webnovel

JEN: Adventure in Red Kingdom

Jen merupakan anak biasa. Sepeninggal Ayahnya, hidupnya yang berwarna sekarang hanya tinggal aura abu-abu yang kusam. Hingga suatu hari, adiknya, Carson diculik oleh Dover ke dunia lain, Tanah 3 kerajaan, Spalvia. Dengan bantuan Matt, teman sejak kecil sekaligus kesatria di kerajaan Merah Tanah Spalvia, Jen dapat tiba di Tanah Spalvia dan mempelajari apa saja yang harus Ia hadapi untuk menemukan Carson. Dapatkah Jen dan Matt menyelamatkan Carson?

sophiadew · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Kediaman Keluarga Antares

Kami sampai di Scarlett Zone, suatu wilayah di dalam Kerajaan Merah tempat rumah Matt berada. Rumah Matt berbentuk lingkaran, dengan kubah sebagai atapnya. Rumah ini memiliki dua sayap kanan dan kiri, yang juga berbentuk lingkaran. Dapat disimpulkan bahwa rumah ini terbentuk dari tiga buah bangunan berbentuk lingkaran. Setiap bangunannya tidak terlalu besar, namun sangat indah dengan warna merah marun dan ukiran-ukiran motif berwarna emas. Jendela-jendela yang menempel pada rumah ini begitu besar, karena langit-langitnya yang tinggi.

Matt membukakan pintu kayu yang tingginya mungkin sekitar tiga meter. "Selamat datang!"

Rumah Matt tidak terlalu besar, tetapi interiornya sungguh menakjubkan. Berlantai dua, dindingnya batu putih, namun terdapat bagian yang berwarna kemerahan. Lantainya marmer namun bermotif kayu berwarna cokelat terang. Rumah yang berbentuk seperti kubah ini sangat terang, karena banyaknya jendela tinggi didalamnya.

"Gedung utama akan menjadi tempat kita semua beraktivitas bersama. Dapur, ruang makan, ruang keluarga dan ruang baca ada disini. Sayap kanan akan menjadi milik kalian, para gadis." Matt menyodorkan tangannya pada kami. "Dan sayap kiri akan menjadi tempatku dan Dylan untuk beristirahat."

"Keberatan!" Dylan mengangkat tangannya. "Tidakkah kita harus selalu bersama? Untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan yang–"

BWOSH

Belum selesai Dylan berbicara, Lily sudah menyemburnya dengan serangan api dari tangannya.

"LILY!" Dylan memelototinya.

"Tadi kau bicara apa, prajurit?" Lily tidak memperdulikan Dylan, dan berbicara kepada Matt.

Matt melirik Dylan, dan kembali menatap Lily dengan ekspresi takut. "Uh, itu, uhm. Kalian bisa masuk ke sayap kanan terlebih dahulu untuk beristirahat." Ia terkekeh sedikit. "Kau sungguh kuat, Fire Lily. Simpanlah kekuatanmu untuk perjalanan kita nanti."

"Jangan khawatirkan aku, prajurit." Lily menghadap kepadaku, lalu menarik tanganku pergi. "Ayo, putri. Kita lihat-lihat rumah keluarga Antares."

Dylan sudah pergi ke sayap kiri, menggerutu. Matt mengejarnya sambil tertawa. "Kau harus menahan perkataanmu di depan Lily, kawan."

***

Kami masuk melewati lorong panjang yang merupakan jalan menuju sayap kanan. Bagian lorong ini terlihat sangat lega, karena tidak dibagi menjadi beberapa lantai seperti gedung utama. Di sebelah kanan lorong ini, terdapat jendela setinggi gedung ini. Ada kursi panjang dan hiasan bunga dahlia berwarna merah. Dibawah tempat duduk panjang tersebut, terdapat barisan buku yang sangat rapi. Sepertinya tempat ini sangat nyaman untuk duduk membaca sambil melihat pemandangan luar.

Kami memasuki jalur masuk tanpa pintu. "Keluarga ini punya selera yang bagus." Lily bergumam memandangi gedung sayap kanan.

