webnovel

Jika Alquran Adalah Kekasih

Nadya22 · Teen
Not enough ratings
3 Chs

1. Bisik Asmara

Jika boleh diri ini merajuk, aku ingin Kau antarkan rindu ini padanya. Pada seseorang yang telah Kau pilihkan menjadi calon imamku, kelak. – Anisa Elkhaira Manzil - 

AWAN kelabu menggelayut manja di atas langit Jakarta. Orang orangn eluar dari rumah mereka untuk memulai aktifitasnya. Mereka menggunakan sepeda, jalan kaki, naik taksi, bahkan ojek untuk menuju ke tempat tujuan. Beragam manusia dari berbagai suku dan ras, memenuhi jalanan kota Jakarta yang padat setiap harinya. Di atas sana, burung-burung terbang bebas, seolah ingin memberikan kabar baik, bahwa hari ini sungguh indah. Diantara jutaan manusia yang memulai hari pagi ini adalah, Anisa.

Udara dingin mencapai suhu 200 C di kota Jakarta menyusup lewat hembusan angin yang terasa lebih kencang dari biasanya. Angsa – angsa putih berbaris dengan sangat rapi, berenang dengan santai membuat riak kecil pada air danau yang terletak di tengah taman. Daun – daun yang mulai rontok berserak di atas jalan setapak, menambah beban bagi petugas kebersihan Kota. Meski suhu udara sedang sangat tidak bersahabat, Orang yang memang gemar memperhatikan kesehatan, tetap saja melakukan joging pagi ini.

Tengah berjalan, Anisa tiba – tiba teringat sesuatu ketika melihat kerudung panjangnya menjuntai, hampir menyentuh tanah. Ibunya selalu berpesan padanya, agar tidak terlalu panjang mengenakan pakaian, baik itu jilbab atau gamis. Yang penting tidak terlihat lekuk tubuh saja, sudah cukup. Ia lalu tersenyum dan melanjutkan perjalannya setelah membetulkan letak jilbab panjangnya. Ah iya, Paris. Kepalanya tiba – tiba saja memutar memori lama, tentang kota yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu.

Paris, aku ingin suatu saat kembali lagi kesana. Bukan hanya untuk melihat Eifell tower, atau sunset nya, melainkan sesuatu yang tak pernah ku sadari sebelumnya.

Anisa mendongak sejenak ke atas langit, mengamati beberapa pohon yang daunnya telah hampir habis, satu diantaranya masih bertahan hidup, meski tak lagi berbuah. Ia tersenyum, merapatkan tangannya di dada. Dinginnya kota Jakarta pagi ini, terasa begitu menggigil. Ia jadi ingin secepatnya sampai di rumah.

***

"Assalamu'alaikum, Umi...," sergah Anisa begitu sampai di depan pintu rumahnya. Namun begitu terkejutnya gadis itu, ketika melihat semua anggota keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan.

Zaleefa, ibunda Anisa menghampiri gadis berbalut gamis biru tua, dengan jilbab bermotif bunga itu dan menuntunnya ke hadapan semua keluarganya. Anisa yang masih terheran – heran hanya bisa duduk bengong, setelah menyalami punggung tangan eyang putri dan kedua orang tuanya.

"Nah, kebetulan sekali yang di tunggu sudah tiba. Kita bahas ini, sekarang saja Hans," begitu kata Katrina, nenek Anisa sesaat setelah gadis itu duduk di salah satu sofa. Ia seperti tak peduli sama sekali pada wajah pucat pasi cucunya, yang masih dilanda kebingungan itu.

Zaleefa ingin menjawab, dari sorot matanya sepertinya hanya dialah satu – satunya yang menentang pembicaraan ini. Tapi pembicaraan apa yang di maksud? Anisa tidak paham sama sekali. Ia kini merasa seperti seorang terduga teroris, yang menunggu hukuman mati.

"Ini tentang perjodohan antara Anisa dengan salah satu putra, teman bisnis Ayah. Sudah lama kami bersahabat, dan kami ingin mengikat tali persahabatan itu dengan sebuah hubungan keluarga, berbesan,"

DEG

Bagai tersambar petir di siang hari bolong. Anisa tak sempat megucapkan sepatah kata pun, ia hanya duduk lemas di sofa. Saat kedua orang tuanya menatap ke arahnya, gadis itu hanya mengangguk. Lantas mereka segera menentukan hari, agar calon besan datang ke rumah. Benar – benar hancur hati Anisa.

