanya sama seperti kepada karyawan lainnya.
Dan apa yang dia harapkan pun terjadi, bosnya memasuki ruangannya tanpa singgah ke meja kerjanya.
Jina pun bisa bekerja dengan tenang dan semangatnya mulai muncul kembali. Dia berterima kasih pada Yang Kuasa karena telah membantunya.
Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama. Karena perasaan iri hati yang berkembang dan tumbuh subur di hati karyawan lainnya terhadapnya, mendorong mereka kembali untuk menghancurkan Jina.
Jina tidak habis pikir kenapa mereka bisa berbuat seperti itu padanya. Setiap hari mereka selalu merendahkannya, membullynya.
Terkadang dia ingin menyerah saja karena tidak tahan dengan bullyan yang dia dengar setiap hari. Tapi dia berusaha menyemangati dirinya sendiri dengan berkata,
"Sabar Jina. Biarkan saja mereka. Yang penting kamu masih bisa bekerja dan dibayar dengan baik. Ingat tujuan mu kesini untuk cari uang. Bukan mencari teman. Jika kau tidak punya teman, yah sudah, biarkan saja. Yang penting kamu masih bisa hidup dan membantu keluarga. Syukuri itu saja."
Begitulah dia terus menyemangati dirinya setiap kali mendapat bullyan. Dia melakukannya agar bisa melewati hari-hari yang penuh ketidakadilan dan prasangka itu. Hanya karena dia berbeda. Berasal dari desa dan suku yang lain.
Dia berusaha bertahan disana demi keluarganya di kampung. Jina sekarang menjadi tulang punggung keluarga sejak bapaknya berhenti mengirim uang karena alasan yang tidak jelas dan masuk akal.