Begitu masuk, aku melihat sofa besar yang terlihat empuk tersusun selayak ruang keluarga. Sofa-sofa itu menghadap ke perapian, dan dibawahnya terdapat karpet bulu berwarna coklat kemerahan. Ruangan utama di sayap kanan ini terlihat lega, karena tidak banyak sekat didalamnya. Hanya beberapa rak buku yang membatasi ruangan depan dan belakang.

Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat lantai dua yang hanya mengambil separuh bagian lingkaran. Lantai dua dibatasi dengan pagar rendah, sehingga siapapun di atas dapat melihat ke bawah dengan mudah.

"Tempat ini indah sekali." Aku berbicara sendiri, sambil melihat indahnya sayap kanan ini.

"Kau jelas belum melihat banyak tempat di Spalvia ini, ya?" Lily membalasku.

Aku menggeleng. "Aku baru mengunjungi Perpustakaan Langit dan Scithsie saja selama disini."

Lily mengangguk. "Tidak buruk. Aku tidak suka membaca, tapi Perpustakaan Langit adalah tempat yang baik untuk duduk merenung, kau tahu. Saat hariku berat, aku biasanya pergi kesana dan duduk di bagian buku-buku sejarah, dan melihat langit Spalvia dari atas." Lily tersenyum padaku. "Kau harus coba menjelajahi tempat ini sendiri!"

"Mungkin nanti." Aku tersenyum padanya. "Akan kucoba."

Aku melihat-lihat ke sekitar gedung, dan melihat banyak sekali gambar-gambar besar yang terpajang. "Siapa ini?"

Perempuan yang berada dalam gambar potret realistis itu berambut coklat kehitaman yang bergelombang. Matanya merah menyala seperti Matt. Beberapa fitur wajahnya juga mirip dengan Matt. Kulitnya yang putih namun lebih berseri, hidungnya yang mancung dan pipinya yang tirus dan kemerahan. Ia berpose duduk, dengan pedang ditangannya. Seekor burung, sepertinya Phoenix bertengger di bahunya. Ia terlihat sangat cantik namun mematikan, dalam balutan gaun beludru merah dan emas dengan belahan yang tinggi, sehingga menunjukkan kakinya yang putih dan panjang.

"Gladiolus Antares." Lily ikut memandangi potretnya bersamaku. "Kau tahu pikiranku tentang gaun itu?"

Aku menggeleng sambil menatapnya, menunggunya memberi jawaban.

"Berat. Dan sulit untuk bergerak didalamnya." Ia pergi ke sofa besar dengan banyak bantal empuk. "Dan sungguh keren untuk Gladiolus untuk dapat bertarung dalam balutan gaun cantik seperti itu."

Bertarung? Sungguh, aku sudah mengenal Matt selama 11 tahun, dan sekarang rasanya aku tidak mengenalnya sama sekali. Aku sering bertemu dengan ibunya, Bibi Gladys. Aku tidak tahu nama lengkapnya adalah Gladiolus. Bibi Gladys adalah seorang manajer di pusat perbelanjaan dagang Greyhose, dan senang sekali menyambutku dan Carson saat berkunjung ke rumah Matt. Ia akan memanggang roti kayu manis untuk kami nikmati bersama, bahkan dengan Paman Adam, ayah Matt. Bibi Gladys menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Agak mengejutkan melihatnya begitu cantik, anggun dan menakutkan dalam waktu bersamaan.

"Hei, putri. Kau benar-benar tidak tahu apa-apa soal Matt?" Lily memandangku rendah.

Aku menggeleng. "Aku mengenalnya dari kecil. Tetapi dia tidak pernah menceritakan sisi hidupnya yang seperti ini." Aku kembali memandang potret Gladiolus. "Sampai tadi malam, matanya bersinar merah dan bergerak sangat cepat."

"Gladiolus adalah mantan panglima perang Kerajaan Merah. Ia sangat kuat, membuat Kerajaan Merah menjadi kerajaan dengan sistem pertahanan yang paling baik di penjuru Spalvia. Setidaknya seperti itu, sampai Ia diutus untuk tinggal di dunia kalian. Matt selalu berkunjung ke Spalvia untuk berlatih, walau jarang sekali untuk tinggal dalam jangka waktu yang lama. Tapi Gladiolus... aku tidak pernah melihatnya lagi." Lily mengangkat bahunya. "Tidak ada yang tahu kenapa."

"Hey, Lily." Aku memanggilnya. "Bolehkah aku bertanya?"