"Kenapa Umi nggak pernah mengatakan ini, kenapa Umi?" tanya Anisa begitu memasuki kamarnya. Gadis itu merengek, merajuk dan memeluk tubuh tak berdaya sang bunda. Ia sendiri tak tahu, hati ibunya juga sedang tertekan.

Dengan lembut, Zaleefa membelai puncak kepala Anisa yang tertutup jilbab. Ia kecup hangat kening putri kesayangannya itu, sebelum akhirnya berkata, "Umi sendiri baru tahu, sayang... saat ingin mengajukan pendapat, nenek kamu malah marah pada Umi. Beliau tidak suka kalau seorang istri membantah ucapan suami,"

Masih dalam isakan-nya, Anisa berkata," Baiklah, kalau memang ini demi yang terbaik, Anisa rela melakukannya. Anisa menerima perjodohan ini, demi kebahagiaan Umi,"

Sebenarnya hati Anisa tak semudah itu menerima perjodohan ini. Ia ingin melanjutkan studi nya ke Paris, suatu saat nanti. Tapi Neneknya selalu saja menentang keinginan mulia nya itu. Bagi sang Nenek, tugas seorang perempuan ya hanya mengurus rumah tangga, untuk apa menjadi Sarjana, untuk Kuliah tinggi – tinggi kalau toh, nantinya akan menjadi ibu rumah tangga, yang bertugas mengurus anak. Walau menuruti keinginan neneknya, dalam hati mimpi itu tetap menyala. Dan terbenam saat ini, dimana hari perjodohannya di tentukan.

Anisa membuka sebuah buku kecil, yang tertata rapi di antara puluhan buku miliknya. Lalu membukanya perlahan. Sebuah photo, kenangan bersama sahabat terbaiknya dulu, saat masih sama – sama menimba ilmu di Paris.

Aletta, di mana kamu sekarang?

Lalu, ia membuka halaman lain. Hei! Sosok seorang pemuda, sedang duduk termenung di kursi taman seorang diri. Anisa yakin, bukan dirinya yang mengambil dan menyimpan photo itu. Ah iya, ini pasti kerjaan Aletta. Dasar gadis aneh! Anisa tersenyum melihat wajah pemuda itu, meski samar karena posisi nya sedang miring. Dia adalah satu di antara beberapa pemuda asal Indonesia, yang pernah mengungkapkan perasaannya pada Anisa, dan bahkan berniat ingin menikahi dirinya, setelah lulus kuliah.

Siapa pemuda itu? Masih menjadi teka – teki.

"Mbak Nisa, sudah istirahat?"

Sstrrt~

Eh?

Karena terkejut, tanpa sengaja Anisa menjatuhkan buku kecil yang ingin ia simpan kembali di lemari. Oh mungkin kah photo itu robek?

"Masuk saja, dek!" ujarnya setelah beberapa saat diam menekuri bukunya, "Pintunya nggak di kunci, kok!" lanjutnya.

Seorang gadis bergamis ungu, dengan jilbab berwarna senada memasuki kamar bernuansa peach itu. Wajah gadis itu terlihat sendu, seperti ingin menangis. Setelah menutup pintu kamar sang kakak, Khumaira atau yang biasa di panggil Meira itu duduk di ujung ranjang.

Anisa yang sebenarnya merasa sedikit kesal, karena adiknya tak mengucapkan salam, melihat wajahnya yang murung menjadi sedikit iba. Ia tersenyum sambil mencubit kedua pipi chubby Meira.

"Udah Aliyah, kok masih suka marah – marah gitu, mana cemberut pula. Kamu pikir wajah kamu imut, kalau lagi cemberut gitu?" goda Anisa.

"Iiih!! Meira lagi serius tahu, nggak mau bercanda!" dumel Khumaira terlihat kesal. Ia meraih bantal dan memangkunya, "Ini soal perjodohan Mbak Nisa. Kenapa sih, Mbak nggak nyoba ngomong ke Ayah, kalau menolak perjodohan ini! Bukannya Mbak nggak suka di jodohin, ya?"

