Tiba-tiba pintu kamar dibuka, Vira pun berpura-pura menggeliat dan dengan susah payah ia berganti posisi tidur. Dengan gerakan pelan, Panji naik keatas ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Vira.
Entah mengapa kini rasa kantuk mulai menyerang dan akhirnya Vira pun ikut terlelap.
Vira terkesiap lalu bangun, dengan segera ia ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh.
"Mas, bangun! Sudah siang!"
"Mas!"
"Huahh... emm, mas masih ngantuk, Ra," ucapnya sembari memejamkan matanya kembali.
Vira pun keluar dari kamar dan ternyata rumah ini masih terlihat sepi, lalu ia berjalan menuju dapur. Terlihat Anisa sedang sibuk membuatkan kami sarapan.
"Mau dibuatkan susu, non?" tanya Anisa.
Vira tak menjawab dan hanya menatapnya beberapa saat, ia berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal sekarang Vira begitu dilanda penasaran.
"Mbak, apa kamu bisa jelaskan atas kejadian yang aku lihat semalam?" tanya Vira pelan.
"Maaf, non. Saya tidak bisa!" ujarnya pelan sembari celingukan.
"Memangnya kenapa?" tanya Vira lagi.
"Saya harap setelah ini Nona patuh pada perintah Nyonya dan Den Panji jika masih ingin disayangi di keluarga ini. Kalau tidak, Nona akan bernasib sama dengan wanita yang Nona lihat tadi malam," ucap Anisa serius.
Jelas saja mata Vira terbelalak menatapnya, ia tak sanggup lagi berkata-kata.
"Maksudmu apa, Mbak?"
"Maaf Nona, saya tidak bisa jelaskan disini!" ucap Anisa lalu melanjutkan pekerjaannya.
Merasa terkejut dengan ucapan Anisa. Vira pun merasa harus mulai waspada dan berhati-hati, sepertinya Panji dan keluarganya memang bukan orang baik.
Vira tidak ingin bernasib sama seperti wanita itu, tetapi ia tetap harus mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dari dirinya.
"Ini susunya, Non. Apa mau sarapan sekarang?" tanya Anisa.
Vira menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Setelah sarapan ia pun keluar rumah, berjalan menuju gerbang utama yang menjulang tinggi itu.
"Mau kemana, Non?" tanya salah satu pekerja Sinta.
"Maaf, Pak. Apa bisa bukakan pintu gerbangnya? Saya mau keluar!"
"Maaf Nona tapi kata Nyonya, Nona tidak boleh keluar rumah sendirian, harus ada yang menemani," ucapnya.
Vira merasa aneh, kenapa Sinta menyuruh mereka seperti itu. Padahal dirinya bukan lagi anak kecil yang harus selalu diawasi, dia juga bukan tahanan mereka yang harus dikurung seperti ini.
"Saya tidak jauh-jauh kok Pak, cuma disekitar sini saja. Tolong bukain ya," pinta Vira memohon.
"Maaf Non. Tetap tidak bisa, minta temani Den Panji saja ya, Non!"
Vira menatap mereka dengan kesal, padahal ia hanya ingin jalan-jalan keluar disekitar sini saja dan bertemu para tetangga. Siapa tahu saja, Vira bisa mendapatkan informasi penting dari mereka tentang keluarga ini.
Akhirnya Vira pun duduk di kursi teras, berpikir apa ia harus menceritakan kejadian-kejadian aneh di rumah ini pada mamanya atau tidak.
Jika ia ceritakan, Vira takut mamanya akan khawatir dan melakukan sesuatu yang membuat Sinta dan Panji marah. Tetapi jika diam saja, ia takut terjadi apa-apa pada dirinya dan bayi yang masih ada didalam kandungannya suatu saat nanti.
Huh... Apa yang harus Vira lakukan sekarang?
***
Pukul sepuluh siang akhirnya Panji keluar dari dalam kamar lalu menghampiri Vira yang sedang menonton televisi, Sinta pun juga turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur.
"Kamu sudah makan, sayang?" tanya Panji.
"Sudah, Mas. Tumben mas kamu baru bangun? Semalam tidur jam berapa?"
"Iya sayang. Semalam mas begadang sampai jam satu. Maaf ya, pasti lama ya nungguin mas pulang," jawabnya membuat Vira menyeringai tipis.
"Jam satu dia bilang? Padahal jam empat saja kamu masih diluar. Kenapa kamu berbohong, Mas?" batin Vira
Vira ingin sekali berteriak menanyakan hal itu padanya.
"Udah sayang, jangan ngambek ya! Mas janji lain kali gak akan kaya gitu lagi," Panji mengusap kepala Vira pelan.
"Vira? Sini makan!" teriak Sinta dari dapur.
"Iya, bu. Vira masih kenyang," jawab Vira dengan berteriak pula.