"Tanyakan saja, putri."

"Namaku Jen."

"Terserah."

Aku menghela napas. Sepertinya ada bagian dari diri Lily yang tidak menyukaiku. "Bagaimana kau menjelaskan Matt? Apakah Ia manusia? Atau bukan?"

Lily tertawa. "Tenang, putri. Ia sama sepertimu. Gladiolus adalah manusia yang diberi hadiah kekuatan oleh malaikat penjaga keamanan Spalvia. Memang menakjubkan, Gladiolus itu. Dan Matt hanya kebetulan menjadi keturunannya, kekuatannya tersambung lewat hubungan darah."

"Berarti dalam kategori makhluk hidup, Matt adalah manusia biasa?"

"Benar. Sebenarnya Dylan pun manusia. Tetapi dia punya kekuatan sihir." Lily menggaruk kepala bunganya. "Berbeda ya? Aku pusing. Kau terlalu banyak bertanya. Intinya semua yang hidup di Spalvia terbagi menjadi tiga, Florians, Faunians dan Manusia."

"Tadi kau bilang Gladiolus diberi hadiah oleh malaikat?" Aku bertanya pada Lily.

"Uh-huh. Malaikat dan Iblis juga merupakan warga Spalvia. Malaikat di langit, Iblis di bawah. Kita menuju kesana, kau tahu. Dunia Bawah? Hello?" Lily memainkan ekspresinya menjadi heran dan jijik saat melihat kepadaku. "Hanya karena kau sudah mengenal Matt seumur hidupmu, kau tidak bisa serta-merta mengikutinya kemanapun dia pergi!"

Aku kesal dengan jawabannya yang selalu membuatku merasa bodoh. "Maaf, tapi adikku diculik makhluk Spalvia. Aku tidak serta-merta mengikutinya apabila tidak ada alasan yang masuk akal." Aku menjawabnya dengan nada sedikit tinggi. "Aku tidak bodoh, kau tahu?"

Lily tersenyum, kali ini benar-benar tersenyum tulus. Aku melihat garis matanya. "Nah, putri. Seperti itu caranya bersikap."

Ia bangun, berjalan mendekatiku dan merangkulku. "Kau tidak bisa diam bersembunyi di bawah naungan laki-laki, itu pelajaran pertama." Ia menggiringku untuk duduk di samping jendela tinggi. "Kau harus bisa mengikat tali sepatumu sendiri. Kalau mereka bersedia melakukannya, ya itu nilai plus. Tapi bukan berarti kau menjadi putri kecil yang tidak berdaya. Aku tidak suka perempuan seperti itu. Gladiolus adalah panutanku."

Aku akhirnya tersenyum kepada Lily. Sifat kerasnya tidak lain hanya untuk menjagaku. "Terimakasih, Lily."

Ia melihat kiri dan kanan di gedung sayap kanan ini, dan berkata kepadaku:

"Ayo jelajahi tempat ini."

***

Aku dan Lily berjalan menuju lantai dua. Tangganya terbuat dari kayu yang kuat dan berwarna kemerahan mengkilap, dengan ukiran medieval yang cantik. Lantainya hanya menutupi setengah gedung, sisanya merupakan ruang kosong yang mengizinkan kami mengintip ke bawah. Aku berpegangan pada balkon pambatas, melihat keseluruhan gedung sayap kanan yang cantik tersiram cahaya matahari sore.

Aku berbalik melihat sekitar lantai atas ini. Hanya ada satu tempat tidur besar–sepertinya queen sized–dengan selimut bermotif tribal tebal diatasnya. Cermin besar tersandar pada dinding di samping tempat tidur, dan ada lemari besar di sebelahnya. Aku tidak membukanya, karena rasanya tidak sopan. Kaca menjadi penutup langit-langitnya, namun ditutupi dengan beberapa tanaman gantung. Tempat ini cantik sekali.

"Jangan khawatir, putri." Lily duduk di tempat tidur. "Tempat ini akan jadi milikmu."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak mau tinggal disini. Aku punya tempat tinggal sendiri." Ia berdiri, dan meluncur turun di pegangan tangga.

"Tapi Matt bilang akan lebih mudah untuk merencanakan perjalanan kita kalau kita bersama!" Aku memanggilnya dari balkon atas.