Anisa tertawa renyah mendengar pertanyaan polos dari sang adik. Bahkan anak yang baru masuk kelas dua Aliyah saja, sudah paham kalimat perjodohan. Ini benar – benar absurd. Dunia maya telah membuat gadis remaja, jauh lebih pintar dari usianya yang tak seharusnya mengerti lebih dulu, terlebih soal "Asmara" yang lebih menjurus pada percintaan dan pacaran.

"Jodoh sudah tertulis sejak Mbak belum dilahirkan, dek!" jawab Anisa. Dengan perlahan, ia mencoba memberikan penjelasan pada sang adik.

"Mungkin saja, dia adalah seseorang yang telah Alloh pilih untuk menjadi imam, Mbak. Yang akan menuntun dalam hal kebaikan, pada Mbak. Dia juga adalah wujud dari setiap lantunan Alqur'an yang biasa Mbak baca,"

Meira manggut – manggut. Sebenarnya ia masih tak begitu paham dengan penjelasan Mbak nya, yang menurut dirinya sendiri terlalu rumit, ruwet bin njlimet. Mau bertanya juga percuma saja. Usianya masih belum pantas untuk menanyakan hal seperti ini, begitu kata neneknya. Usia seperti dirinya pantasnya ya.. belajar dan menimba ilmu, untuk membanggakan keluarga.

"Gimana, kamu mengerti kan' sekarang?"

"Ah- a.. Aeumb... iya, mbak paham kok!"

Anisa menggelengkan kepalanya, tersenyum. "Tapi kenapa tiba – tiba, kamu tanya begitu sama, mbak?"

Meira meringis, menunjukkan deretan giginya yang putih itu, "Iseng doang, Meira juga sebenarnya takut mbak nggak bahagia dengan perjodohan ini,"

Anisa menahan tawanya agar tidak terdengar sampai keluar. Biar bagaimana pun, suara wanita adalah aurat juga kan? Ia tak ingin tetangga yang bukan mahrom mendengar suaranya, meski samar karena terbawa angin lalu.

"Meira... Meira... kamu itu polos banget sih!" Anisa mengulurkan tangannya dan mencubit kedua pipi chubby Khumaira, membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Besok ada tugas Fisika, Meira masuk kamar dulu ya, Mbak! Assalamu'alaikum.... jangan lupa, mimpikan calon imam!" seru Khumaira sebelum akhirnya menutup pintu kamar.

Eh, apa tadi katanya? Anisa tak begitu mendengar seruan sang adik. Ia hanya mendengar salam nya saja. Berutung kamu Meira, jika tidak! Kedua pipi kamu pasti akan kembali menjadi sasaran.

Anisa kembali membuka buku kecilnya, ia terkejut begitu melihat photo pemuda misterius itu sedikit robek, tepat di ujung kepala. Buru – buru Anisa mengambil gunting dan perekat di laci, kemudian menempelkannya kembali.

"Syukurlah masih bisa di perbaiki," gumamnya. Ia menghela napas lega sembari meletakkan buku kecil itu di lemari, bersama buku – bukunya yang lain.

Angan tentang masa lalu, kembali terbayang. Ia sadar, tak seharusnya memikirkan pemuda yang bukan mahrom nya. Tetapi bisikan setan yang menjelma menjadi asmara itu membuatnya hilang kesadaran.

"Kamu pasti sudah bahagia, dengan istri sah mu!"

Anisa membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menerawang jauh ke langit – langit kamarnya yang ber cat putih bersih, tanpa noda itu. Besok, seseorang yang akan menikahi dirinya akan datang ke rumah, merenggut nya dari sisi kedua orang tuanya. Ingin menolak, ia tak sanggup. Pilihan orang tua adalah yang terbaik. Begitu nasehat Ustadz yang mengajarnya ketika duduk di bangku Aliyah.

"Sudah seharusnya aku melupakan semuanya, masa lalu itu belum termasuk dari perjalanan kisah ku. Dia hanya numpang lewat, dan akan hilang bersama dengan berlalunya waktu," ujar Anisa menguatkan dirinya sendiri.

Jadikan Alquran Sebagai bacaan utama