webnovel

JEN: Adventure in Red Kingdom

Jen merupakan anak biasa. Sepeninggal Ayahnya, hidupnya yang berwarna sekarang hanya tinggal aura abu-abu yang kusam. Hingga suatu hari, adiknya, Carson diculik oleh Dover ke dunia lain, Tanah 3 kerajaan, Spalvia. Dengan bantuan Matt, teman sejak kecil sekaligus kesatria di kerajaan Merah Tanah Spalvia, Jen dapat tiba di Tanah Spalvia dan mempelajari apa saja yang harus Ia hadapi untuk menemukan Carson. Dapatkah Jen dan Matt menyelamatkan Carson?

sophiadew · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Fire Lily

"Kau pasti lelah sekali, Jen." Dylan melayang di udara, dengan posisi tidur tengkurap dengan tangan yang menopang dagunya. "Menjelajahi hutan, berjalan dari tebing portal, pergi ke istana, perpustakaan... Kau telah menyebrangi Kerajaan Merah!"

Aku hanya memerhatikannya yang sedang melayang. "Terlihat menyenangkan bisa terbang seperti itu." Aku tertawa melihat tingkahnya. Sekarang Ia berganti posisi menjadi tidur menyamping dengan tangan menopang kepalanya, seperti pose Budha. Ia memainkan alisnya sambil tersenyum menggoda.

Matt berbisik kepadaku, "Dia baru bisa terbang sekitar minggu lalu dan sombongnya sudah hampir ke seluruh Spalvia."

Aku terkikik mendengarnya. Dylan yang mendengarnya, terjatuh dari ketinggian setengah meter. "Hey!"

Kami semua tertawa lepas. Matt dan Dylan sangat akrab, melebihi seorang adik dan kakak. Mendengar perkataan Momma tentang Dylan di Scithsie tadi, aku dapat menebak bahwa Ia adalah seorang prankster di Spalvia. Sudah terlihat dari sikapnya yang usil dan konyol.

"Bagaimana kalian berdua mengenal satu sama lain?" Aku bertanya kepada keduanya.

Matt dan Dylan menatap satu sama lain. Dylan kembali tidur-tiduran di udara, dengan posisi terlentang dan kedua tangannya sebagai bantal untuk kepalanya.

"Aku menemukan Matt mengambang di sungai, dan keluargaku memutuskan untuk merawatnya." Dylan menatap langit, sambil mendecakkan lidahnya. "Sungguh tragis."

Matt tertawa sinis, lalu membalas pernyataan Dylan. "Aku menemukan Dylan sedang menangis dipinggir toko permen. Saat kutanya mengapa, Ia tertangkap basah hendak mencuri dengan sihirnya." Matt menggeleng. "Bukan contoh yang baik."

Dylan berusaha duduk di udara, namun Ia tidak memperhatikan arah terbangnya, sehingga kepalanya terbentur tiang kayu. Ia terjatuh lagi, membuatku dan Matt tertawa terbahak-bahak.

"Matt ditemukan warga di tempat sampah umum." Dylan berkata seraya bangkit lagi.

"Dylan dimuntahkan seekor globfish raksasa, dan hendak dibuang ke selokan sebelum aku menyelamatkannya."

"Matt baru keluar dari–" Dylan baru hendak membalas lagi, saat seorang perempuan sedang meneriaki beberapa hewan di sebuah taman yang kami lewati.

Ia adalah manusia bunga, seperti perempuan-perempuan yang kulihat pada bar tadi. Kepalanya berupa bunga lili yang besar, seperti mahkota raksasa. Warnanya gradasi dari merah menuju kuning, seperti api.

"Pergi! Pergi dasar hewan pengerat! Cari orang lain untuk kalian rampok!" Perempuan itu mengejar tiga ekor rakun yang lari terbirit-birit. "Jangan harap kau bisa lari dariku!"

Perempuan itu mengeluarkan api dari telapak tangannya!

Ia melakukan posisi kuda-kuda, menarik napas dan membidik ketiga rakun yang sedang berlari, dan BWOSH, api meluncur dari jari-jarinya.

"Kalian tidak akan bisa lari!" Ia terus meluncurkan serangan terhadap rakun-rakun itu. "Tidak dariku!"

Perempuan berkepala lili itu memberikan serangan terakhir, dan Ia mengenai seorang rakun. Rakun itu gosong, kulitnya yang abu-abu dan bergaris hitam putih sekarang menjadi hitam total. Ia terdiam, sebelum akhirnya jatuh ke tanah, tak sadarkan diri. Teman-temannya kembali untuk menggotongnya.

"Pikirkan itu saat kalian mencoba merampokku, bajingan!" Perempuan itu berteriak sambil berkacak pinggang.

Aku terpukau dengan kemampuannya mengeluarkan api dari tangannya, benar-benar membuatku ternganga.