"Penyihir itu juga bilang begitu." Lily tertawa. "Tenang, putri. Aku akan kembali besok pagi. Aku hanya pulang saat kita sudah selesai."

"Uhm, gadis-gadis?" Suara Dylan terdengar dari arah lorong.

"Bodoh! Kau mau dipanggang lagi oleh Lily?" Sekarang terdengar suara Matt yang sedang berbisik.

"Lalu apa? Kau sajalah yang memanggil mereka!"

Lily memandangku. "Baik, putri. Ayo turun. Itu panggilan kita."

Aku tertawa, segera turun.

***

"Sekarang tentang Marge, ada ide bagaimana kita akan menghadapinya?" Matt membuka pembicaraan di meja makan. Aku duduk bersisian dengan Lily, Dylan di seberangku dan Matt berdiri.

"Wanita itu benar-benar akan marah atas apapun." Lily bersandar di kursinya. "Apalagi kalau Ia mengetahui kita hendak mengambil koin itu darinya."

"Uh-huh. Lily benar. Apapun yang terjadi Ia akan marah." Dylan duduk dengan menopang wajahnya. "Kita buat Ia marah saja sekalian!"

"Itu ide yang gila!" Matt berteriak menjawabnya.

"Itu ide yang brilian!" Lily juga berteriak menjawab Dylan, bersamaan dengan Matt.

Lily dan Matt saling menukar pandangan. Keduanya melontarkan tatapan apa kau serius? seakan tidak percaya dengan pikiran masing-masing.

"Mengapa kita tidak bicara dulu dengan Marge secara baik-baik?" Aku berusaha menengahi pembicaraan ini. "Mungkin Ia akan mengerti bila kita benar-benar membutuhkan koin itu."

Dylan mendengus, lalu tertawa. "Oh, Nona Jen. Percayalah, Marge tidak seperti itu. Ia akan meneriakimu apabila kau melintas didepan rumahnya. Mengganggu pemandangan, katanya."

"Yah, masukkan itu dalam daftar rencana. Rencana A, mungkin bicara dengannya. Kalian tahu, coba dengan cara baik-baik." Lily berkata sambil mengangguk. Tangannya bersedekap.

"Lily, kemana akal sehatmu pergi?" Dylan melotot kepadanya, seakan tidak percaya.

Dylan, kaulah yang tidak punya akal sehat. Aku bergumam dalam hati.

"Lalu, apabila Ia tetap marah barulah kita akan membuatnya semakin marah, mengejar kita keluar rumah. Lalu kau, penyihir, akan memeriksa rumahnya untuk mencari koin itu." Lily melanjutkan. Sekarang Ia menaikkan kakinya ke atas meja.

Ekspresi Dylan melemas, sekarang wajahnya dihiasi oleh senyuman. "Kalau itu aku setuju."

Matt memegang keningnya, sepertinya terlalu heran dengan kelakuan Dylan dan Lily yang bergagasan liar. Aku tidak bisa menahan tawaku saat Dylan dan Lily terus melontarkan ide gila untuk menghadapi Marge.

"Kita giring Marge keluar rumahnya untuk mengejar Matt!" Lily berpendapat.

"Kita kirim goblin hijau untuk memenuhi rumahnya!" Dylan balas berpendapat. "Oh, ide yang bagus sekali."

"Kita bakar halaman rumahnya!" Lily menyahut lagi. "Itu terdengar seperti ide yang bagus, bukan?"

"Ya Tuhan." Matt menyeka wajahnya. "Lily, Dylan, kita tidak akan menggunakan cara kotor seperti itu."

Dylan dan Lily bersorak mencemoohi Matt.

"Ini serius–astaga–kalian harus serius!" Matt meninggikan suaranya.

Kami semua terdiam.

Matt mendeham, lalu mulai berbicara lagi. "Benar kata Jen, mungkin lebih baik kita bicarakan dahulu dengan Marge. Apabila Ia setuju, maka tidak perlu buang-buang tenaga untuk melakukan hal yang kalian bicarakan tadi."

Lily mendengus. "Kau sendiri tahu itu ide yang buruk, Matt." Matt tersenyum sedikit. Lily melihat senyumannya. "Apa yang kau rencanakan?"

