webnovel

Jika Itu Kamu

Gelombang biru yang besar telah menarik Mila ke dalam dunia novel yang dibuat oleh ibunya sendiri! Awalnya, Mila menyukai dirinya berada di dunia novel, tapi itu tidak bertahan lama. Adengan demi adegan sudah dilalui Mila. Ternyata Ibunya suka membuat tokoh utama menangis. Tujuan Mila sekarang adalah untuk keluar dari dunia novel! Dia tidak mau menjadi tokoh utama. Sampai akhirnya, ada seseorang yang menyadari bahwa dirinya tidak berada di dunia nyata. Orang itu membantu Mila agar sama-sama bisa keluar dari dunia yang fiksi ini. Apakah Mila bisa keluar dari dunia novel? atau takdir berkata lain?

Syafira_Putt · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

*Mila Farren Elysia*

Novel yang ditulis oleh Naura laris manis. Minggu pertama, Naura gunakan uang bayarannya untuk membayar uang sewa. Hidupnya berubah drastis dan dia sekarang menjadi penulis tetap.

Naura juga sering kali diundang ke acara tv untuk wawancara. Dia juga menjadi penulis favorit di kalangan anak muda bahkan dewasa.

"Kamu enggak capek? Wara-wiri dari tadi pagi," tanya Lita pada Naura yang baru saja sampai seusai menghadiri suatu acara.

"Enggakpapa kok, Bu. Naura malah seneng," ujar Naura.

"Duduk dulu trus makan. Ibu udah masakin makanan kesukaan kamu,"

"Ibu masakin mi goreng?" wajah Naura berseri-seri.

"Enggak. Makan mie terus itu enggak baik buat kamu," Lita menuju ke dapur untuk mengambil makanan yang ia masak tadi. "Ibu masakin tumis buncis," lanjutnya mendekati Naura.

Bibir Naura melengkung. Lita gemas dengan ekspresi anaknya.

"Sebentar lagi kamu lahiran, Nak." gumam Lita.

Mendadak wajah Iqbal terlintas di pikiran Naura. Ada rasa getir kala mengingatnya. Ia jadi teringat kata Iqbal kalau suaminya akan mendampingi Naura saat persalinan. Tapi itu tidak bisa terwujud. Semua hanya kenangan yang dikubur dalam-dalam bersama dengan jasad Iqbal.

"Kamu harus persiapin semuanya dan setelah itu, ibu bakal jadi seorang nenek." ujar Lita terharu. Tak ada jawaban dari Naura.

"Kok malah bengong?" Lita menyentuh pundak anaknya. Naura terkesiap.

"Eh, kenapa, Bu?" tanya Naura penasaran.

"Lupain. Kamu makan cepet. Enggak baik kalau ibu hamil telat makannya,"

****

17 tahun kemudian...

"MILA!!" teriak Naura menggelegar ke seluruh sudut rumah.

"Aduh, mampus!" gerutu Mila pada dirinya sendiri. Ibunya pasti akan marah besar hanya karena dirinya tidak masuk sekolah.

"Sembunyinya di mana ya, aduh, bingung..." Mila maju mundur tak jelas. Jika ia tidak bersembunyi, sudah jelas ia akan dihukum naik turun tangga dengan berjongkok!

Kreekk

Pintu dibuka. Siapa lagi kalau Naura yang membuka. Kedua bola mata Mila membulat sempurna. Gadis berambut sebahu itu sukses tak bergeming.

"Bagus ya," Naura menarik daun telinga Mila.

"A-aduh," pekik Mila kesakitan.

"Kenapa enggak masuk sekolah?! Mau jadi orang apa kamu? Hah?!" hardik Naura.

"A-ampun, Mah. Mila enggak enak badan,"

"Bohong! Mamah tahu, kamu subuh tadi ngambil air minum dingin di kulkas kan?"

Mila dibuat bisu.

"Sekolah sana, ini masih jam tujuh." perintah Naura.

"Nggak mau." respons Mila tetap bersikukuh pada keinginannya walaupun sudah dimarahi oleh Ibunya.

"Kamu enggak sekolah, Mamah enggak akan nganggap kamu sebagai anak lagi." kata Naura dengan nada serius.

"Terserah. Mila tetap enggak akan sekolah. Mamah emang enggak bisa ngertiin aku. Mamah enggak pernah nanya alasan kenapa aku enggak sekolah, gimana keadaan aku kalau di sekolah, apa baik-baik aja atau enggak."

Langkah Naura terhenti.

"Mamah selalu marahin aku kalau nilai ujian aku rendah. Mamah enggak pernah bantu aku buat belajar. Sejak kecil, cuma nenek yang selalu dampingin Mila. Sedangkan Mama? Mama sibuk nulis dan enggak peduli sama Mila!" indra penglihat Mila berkaca-kaca.

