webnovel

10 Kecewa

Jeni yang belum berusaha mengukir senyuman di hadapan kekasihnya, walau terasa berat untuk menarik bibirnya ke samping.

"Aku tidak apa-apa. Aku sedang datang bulan dan kadang sering menangis karena menahan rasa sakit pada perut bagian bawah," jawab Jeni beralasan. Ia sadar jika Wili tak pernah menyentuh bagian intim dalam tubuhnya dan kekasihnya itu bukanlah ayah dari janin yang tengah berada dalam rahimnya.

'Tidak boleh satu orang pun mengetahui kehamilan ini. Cukup aku dan Mamah, karena aku akan segera menyelesaikan masalah ini,' gumam Jeni di sela-sela senyuman yang tersungging di bibirnya.

Jeni menatap wajah Wili dengan sendu. Betapa ia tega telah menyakiti perasaan lelaki yang tulus mencintainya. Bagaimana dengan perasaan Wili jika ia tahu kebenaran yang akan menghujam jantungnya. Namun, Jeni tak akan pernah membiarkan rahasia ini bocor pada siapa pun terutama Wili dan Jefri.

"Jadi karena hal ini kelopak matamu sampai sembab seperti ini? Ya Tuhan, Jen! Andai aku tahu, mungkin aku bisa mampir le apotik untuk membelikan obat." Wili tampak perhatian. Ia segera memeluk erat kekasihnya itu yang masih lesu dengan kelopak yang terlihat mata sembab dan manik yang masih memerah.

"Tidak apa-apa, Wil. Aku akan baik-baik saja. Ini hanya penyakit wanita yang akan segera sembuh dengan sendirinya," balas Jeni datar. Ia tak bisa berekpesi dengan gelimang beban yang menumpuk di benaknya.

"Tidak, Jen. Aku harus segera membawaku ke dokter agar tubuhmu segera membaik!" ajak Wili seraya melonggarkan pelukan dan beranjak dari tempat duduknya. Ia tampak menarik telapak tangan Jeni agar wania yang berada di dekatnya itu mengikuti ajakannya.

Jeni menggelengkan kepala. Ia tampak menelan saliva dengan terkejut. Bagaimana mungkin ia harus ikur dengan Wili, sementara Jeni baru saja menelan kabar buruk sepulang dari rumah sakit sore tadi.

"Tidak, Wil. Aku tidak perlu ke dokter. Aku akan segera membaik dengan obat yang aku miliki di kamarku." Jeni mengelak. Ia tak akan mungkin mengikuti ajakan Wili malam ini karena cukup membahayakan posisi dirinya.

"Tapi kelopak katakmu masih pucat, Jen. Aku bisa melihatnya. Kamu masih sakit dan aku harus segera mengobatimu!" Wili masih bersi kukuh.

'Bagaimana ini, Wili tidak boleh mengajakku ke dokter karena itu bahaya,' batin Jeni semakin resah.

"Ya sudah, kamu cukup pergi ke apotik. Belikan aku obat penghilang nyeri saat datang bulan. Berikan aku obat yang terbaik agar perutku tidak nyeri lagi. Aku tidak bisa ke dokter karena nyeri ini masih terasa. Aku butuh istirahat dan tidur. Aku akan menunggumu di kamar," pinta Jeni kembali beralasan. Ia berbicara bohong. Ia memang butuh obat nyeri itu berharap jika janin yang baru tumbuh dalam perutnya segera kembali keluar dan hidupnya akan aman.

"Kamu yakin?" Wili memastikan. Ia mengusap rambut Jeni dengan penuh perhatian.

Jeni mangangguk pelan. "Aku butuh obat saja. Belikan obat nyeri yang bagus ya!" tegas Jeni berusaha meyakinkan kekasihnya.

"Oke, istirahatkan. Aku akan segera kembali dalam tiga puluh menit. Oh iya, apa kamu ingin makanan sebagai cemilan?" tanya Wili sebelum ia pergi.

"Aku ingin sekali makan buah durian. Agar rasa pahit di lidahku sedikit memudar." Jeni kembali beralasan. Ia akan berusaha memakan apa pun yang membuat perutnya panas.

"Oke! Aku akan mencarikan buah durian untuk kamu."

Setelah itu, Wili kemudian berjalan kembali masuk ke dalam mobilnya. Sementara Jeni ia pun bergegas masuk ke dalam rumah.

"Siapa yang datang?" tanya Karin dengan ketus membuat Jeni terperanjat saat ia telah menutup pintu rumahnya.