"Seperti tadi aku bilang, bicara dengan Marge." Matt duduk, menjentikkan tangannya. "Siapapun yang memancingnya akan bertanya soal koin itu, dan meminta Marge untuk menunjukkannya. Tebakanku adalah, Marge akan memamerkan koin itu sekilas, dan kembali menyembunyikannya."

"Apa itu berita baik? Aku tidak mengerti." Dylan kembali menyandarkan kepalanya ke tangannya.

"Disitulah peranmu, Dyl." Matt menunjuk Dylan. Ia melongo menatap Matt.

"Apa?" Dylan bertanya lagi.

"Kau akan menggunakan sihirmu untuk mengambil koin itu, dari jarak jauh." Matt tersenyum lebar. "Yang menjadi umpan nantinya akan mengulur waktu dan mengalihkan perhatian Marge."

"Kau bilang tidak ingin menggunakan cara kotor." Lily tertawa. "Ini lebih kotor dari rencanaku dan Dylan."

Matt mengangkat bahunya. Lily dan Dylan tertawa, namun setuju. "Baik."

"Berarti tidak banyak yang harus bekerja sekarang. Hanya umpan dan Dylan." Matt mengusap tangannya. "Siapa yang bersedia menjadi umpan?"

Aku tidak mengangkat tanganku. Aku tidak merasa pantas untuk pekerjaan ini.

"Kita butuh seseorang yang bermulut manis, tapi tidak berlebihan. Yang dapat mendinginkan kepala Marge, dan tipe orang yang disukai." Lily mengangguk-ngangguk. "Kenal orangnya, prajurit? Kalau aku turun tangan, aku akan ikut marah dan melemparkan serangan api kepada Marge."

Matt menghela napas. "Baiklah. Aku akan menghadapinya." Ia menepuk kedua tangannya, dan tersenyum. "Dylan, Lily dan Jen, kalian akan mengawasiku dari jauh lewat jendela rumah Marge. Sihirmu bisa jarak jauh kan?"

"Tentu saja." Dylan membusungkan dadanya.

"Dan Lily, apabila semua cara tidak berhasil, pakai rencanamu. Bakar sesuatu di halaman rumah Marge dan pancing dia keluar."

Lily tertawa. "Siap, prajurit."

Aku memikirkan bahwa betapa tidak matangnya rencana ini dibuat. Kupikir Matt adalah seorang prajurit yang baik, namun rencana yang dihasilkan sedikit tidak masuk akal. Namun, waktu terlalu singkat untuk mengusulkan ide lain. Akupun tidak punya rencana yang lebih baik untuk diusulkan.

"Astaga, Matt. Aku lapar sekali. Kau tidak punya makanan?" Lily bangkit dari meja makan, menuju dapur.

"Ada beberapa bahan makanan. Kau mau memasak?" Matt menjawabnya.

"Kemana pengurus rumahmu?" Lily menatapnya heran.

"Aku memberinya hari libur." Matt tertawa dengan canggung. "Aku tidak pernah disini, kau ingat? Jarang sekali aku pulang."

***

Lily menarikku menuju dapur. Kami kabur dari pertemuan tadi dan dengan tegas menolak kehadiran laki-laki di dapur. Dylan tidak memaksa, tetapi dengan beberapa catatan: Ia ingin kami memasak hidangan yang enak.

Dapur ini cantik, tidak terlalu besar namun terasa luas. Semua lemari dan rak terbuat dari kayu, dan terdapat meja memasak di tengah. Ada perapian dipinggir dapur, yang kurasa menjadi tempat untuk memasak, karena aku tidak melihat adanya kompor di dapur ini. Beberapa kuali tergantung di gantungan besi, dan teko-teko cantik berukiran coklat terpajang diatas rak kayu. Langit-langit dapur dipenuhi oleh tumbuhan merambat yang berwarna-warni, sehingga terlihat cantik walau tidak ada plafon yang terlihat.

"Tanaman apa ini?" Aku menyentuh tanaman rambat dari langit-langit yang menjulur ke bawah.

"Banyak jenisnya, putri. Kurasa ada semua tumbuhan rempah yang dapat dipetik dari atas sini." Lily menjawabku. Ia membuka lemari penyimpanan dan mengambil ember besar berisi air. "Ayo makan!"