"Yang bener kamu belum lapar, sayang?" tanya Panji.
"Iya mas, kalau mau makan ya sana! Apa perlu aku temani?"
"Tidak usah sayang. Kamu lanjut nonton saja!"
Panji pun berjalan menuju dapur, menyebalkan sekali dibohongi seperti ini. Ingin sekali Vira pulang saja ke rumah mamanya.
Merasa suntuk akhirnya Vira pun keluar, berjalan menuju taman disamping rumah. Vira pun mengambil selang yang sudah mengeluarkan air itu lalu mulai menyirami bunga-bunga milik Sinta yang tersusun rapi di taman.
Setelah selesai Vira memilih beristirahat sekejap di bangku taman sembari berfikir bagaimana caranya dia bisa menguak rahasia yang disembunyikan suami dan keluarganya itu.
Disebuah kursi kayu terlihat ada Heri yang sedang duduk memainkan ponsel, sesekali ia menyesap secangkir kopi yang ada disampingnya. Vira pun berjalan menghampirinya.
"Pak?"
Pria itu menatap Vira lalu mematikan ponselnya.
"Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya Heri, ia pun berperilaku seolah tak ada apa-apa, padahal kemarin ia sudah nekat menyelamatkannya.
"Pak, bisa jelaskan apa yang terjadi?"
"Soal apa, Nona?" tanyanya lagi.
"Soal bapak yang sudah menemukan saya didalam lemari, kenapa bapak berbohong? Kenapa bapak tidak bilang kalau ada saya didalam lemari itu?"
Heri membuang pandangan lalu terdiam, membuat Vira semakin dilanda penasaran. Semoga saja ia mau bercerita sehingga Vira tak merasa takut lagi.
"Karena kalau saya jujur, saya yakin nasib Nona akan lebih buruk dari yang sekarang," jawabnya sambil memalingkan muka.
Tak bisakah dia menatap lawannya ketika berbicara? Kenapa Anisa dan Heri seolah ketakutan dan terkesan menutupi apa yang sebenarnya terjadi?
"Kenapa bisa begitu? Memangnya didalam gudang itu ada apa? Sehingga saya tidak diperbolehkan masuk kesana, apa ada sesuatu didalam sana?" tanya Vira lagi berbisik dengan tatapan menyelidik.
Heri menghirup nafas dalam dan membuangnya, terdiam sejenak lalu menganggukkan kepala.
"Ya, disana ada sesuatu. Dan saya harap setelah ini Nona jangan banyak bertanya apapun lagi. Suatu saat nanti Nona pasti juga akan tahu sendiri. Semoga saja Nona tetap bernasib baik," jawabnya berdiri hendak pergi.
"Tunggu! Berapa yang harus saya keluarkan agar bapak mau buka suara, hah?"
Vira merasa sudah tidak tahan bermain teka-teki, dia tak ingin menunggu nasib buruk menghampirinya terlebih dahulu sebelum dia mengetahui semua rahasia keluarga ini.
"Maaf Nona, saya tidak membutuhkan uang, Nona! Yang saya butuhkan adalah pekerjaan ini," ucapnya berlalu.
Vira hanya terdiam menatap kepergian Heri dengan isi kepala yang penuh tanda tanya, ada apa, kenapa dan mengapa?
Lalu Vira berjalan ke halaman belakang. Gundukan tanah itu masih terlihat dan dia tak berani mendekat kesana karena takut saja jika Sinta atau Panji melihatnya ada disekitar sana.
Kebetulan halaman belakang ini terhubung dengan ruang cuci, di ujung sana terlihat Anisa yang sedang mengucek baju padahal ada mesin cuci di rumah ini. Vira pun berjalan mendekatinya.
Mata Vira terbelalak ketika melihat cucian yang sedang dikucek oleh Anisa. Sebuah baju milik suaminya itu terlihat berlumuran darah, tak hanya itu bau amis juga menyeruak saat Vira mendekatinya.
Dia juga melihat sebuah kain hitam disudut tembok dekat mesin cuci, Vira yakin kain itu yang digunakan anak buah Sinta semalam untuk menutupi tubuh wanita itu.
"Ehhh... Nona! Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" ucap Anisa terkejut ketika melihat kedatangan Vira.
Vira menunjuk baju Panji yang masih berlumuran darah itu, lalu Anisa memandang kearah telunjuknya.
"Ya, Nona. Dia sudah tewas," ucapnya pelan sambil berusaha berdiri.
Siapa yang sudah tewas? Apakah dia wanita yang berteriak semalam itu?
Banyak pertanyaan-pertanyaan menyeramkan yang muncul di benak Vira. Apakah mungkin keluarga ini keluarga psikopat? Seperti di film-film yang sengaja membunuh mangsanya secara tragis.
--