Matt dan Dylan saling bertatapan, memberikan tatapan girang satu sama lain, lalu berlari menuju perempuan berkepala lili tersebut, masuk ke area rumahnya yang dikelilingi kebun luas yang ditanami banyak bunga lili merah.

"Lily! Lily!" Matt berlari lebih cepat daripada Dylan, yang akhirnya memutuskan untuk terbang dengan kecepatan tinggi. "Astaga Fire Lily, kau makin cantik saja!" Dylan mendarat tepat di depan Lily.

Lily memberikan gestur stop didepan wajah Dylan, dan kembali pada posisi kuda-kuda. "Mau apa kau, penyihir? Mau kupanggang juga?"

"Kau sungguh menakjubkan, Lily! Tidak heran banyak yang mengejarmu." Dylan tertawa. "Bahkan para rakun itu."

Lily mengangkat tangannya ke arah Dylan, membakar wajahnya.

Lily berbalik untuk masuk ke rumahnya. Dylan, yang wajahnya gosong kehitaman, mengerang. Rambut dan alisnya masih terbakar dengan api merah menyala.

"Regendia!"

Ia membaca sebuah mantra, dan awan-awan kecil berwarna abu-abu tua berkumpul di atas kepalanya. Awan-awan itu menghujani kepala Dylan dengan air dingin.

"Wanita gila!"

***

Matt akhirnya sampai ke tempat Dylan berdiri. Butuh waktu lama agar Matt sampai, karena Ia terus berhenti berlari untuk tertawa sejenak. Dylan memelototi Matt yang kehabisan napas karena tertawa terbahak-bahak.

"Panas?" Matt bertanya kepada Dylan, dan kembali menampar pahanya, tertawa.

"Terserah." Dylan merapihkan pakaiannya. "Apa? Kau ingin tertawa juga?"

Dylan mencibir ke arahku. Aku tidak bisa menahan tawaku, terlebih saat aku melihat ekspresi Fire Lily yang sangat tidak peduli ketika kepala Dylan dipenuhi api.

"Tampaknya Fire Lily tidak ingin diganggu." Aku berkata pada Matt.

Matt akhirnya berhenti tertawa, dan mendeham. "Serahkan saja kepadaku."

Matt berjalan melintasi jalan batu diantara rumput-rumput yang terpangkas rapi menuju pintu depan rumah Fire Lily. Aku dan Dylan menunggu dengan jarak sekitar lima meter, di pagar batu rendah yang bisa diduduki. Dylan sepertinya tidak ingin terlalu dekat dulu dengan Lily. Aku memperhatikan Dylan.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya, aku tidak apa-apa." Dylan memutar tangannya, dan tiba-tiba saja Ia memegang bunga mawar dan memberikannya kepadaku. Ia berkedip dengan genit. "Kau baik sekali! Ini untukmu."

Aku tertawa. "Apakah kau selalu seperti ini? Berusaha mencari hati orang lain?"

"Tidak. Yah, sebenarnya aku tidak pernah berhasil." Dylan mendengus. "Matt lah yang biasanya mendapatkan simpati orang-orang."

"Oh, ya? Matt?" Aku menaikkan alisku. Maksudku, aku tahu Matt juga terhitung tampan dan sopan dalam bertutur kata, namun apakah sampai membuat orang tergila-gila?

"Tidakkah kau lihat, Lilith? Dan para kumpulan Floria manis di Scithsie? Mereka semua mengidolakan Matt. Dia sebenarnya sama saja dengan Diavolo. Pencuri hati wanita. Hanya saja, Matt tidak pernah repot-repot menjalin hubungan romantis dengan siapapun." Dylan berkata sambil membersihkan wajahnya yang masih kehitaman. "Tidak jelas mengapa. Dia tidak pernah menjawab. Tetapi sepertinya Ia hanya mencintai kebebasannya."

"Floria?" Aku bertanya pada Dylan.

"Fire Lily adalah Floria. Manusia setengah tumbuhan."

Selama 11 tahun aku mengenalnya di Greyhose, Matt selalu saja menemaniku kemanapun aku pergi. Aku, Matt dan Carson hampir selalu bersama, setiap harinya. Menurutku, hal ini tidak terdengar seperti kebebasan.

"Wow. Aku baru tahu." Aku maggut-manggut. "Tapi kau juga tidak buruk, kau tahu."

"Mulutmu manis." Dylan menjulurkan lidahnya padaku.

"Tidak, aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Aku tertawa lagi. "Kau jelas bukan tipeku, Dylan. Lagipula, seperti Matt, aku tidak ingin terlibat dalam hubungan percintaan."

Tawa Dylan meledak. Ia terpingkal-pingkal sampai melayang di udara. "Ya, oke. Katakan itu pada wajahmu ketika melihat Volo."