Aku melihat isi ember itu. Air itu berwarna hitam, dan ada sedikit pergerakan di dalamnya. Aku melihat Lily, tidak yakin. "Apa ini?"

Lily menyuruhku untuk melihat lebih dalam. Aku kembali memperhatikan ember itu, dan tetap tidak melihat apapun.

"Tigerfish, daging ikan ini lezat sekali." Lily menjilat bibirnya.

Aku mengerang, mengingat hal-hal yang kumakan selama berada di istana. Apakah ikan ini bisa diterima olehku?

"Tenang, putri. Matt juga sama sepertimu. Ia tidak bisa menerima makanan yang tidak mirip dari dunia kalian. Ikan ini seperti ikan biasa." Lily mengambil ikan itu dengan tangannya, dan ikan itu menggeliat. Ikan itu terlihat seperti ikan nila, namun memiliki corak harimau di tubuhnya, dan besar sekali. Sepertinya panjangnya sekitar setengah meter. Lily meletakkannya di wadah terdekat. "Tolong petik tiga buah daun salam dan rosemary."

Aku menaiki kursi untuk meraih tanaman-tanaman di langit-langit. Saat aku mencapainya, mataku tertarik pada suatu pajangan di dinding dapur. "Apa itu?"

"Itu adalah, yang kalian sebut makanan instan. Dari dunia kalian." Lily memandang pajangan itu juga. "Saat itu Matt sangat trauma dengan makanan Spalvia, dan Ia membawa makanan instan. Rasanya enak sekali! Aku pernah mencobanya. Kau tahu, yang tipis panjang-panjang dengan rasa gurih!"

Aku tertawa, yang dimaksud oleh Lily pastilah mie instan. Aku memandangi pajangan itu. Kemasan putih yang sudah pudar dimakan oleh waktu, dibingkai dengan kaca. Aku tidak tahu Matt punya perut yang lemah.

"Baik, terimakasih." Lily berterimakasih karena aku sudah memberinya rempah yang Ia butuhkan. "Sekarang, ini." Ia menggenggam botol kecil, dengan bubuk berwarna keemasan. Aku menunggunya menjelaskan apa yang ada di dalam botol itu.

"Inilah rahasia juru masak Spalvia. Satu tetes saja dapat membuat semua makanan menjadi lezat."

"Seperti penyedap rasa?" Aku bertanya.

"Seperti penyedap rasa."

Aku kembali tertawa lagi. Ternyata Spalvia tidak jauh berbeda dengan duniaku. "Apakah aku harus menyalakan perapiannya?" Aku menunjuk ke arah perapian dan kuali yang tergantung.

"Ya, kalau kau orang biasa." Lily tersenyum, berkacak pinggang. "Minggir, perhatikan bagaimana cara pengendali api memasak."

Lily menyuruhku menunggu di dekat jendela dapur. Aku menurut, dan memperhatikannya. Ia mempersiapkan bahan-bahan masakan, seperti tigerfish, rosemary, daun salam, bawang-bawangan dan beberapa rempah yang aku tidak tahu namanya, tetapi seperti bunga berwarna ungu dan hitam, dan serbuk penyedap rasa.

Ia mengangkat tangannya, dan menarik napas serta menutup matanya. Lalu, dengan napas selanjutnya Ia mengeluarkan api dari kedua tangannya. Api itu berada di udara dan berbentuk bola, sampai Lily memutar tangan kanannya, membuat api berputar seperti angin tornado. Lily melihat kepadaku dan tersenyum. Ia lalu memasukkan semua rempah-rempah ke dalam lubang api tornado, dan ikan tigerfish.

"Menakjubkan!" Aku melongo melihat Lily melakukan pengendalian api. Lily tertawa melihatku yang sedang takjub. Ia lalu memasukkan sejumput serbuk berwarna emas, yang Ia bilang merupakan penyedap rasa.

"Jen! Ambil tempat untuk ikan ini!" Lily memanggilku. Aku mengambil piring besar dari lemari piring, dan meletakkannya di meja.

Lily menutup tornado api yang Ia kendalikan, meletakkannya di atas piring besar dan tornado api berubah menjadi bola api besar yang kemudian mengecil, dan mengecil hingga akhirnya habis, menyisakan ikan yang telah matang. Ikan itu terlihat sangat lezat, dengan aroma yang sangat menggoda. Perutku berbunyi, memintaku untuk segera memakan ikan itu.