"Wili, Mah," jawab Jeni pelan. Ia menundukan wajahnya karena tak lagi berani membalas tatapan Karin yang tengah murka terhadapnya.

"Suruh Wili mempertanggung jawabkan perbuatannya, Jeni! Mengapa dia malah pergi, mengapa kamu tak membiarkan Mamah menemuinya dan menampar pipinya! Dia telah mengahancurkan masa depan kamu, Jeni!" murka Karin. Ia berbicara dengan hardiknya mengeluarkan semua emosi yang tengah meletup-letup di atas ubun-ubunnya.

Dengan cepat Jeni meraih kaki ibunya. Memeluknya diiringi kesedihan yang belum menghilang di dalam dadanya.

"Maafkan aku, Mah. Lelaki itu bukan, Wili! Dia lelaki yang baik yang tak pernah menyentuh tubuhku." Jeni berbicara dengan suara isak tangis di setiap ucapannya. Ia bersimpuh di bawah kaki Karin, memohon maaf penuh penyesalan karena telah gagal dengan masa depan yang telah ia janjikan kepadanya.

"Apa kamu bilang! Bukan, Wili? Lalu siapa lelaki itu, Jeni? Siapa lelaki biadab yang telah menanamkan benih haram di dalam rahimmu?" sergah Karin seraya menjauhkan kakinya dari rangkulan Jeni. Ia mundur dalam dua langkah menjauhi tubuh anaknya yang ia rasa menjijikan.

Perasaan Karin hancur. Ia merasa telah gagal dalam hidupnya. Setelah suaminya pergi dengan istri barunya, pil pahit itu kini harus kembali ia telan setelah kabar kehamilan Jeni yang membuat perasaannya tersayat sembilu. Sakitnya bahkan melebihi dari dikhianati suaminya dengan wanita lain.

"Tidak, Mah." Jeni berkata seraya menggelengkan kepala. Ia mencoba menepis ucapan Karin. Tubuhnya yang masih luruh di atas lantai tak kuasa untuk bangun dengan lutut yang terasa lemas.

"Janin ini bukan benih haram. Aku menikah kontrak dengan lelaki itu. Dan ini buah dari pernikahan yang salah. Maafkan aku, Mah. Maafkan! Aku terpaksa melakukan semua ini, demi biaya kuliah dan hidup kita sehari-hari." Jeni berusaha membela diri. Bulir beningnya terus saja mengalir deras tanpa bisa dibendung kembali.

"Kawin kontrak! Jeni, Apa yang telah kamu lakukan? Mengapa pikiranmu pendek sekali, ya Tuhan!" Isi dada Karin tiba-tiba melemah. Ia memegang dadanya yang terasa sakit. Nafasnya tiba-tiba sesak dan ia terduduk di atas sofa yanv berada di sampingnya.

"Ya Tuhan, Jeni! Mengapa kamu tega sekali pada, Mamah. Kamu kasih makan Mamah dengan uang harammu!" Karin masih murka. Kali ini nada suaranya terdengar bergetar. Ia bahkan kesulitan untuk mengatur nafasnya.

Dengan cepat Jeni mengahampiri Karin yang terduduk lemas di atas sofa. Gegas ia meraih tubuh wanita paruh baya itu. Memeluknya dengan erat. Memastikan perasaannya kembali tenang.

"Maafkan aku, Mah. Aku akan menyelesaikan semua ini. Tolong jangan beri tahu siapa pun termasuk, Wili. Mamah tenang ya, aku akan segera membuat keadaan menjadi lebih baik lagi seperti sebelumnya," ucap Jeni berusaha menenangkan perasaan Karin yang tengah bergejolak.

"Kenapa harus seperti ini, Jen. Kenapa?" lirih Karin tersedu-sedu. Kesedihannya kian memuncak manakala lelaki yang telah menghancurkan putrinya nyatanya bukan Wili yang awalnya ingin segera ia tampar.

Jeni masih tampak memeluk Karin dengan erat. Ia mengusap pundak ibunya. Berusaha menenangkan perasaan Karin.

"Maafkan aku atas kesalahan besar ini, sungguh aku sangat menyesalinya, Mah. Percayalah aku akan tetap kuliah dan meluluskan sekolahku. Tak akan ada yang tahu mengenai kehamilan ini dan kita akan kembali hidup tenang, Mah." Jeni berbicara dengan sungguh-sungguh.

"Lalu bagaimana dengan janin yang ada di rahimmu, Jen?" tanya Karin seraya menghempaskan tubuh jeni dari pelukannya.