Dua bulan sudah Fatimah bekerja bersama sang ibu di rumah mewah dekat tempat tinggal mereka itu, dan beberapa kali juga Fatimah bertemu dengan ibu si pemilik rumah yang tidak lain adalah bosnya saat ini. Dan nyatanya memang benar kata sang ibu sebelumnya, jika bos pemilik rumah itu sangat baik dan pengertian. Bahkan dia beberapa kali mengobrol dengan Fatimah, dan mempertanyakan banyak hal.
Jika di perjelas, sebenarnya kini Fatimah itu seperti orang yang membantu ibu itu dari balik bayangan dalam menentukan pendapat atau pilihan di pekerjaannya. Dan ya, hubungan Fatimah dengan bosnya itu cukup dekat mengingat Fatimah itu pribadi yang jujur dan tulus.
Kini, Fatimah dan juga ibunya sedang sibuk memasak dan mempersiapkan banyak hal. Bukan karna sebuah acara, melainkan karna kepulangan sang putra semata wayangnya bos dari luar negeri. Sesuai yang di perintahkan oleh ibu bos, Fatimah membersihkan kamar anak bos itu hingga bersih dan rapi. Tidak lupa ia memasang pengharum ruangan yang menyegarkan, setelah selesai baru ia membantu sang ibu di dapur.
Hari berlalu begitu cepat, kini malam tiba dan semua pekerjaan selesai di lakukan. Fatimah dan sang ibu pun berpamitan pada ibu bos, karna mereka harus pulang mengingat hari sudah malam. Akhirnya Fatimah dan sang ibu pun di perbolehkan pulang, karna memang semua pekerjaannya sudah selesai.
.
.
.
*Bandara Internasional Soekarno-Hatta
Seorang pria keluar dari pesawat dengan kacamata hitam yang bersarang di wajahnya, ia melangkah memasuki bandara dan mengambil kopernya. Wajahnya yang tampan dan penampilannya yang keren menjadi pusat perhatian setiap wanita yang ada di sana, bahkan ada yang sampai membuka mulutnya tidak percaya jika ada pria setampan itu di negeri ini.
Ali, dialah pria tampan yang menjadi pusat perhatian semua wanita dalam bandara itu. Kini ia berada di luar bandara dan memberhentikan satu taksi untuk mengantarnya ke rumah, sungguh rasanya ia rindu pada rumah lamanya itu. 3 tahun lebih hidup di kota London membuat Ali berubah begitu banyak, ia menjadi lebih tegas, dingin, dan dewasa.
"Ternyata ada banyak perubahan di sini, apakah hatiku juga?" Gumam Ali sambil menatap keluar jendela mobil.
Suasana dalam taksi itu begitu hening, hingga tanpa terasa 30 menit kemudian taksi itu sampai di halaman rumah yang alamatnya Ali sebutkan. Ali langsung turun dari taksi, lalu ia membawa kopernya masuk ke teras rumah. Setelah di bayar taksi yang tadi di tumpangi Ali pun bergerak pergi, kini tersisa Ali saja yang berada di depan rumahnya.
Tok.. tok.. tok..
Tidak lama kemudian pintu terbuka, tampaklah seorang wanita paruh baya dengan wajah lelahnya.
"Assalamualaikum, aku pulang." Salam Ali pada sang ibu.
"Waalaikum sallam sayang, akhirnya kamu pulang juga. Ayo masuk, ibu sudah menunggumu sejak tadi." Jawab wanita itu dengan senyum senangnya.
Ali mengangguk paham, lalu ia pun melangkah masuk sambil mendorong kopernya dan di apit sang ibu di sampingnya. Lalu mereka berhenti di meja makan, di sana sudah ada banyak sekali menu-menu kesukaan Ali.
"Subhanallah, banyak sekali bu makanannya." Ungkap Ali terpesona.
"Tentu, semua ini ibu siapkan khusus untuk kamu. Ayo dimakan dulu, kamu pasti sudah lapar kan?" Jawab wanita paruh baya itu.