"Kau menakjubkan!" Aku memuji Lily.

Ia tersenyum bangga. "Tentu saja."

***

Lily pamit untuk pulang ke rumahnya setelah kami selesai makan. Matt protes, Ia pikir Lily akan menemaniku untuk tinggal di sayap kanan. Tetapi Lily bersikeras, dan Matt tidak bisa menahannya. Matt membuat Lily berjanji untuk sampai di Scarlett Zone besok pagi.

"Dah, Lily." Dylan melambai pada Lily, masih mengunyah ikan. "Ikan masakanmu luar biasa."

Lily tersenyum jijik kepada Dylan, lalu tertawa. "Sampai jumpa, penyihir."

Lily segera keluar, dan menutup pintu depan yang besar. Aku masih duduk di meja makan, melihat Dylan membersihkan ikan sampai ke tulang-tulangnya.

"Apa?" Dylan bertanya padaku, yang hanya memperhatikannya makan.

Aku terkikik geli. "Tidak apa-apa."

"Jen, gaun-gaun yang ada pada lemari lantai dua sayap kanan bisa kau gunakan. Bergantilah untuk malam ini dan besok." Matt berkata padaku. "Aku akan berada di sayap kiri. Panggil aku dari sini apabila kau membutuhkanku. Aku akan segera datang."

Aku mengangguk, mengerti. "Oke."

"Beristirahatlah. Kita akan segera menyelamatkan Carson." Matt tersenyum padaku, dan berlalu menuju sayap kiri. Dylan mengangkat piring-piring bekas makan ke dapur dengan sihirnya. Ia berlalu, mengikuti Matt.

"Dadah, Jen. Perutku kenyang dan aku mengantuk sekarang." Dylan melambaikan tangannya. "Tidur yang nyenyak, ya!"

Aku tertawa melihat tingkah Dylan, yang seperti bayi kenyang yang ingin segera tidur. Aku balas melambai padanya.

Hari masih sore, cahaya matahari sore yang akan tenggelam menyengat di kulitku. Aku sendirian sekarang, di aula besar keluarga Antares. Keluarga Matt. Aku memandang kaca jendela tinggi yang berwarna-warni, membuat cahaya matahari yang masuk menjadi berwarna cantik. Atmosfernya hangat, dan aku mengambil langkah demi langkah untuk segera keluar dari gedung ini. Sepertinya cuaca hangat memanggilku untuk keluar dan melihat Spalvia lebih jauh.

Aku membuka pintu besar itu, dan melihat halaman rumah Matt yang dipenuhi tumbuhan-tumbuhan cantik, namun terlihat tidak terurus. Aku berlari menuju pepohonan tinggi yang berdaun hijau kecoklatan, dan melihat pemandangan dibaliknya.

Spalvia sungguh indah, dengan daun-daun kemerahan yang berjatuhan dan langit yang bersinar emas, karena sudah saatnya matahari pergi ke arah lain, kurasa untuk menyinari kerajaan lain di Spalvia ini. Aku berlari menuju kedalaman hutan yang lebih terang, merasakan angin menempa wajahku. Aku hampir memekik girang, merasakan kebebasan saat berlari di tanah yang diselimuti dedaunan kering.

Aku berhenti, mengistirahatkan tanganku pada pohon besar yang bertekstur kasar. Mataku masih menghadap ke depan, melihat barisan pohon yang masih panjang, terguyur sinar matahari keemasan yang mulai memudar.

Saat aku hendak berlari lagi, seseorang memanggilku.

"Mau kemana, Jennifer?"

Aku tersentak, langsung menghadap arah datangnya suara.

Author's note: Antares adalah nama bintang berwarna merah terang di rasi bintang Scorpio dalam galaksi Bima Sakti dan bintang paling terang ke-16 pada langit malam. Antares merupakan salah satu dari empat bintang paling terang di dekat ekliptika. Nama ini diberikan oleh Malaikat Penjaga Spalvia, Scorpialus, untuk jasa-jasa Gladiolus yang telah menjaga Kerajaan Merah dengan sekuat tenaga. Nama ini lalu diturunkan ke Matt, yang menjadi kesatria di Kerajaan Merah.

sophiadewcreators' thoughts