Aku dapat merasakan wajahku memerah. "Aku tidak begitu!"

Sungguh, aku mungkin tertarik pada Diavolo, namun aku tidak sebegitunya sehingga ingin terikat jauh dalam hubungan romantis dengannya. Lagipula, Ia terlihat baik untuk dijadikan teman. Jadi, mengapa tidak?

"Mereka yang berparas tampan selalu dapat yang terbaik." Dylan terbang melayang, dengan posisi tidur menyamping di sisiku. "Tapi mereka biasanya menyia-nyiakan yang mereka dapatkan. Kau tahu mengapa? Karena mereka tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan yang terbaik. Dan itu tidak adil."

"Sudah kubilang, kau juga tampan, Dylan." Aku menekankan pendapatku padanya. Mengapa Ia keras kepala sekali? "Berhentilah berpikir bahwa kau tidak tampan."

"Aku terkutuk. Tidak ada yang menyukaiku dari lubuk hati yang paling dalam."

Aku terkekeh.

***

"Hey, kemari!" Matt muncul dari balik pintu rumah Fire Lily, menyuruh kami masuk. Dylan menggeleng dan menolak ajakan Matt.

"Aku sudah matang!" Ia menyahut. "Tidak terimakasih."

Fire Lily ikut muncul. Ia bersedekap, bersandar pada pintunya. "Ayolah, penyihir muda. Kau tidak marah padaku, kan?" Ia memunculkan senyum galak yang nakal.

Fire Lily merupakan seorang Floria yang sangat cantik, namun tertutupi sifatnya yang kelewat galak dan tomboy. Warna kulitnya cerah kekuningan, tidak mengikuti warna merah dari kelopak di kepalanya. Warna-warna kelopak itu berhenti sebagaimana rambut manusia biasa. Kulitnya pun berbeda. Di sekujur tubuhnya, Ia ditumbuhi akar-akar hijau dan dedaunan kecil, meskipun warna kulitnya yang cerah kekuningan masih terlihat. Telapak tangannya memiliki beberapa kelopak bunga lili, namun jauh lebih kecil dari yang ada di kepalanya. hanya bagian wajahnya yang tidak tertutupi akar hijau. Fire Lily juga mengenakan gaun pendek selutut berwarna merah.

Aku menggandeng lengan Dylan. "Ayolah Dylan, kita harus cepat." Aku berkata sambil tertawa. Dylan akhirnya menurut dan berjalan melewati kebun bunga lili merah, menuju rumah Lily. Ia menyambut kami masuk, dan memberikan tatapan api kepada Dylan, lalu tertawa.

"Kau pikir hanya kau yang bisa bercanda, hah?"

"Wanita gila." Dylan berbisik kepadaku pelan. Aku tertawa pelan, namun berusaha menyembunyikannya. Aku tidak ingin menjadi sasaran tembakan api Lily selanjutnya.

Rumah Fire Lily terlihat unik, namun aku belum melihat banyak rumah penduduk Kerajaan Merah untuk bisa membandingkan. Lantainya terbuat dari tanah dan berumput hijau seperti di kebun, namun jauh lebih rapi dan rata. Dindingnya berwarna putih dan seperti dinding biasa seperti yang ada di Greyhose, namun ditumbuhi akar besar yang kokoh dan tumbuhan merambat. Perabotnya yang keseluruhan berwarna merah tersusun rapi pada rak-rak kayu dari akar yang tumbuh disekeliling dinding rumah Fire Lily.

"Jadi," Matt duduk di kursi meja makan Fire Lily yang berbentuk lingkaran. "Fire Lily menyetujui ajakanku untuk ikut dalam perjalanan ini."

Dylan memanyunkan bibirnya. Aku melihat Fire Lily. Ia sedang menatapku, dengan tangannya yang masih bersedekap.

"Aku tidak lihat hal yang spesial darimu." Ia mendekat kepadaku, mengamatiku.

"Lil." Matt memanggilnya, seperti sedang memberinya peringatan.

Lily mengangkat tangannya, seperti seseorang yang hendak ditembak. "Aku hanya berpendapat, Matt. Kalau benar Dover berada di sekeliling anak ini saat itu, berarti benar Ia sedang diincar. Walau akhirnya salah sasaran."

Aku mengerutkan keningku. Aku diincar?

"Yah, paling tidak sekarang kita sudah mengumpulkan tim yang keren." Dylan terbang diantara kami yang duduk di meja bundar. Posisinya masih seperti Budha yang tidur menyamping. "Floria pengendali api, penyihir tampan yang luar biasa, dan seorang prajurit pendekar pedang."

"Prajurit pendekar pedang?" Aku bertanya. Fire Lily dan Dylan menoleh kepadaku. Matt menunduk, tangannya menutupi wajahnya.