Ali mengangguk setuju, karna memang benar jika saat ini perutnya sudah terasa lapar. Berjam-jam berada di dalam pesawat tentu membuat perut terasa lapar, dan melihat makanan-makanan itu berjejer rapi di meja makan benar-benar membuat perut Ali berontak minta di isi.
Karna sudah tidak tahan lagi, Ali pun langsung membalik piring yang sudah di siapkan. Lalu ia mengambil nasi dan satu persatu lauk ke dalam piring, setelah itu Ali langsung menyantapnya dengan lahap.
Laras, ibu kandung Ali itu tersenyum melihat sang putra kini tumbuh menjadi pria yang tampan dan pintar. Bahkan perusahaan di London yang sebelumnya bermasalah kini kembali naik dan di percaya semua mitra besar karna usaha putranya itu, Ali memang anak yang membawa keberuntungan dalam hidupnya.
"Masya Allah bu, masakan ini enak sekali. Siapa yang masak?" Tanya Ali pada sang ibu.
"Bi Ira, kamu masih ingat kan?" Jawab Laras pada sang putra semata wayangnya.
"Bi Ira masih bertahan di sini?" Balas Ali dengan terkejut.
"Iya, tapi sekarang di bantu sama anaknya. Kasihan si bi Ira nya sudah sering sakit, karna itu anaknya bantu-bantu juga di sini." Jawab Laras menjelaskan.
Ali mengangguk paham, ia memang sudah cukup mengenal asisten rumah tangganya itu. Karna asisten rumah tangga yang satu ini masuk beberapa bulan sebelum ia lulus, sehingga Ali sempat mengenalnya dan bahkan mengobrol banyak hal bersama.
"Oh begitu, kenapa bi Ira tidak berhenti saja ya? Padahal kan ada anaknya yang menggantikan." Balas Ali dengan tatapan heran.
"Bi Ira nya tidak mau, katanya dia sudah nyaman bekerja di sini." Jawab Laras memberitahu.
"Ya sudah, besok coba aku sapa deh. Sekalian kenalan dengan asisten rumah tangga yang baru, ya kan bu?" Putus Ali sambil bercanda.
"Kenalannya si boleh, tapi jangan di godain ya? Bukan mukhrim!" Tekan Laras mengingatkan.
Ali tertawa kecil melihat ekspresi sang ibu yang curiga padanya, walaupun niatnya hanya bercanda tapi sang ibu tentu akan terus waspada.
"Iya bu iya, Ali mengerti kok." Balas Ali meyakinkan.
Bu Laras hanya menatap Ali tidak percaya, lalu ia melanjutkan makannya yang tertunda. Sedangkan Ali hanya menghela nafas panjang, benar-benar deh ibunya itu selalu saja curiga pada dirinya. Padahal Ali sendiri bukan pria yang suka menggoda wanita, tapi ibunya itu selalu saja waspada dan mengingatkan dirinya untuk tidak menggoda wanita.
Akhirnya acara makan malam itu selesai, lalu Ali melangkah masuk ke dalam kamarnya yang sudah 3 tahun ia tinggalkan itu. Ternyata semuanya masih sama, hanya saja hawa dan aroma kamar itu terasa berbeda. Ali mengernyit heran, lalu ia menatap pengharum ruangan yang berbeda di dalam kamarnya. Tidak mungkin ibunya atau bi Ira yang mengganti, karna mereka selalu memakai pengharum ruangan yang sama. Berarti terduganya hanya satu, anak dari bi Ira yang mengganti pengharum ruangan di kamar Ali itu.
"Seleranya lumayan bagus, aroma ini memang terasa segar dan nyaman." Gumam Ali dengan senyum tipis.
Ali menaruh kopernya di samping ranjang yang cukup lapang, sedangkan dirinya sendiri langsung berbaring di kasur. Rasa lelah yang menyapanya terasa begitu memberatkan, hingga tubuh Ali terasa nyaman sekali saat berbaring di kasur. Hingga akhirnya tanpa Ali sadari, matanya terpejam dan ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya yang begitu tenang.