"Mamah enggak tau kenapa aku enggak mau sekolah?" Mila mendecih seolah-olah meremehkan Ibunya. "Udah lah Mamah enggak akan tau. Mamah taunya cuma nulis cerita-cerita enggak masuk akal."

Naura berpusing ke putrinya. "Maafin Mamah, La,"

"Enggak ada gunanya maaf, Mah. Aku udah hidup tujuh belas tahun, tapi Mamah seakan-seakan enggak nganggep Mila ada. Mamah selalu sibuk." bulir bening keluar dari kelopak mata Mila. Dia meraih tas mininya dan memilih untuk keluar mencari udara segar.

"Kamu mau kemana, Mila? Mila! Kamu mau kemana?" Naura mengikuti anaknya. Mila acuh.

Sampai Lita muncul di balik pintu, langkah Mia terhenti.

"Cucu Nenek mau kemana?" tanya Lita lemah lembut.

Mia menundukkan kepala, lalu menggeleng pelan. Dia tidak mau berbicara dengan siapapun saat ini.

Nauren takut. ia takut Mila mengalami kecelakaan sama seperti yang menimpa Iqbal. Mengingat, sekarang musim mudik. Di mana jalan raya sedang ramai berbagai kendaraan.

"Ayah! Mila mau nyusul ayah!" air mata mengalir deras. Tenggorokan Mila terasa tercekat. Berat untuk mengatakan sesuatu. Alhasil Mila berlari seraya menangis sesegukan.

Gadis berusia 17 tahun itu selalu dibully ketika di sekolah. Semua murid tidak ada yang menyayanginya apalagi menjadi temannya. Bahkan dirinya sudah pernah dilecehkan oleh murid cowok yang sama sekali tidak mempunyai perasaan. Hal itulah yang membuat Mila sangat takut untuk masuk sekolah. Mila tidak pernah menceritakan perihal dirinya dibully di sekolah. Dia tidak mau dianggap sebagai anak lemah. Mia juga tidak mau dikasihani oleh orang-orang.

Mila berlari dan menabrak apapun yang menghalanginya. Dia kini akan menuju makam ayahnya untuk meluapkan semua kekesalan yang ada di dalam pikirannya. Mila ingin bertemu dengan ayahnya 1 kali saja. Walaupun ia sudah melihat foto ayahnya, tapi tetap saja hal itu tidak membuat Mila puas. Dia ingin melihat ayahnya secara langsung.

Sampai akhirnya, Mila masuk ke area pemakaman dan menemukan makam ayahnya di sana. Dengan berurai air mata, Mila jongkok dan memegang nisan yang bertuliskan 'iqbal alvaro' itu.

"Ayah, apa kabar?" Mila bertanya seakan-akan ada orang di sana.

"Mila kangen sama ayah. Ayah di sana baik-baik aja kan?"

"Pulang sekarang!" Naura menekan setiap kalimatnya. Mila mendongak dan terkejut mendapati Ibunya sudah berada di belakangnya.

Mila menggeleng kuat.

"Jangan bikin Ibu bentak kamu. Sekarang kita di makam, La," Naura menyabar.

"Mila pulang dulu ya, nanti kapan-kapan Mila jenguk ayah lagi," Mila akhirnya menurut.

Mila berdiri dan melangkah keluar area pemakaman. Dia tidak menggrubis Naura yang sedari tadi terus mengocehinya.

"Mila! Mamah dari tadi ngomong. Kamu dengerin apa enggak sih?" tegur Naura yang kesabarannya sudah habis. Agar Mila tidak lari lagi, Naura kini menggenggam erat tangan Anaknya.

"Tinggalin aku sendirian." ujar Mila. Ekspresinya begitu dingin.

"Enggak. Di sini terlalu berbahaya." tolak Naura.

"Aku mau sendiri untuk sekarang. Plis, izinin aku. Kalau enggak, Mila bakal nabrakin tubuh Mila sendiri ke truk itu." jari telunjuk Mila menunjuk truk yang akan melintas.

Deg

Jantung Naura tersentak. Sekali lagi, kejadian saat tubuh Iqbal terseret jauh oleh truk besar kembali terlintas di pikirannya. Naura tidak mau kehilangan Mila yang merupakan anak satu-satunya.

Naura melepaskan genggamannya. Mila mengusap air mata sejenak, lalu pergi meninggalkan Ibunya yang masih mematung.

Taman, tempat yang dituju oleh Mila sekarang. Menurutnya, melihat bunga-bunga bermekaran serta angin yang sejuk membuat pikiran Mila menjadi refleks.

Tak membutuhkan waktu lama, Mila sudah sampai di taman. Keadaan di sana nampak sepi. Tidak seperti biasanya. Mila cuek. Mungkin ini hari senin oleh karena itu, tidak ada orang yang datang ke taman.

Belum lama mendudukkan diri di salah satu bangku, mata Mila kini terpusat pada suatu cahaya biru bergelombang yang sangat besar.