"Kau tidak tahu?" Dylan terbang ke arahku dengan cepat, dan berhenti tepat didepan wajahku. Tubuhnya terangkat terbang dan wajahnya hanya berkisar dua jari dari wajahku. "Kau benar-benar tidak tahu?"

"Putri kecil ini tidak tahu apa-apa rupanya." Fire Lily menyorakiku, bergabung dengan Dylan. Dylan segera terbang dan mendarat disebelahnya.

"Kau tidak memberitahunya? Apa-apaan kau ini? Semacam orang rendah hati?" Dylan mengomentari Matt. Matt tersipu malu, wajahnya menunduk.

"Ada apa dengan Matt? Maksudku, aku tahu Ia memiliki kekuatan. Aku pernah melihatnya berlari dengan sangat cepat." Aku berbicara dengan memandang Dylan dan Fire Lily.

"Tentu saja Ia bisa lari dengan cepat. Matt adalah seorang kesatria! Apa yang kau harapkan apabila kesatria kerajaanmu lamban?" Fire Lily tertawa. "Kekuatan Matt adalah hal yang lumrah sebagai kesatria bintang tiga."

"Sudahlah, itu tidak penting." Matt berusaha menyudahi percakapan ini. Namun Dylan dan Fire Lily masih ingin membahasnya.

"Sidihlih, iti tidik pinting." Lily meledek Matt. Dylan tertawa terbahak-bahak, dan sekarang mereka sedang tos. Sepertinya Dylan sudah melupakan insiden rambut terbakar tadi.

"Jadi, Jen, Matt adalah seorang pendekar pedang. Ia handal sekali dalam menggunakan pedangnya. Ia dikagumi semua orang karenanya." Fire Lily menjelaskan.

"Apalagi perempuan. Tadi kita sudah bahas ini, kan Jen?" Dylan menambahkan, tatapan usil terpampang jelas pada wajahnya. Matt membalas Dylan dengan tinju dan sahutan 'Apa yang kalian bahas?'

"Oh, Matt tidak punya masalah dengan para gadis." Fire Lily berkata lagi. "Masalahnya hanya ada pada Matt. Kau tahu Jen, Matt pernah melompati seekor banteng hanya karena seorang gadis cantik hendak menyatakan perasaannya, dan Matt kabur."

Dylan melayang dan terlihat seperti kejang, tidak dapat mengendalikan tawanya. "Ia akhirnya dikejar ke sekeliling Spalvia, dan berhenti di Kerajaan Hijau. Ia bahkan ditangkap lima Prajurit Hijau untuk diinterogasi."

Matt berdiri, dan berusaha terlihat marah namun gagal. Ia tidak dapat menyembunyikan tawanya. "Cukup."

Kami semua tertawa, namun Matt berusaha mengontrol dirinya. "Ayolah, ini serius. Seorang anak kecil sedang diculik oleh Dover."

Dan dengan kata-kata itu, semua terdiam. "Bagaimana, Lily? Kau benar akan bergabung dengan kami?"

Lily kembali bersedekap. "Untuk sementara, dimana kalian akan tinggal?"

"Di Scarlett Zone, rumahku." Matt menjawabnya. "Kau juga diperbolehkan untuk tinggal disana sementara waktu, Lily. Apabila kita semua dekat, akan lebih mudah untuk membicarakan strategi kedepannya."

Lily melihat Matt. "Lagipula, Jen pasti akan sangat memerlukan teman perempuan disana." Ia melanjutkan.

Lily mengangguk, setuju. "Dengan satu syarat."

Matt, aku dan Dylan mendengarkan.

"Dia harus belajar membela dirinya sendiri." Lily menunjuk kepadaku dengan jarinya yang hampir terbungkus oleh akar hijau secara keseluruhan. "Aku tidak ingin repot-repot menjaga seseorang yang tidak bisa bertempur."

Matt menghela napasnya. "Baik, akan kuberi Jen sesi pertahanan." Ia melirik kepadaku dan tersenyum. "Kau pasti bisa, Jen."

Aku bergidik. Bela diri? Ini hal yang baru untukku. Namun apabila dipikirkan, itu adalah hal yang benar. Terlebih dengan kenyataan bahwa kami akan menghadapi makhluk-makhluk aneh dengan sifat menonjol dari tujuh dosa paling mematikan, bahkan masuk ke Dunia Bawah setelahnya. Aku harus siap menghadapi kondisi apapun.

"Baik, aku akan siap mengikuti latihan bela diri." Aku tersenyum mantap, menjawab Lily. Ia balas tersenyum juga.

"Sekarang, menuju Scarlett Zone!" Dylan meluncur terbang melewati pintu depan rumah Fire Lily.

"Hey, prajurit. Temanmu selalu berperilaku kurang akal seperti itu?" Lily memberikan ekspresi heran. "Dan kau yakin untuk bepergian bersamanya?"

Matt dan aku tertawa bersama.