webnovel

Iuran

Hari pertama kembali bersekolah dilalui Jeha. Seperti biasa jika masih awal-awal masuk sekolah, tak langsung diisi pelajaran. Nanti pun sekolah akan bubar pukul sebelas siang.

Tadi wali kelasnya yang baru sudah masuk dan memberikan kata sambutan. Selama satu tahu, maksudnya kurang dari satu tahun ke depan mereka akan dibimbing dan diberi arahan olehnya.

Sekarang mereka tengah mendiskusikan perihal perangkat kelas. Mereka harus memilih ketua, wakil ketua dan jajaran lainnya untuk mengurus kelas agar selalu tertib.

Seperti biasa, jika sedang seperti ini Jeha hanya akan diam. Diam dan tak diusik bagi Jeha itu sudah cukup. Tak perlu dimintai pendapat atau sebagainya, memang dia siapa?

Bahkan tak ada yang mengajaknya bicara. Reni, gadis itu sibuk menentukan beberapa kandidat pengurus kelas bersama yang lain.

Pasti Reni akan ikut dalam perangkat kelas. Gadis supel, baik, dan tegas itu akan pensiun di kegiatan OSIS jadi dia pasti lebih fokus di pengurus kelas nantinya.

Meski tak terlalu dekat dengannya, setidaknya di kelas ini ada yang menganggap Jeha.

"Oke, teman-teman tolong disimak ya. Kita akan memilih pengurus kelas. Sudah ada beberapa calon dan kalian tinggal pilih nanti."

Kan, benar batin Jeha. Sekarang Reni dengan suara lantangnya sedang memimpin jalannya diskusi.

Ditengah kebisingan kelas menetapkan pengurus, Jeha hanya diam menyimak. Sekertaris, bendahara, dan beberapa seksi pembantu telah ditetapkan.

"Nah, sekarang tinggal ketua dan wakil."

Ini jabatan paling inti untuk pengurus kelas.

"Sudah ada dua kandidat. Yang pertama Edo, dan yang kedua Ryshaka."

Jeha mengalihkan pandangannya ke nama yang baru saja disebut.

"Kita akan voting untuk hal ini, nanti suara paling banyak akan jadi ketua, dan yang sedikit akan jadi wakilnya."

"Dari Edo dulu, angkat tangan yang pilih Edo jadi ketua."

Delapan anak menaikkan tangannya. Ryshaka tampak ikut memilih lawannya sendiri.

"Tengkyu tim sukses gue." Canda Edo yang memang kebetulan duduk di samping Ry.

"Wah, kalau begini sudah pasti Ry jadi ketuanya. Tapi biar adil, yang pilih Ry silakan angkat tangan!"

Jeha ikut mengangkat tangannya. Ia ikut saja siapa suara terbanyak.

"Oke, jadi kita sudah dapat pengurus kelas. Terima kasih perhatiannya."

Selesai berdiskusi, sekarang kelas kembali diisi dengan percakapan masing-masing. Ada yang asyik mengobrol, bermain game dari ponsel, bahkan ada yang asyik makan.

Dan seperti tadi juga, Jeha hanya diam. Ia ingin menyapa siswa di depannya tapi takut tak dihiraukan karena tampaknya mereka sedang asik bercengkerama.

"Eh? Yah, jatuh."

Seseorang tak sengaja menjatuhkan kulit kuaci yang tadi ia kupas. Jadilah kulit kuaci itu berserakan di lantai.

"Ish, lu sih banyak gerak."

"Ya, maaf."

Jeha mengamati dari duduknya, salah satu dari gerombolan siswi yang makan tadi bangkit dan berjalan menuju ke arah belakang melewati dirinya.

"Ya! Ini gimana gue mau bersih in kalau sapunya saja kayak begini."

Semua langsung menoleh ke sumber suara. Di masing-masing tangan siswi itu terdapat sapu yang tak layak pakai.

"Kalau begitu, kita ada in iuran aja buat beli sapu." Usul si bendahara kelas yang baru saja dilantik tadi.

Mampus, uang yang diberi kakaknya telah Jeha gunakan untuk naik ojek.

"Oke, lima ribu masing-masing anak cukup kali ya. Sekalian buat kas kelas." Tanggap Reni selaku sekretaris kelas.

Lima ribu? Jeha merogoh kantong rok dan bajunya. Barang kali ada uang receh yang tertinggal. Sungguh ia malu jika tak bisa ikut iuran hari ini.

Tas pun ia buka dan rogoh, barang kali ada uang koin. Tapi seingatnya memang tak pernah menaruh uang di tas. Boro-boro menaruh, diberi uang saku saja hanya ngepres untuk ongkos naik bus itu pun untuk berangkat. Pulangnya ia jalan kaki, atau terkadang ada Reni yang menawarkan tumpangan. Sialnya, tadi pagi mama tak memberinya uang.

Jika tahu akan ada iuran kelas seperti ini, maka Jeha memilih naik bus umum tadi. Sekalian saja ia terlambat lebih lama. Haduh!

Satu persatu teman kelasnya berjalan ke arah meja bendahara. Yang mana satu meja dengan Reni. Sekarang sepertinya tinggal Jeha yang belum iuran.

Dengan mengumpulkan keberanian, Jeha berjalan ke arah meja bendahara.

"Em, maaf."

Bendahara kelas itu menatap ke arah Jeha, di tangannya terdapat uang iuran.

"Kenapa Jeha?" Tanya Reni. Ia memberikan senyum untuk Jeha.

"Itu, kalau aku iuran besuk boleh? Soalnya aku lagi enggak bawa uang."

Diam sejenak, bendahara dan Jeha saling tatap. Dapat Jeha lihat tatapan bendahara itu turun untuk menelusuri penampilannya.

Jeha sedikit risih, ia menautkan kedua tangannya di depan badan. Memang seburuk itu penampilannya.

"Ya udah, tapi jangan lupa besuk!"

"Iya, terima kasih."

Jeha kembali berjalan ke tempat duduknya. Tatapan bendahara perempuan itu tak lepas dari Jeha.

"Lima ribu aja enggak punya." Gumamnya yang mana dapat didengar Reni.

"Jangan begitu lah."

"Kayaknya akrab banget lu sama dia?"

"Enggak terlalu akrab kok, cuman sering anter dia pulang aja. Kasihan tahu, dari kelas satu dijadi in budak sama Selsa and geng."

Mendengar kata temannya, ia hanya mengangguk.

"Nih, gue yang bayar iurannya dia untuk hari ini."

"Wih, kaya lu."

"Aamiin."

***

Berjalan. Ya, setiap pulang sekolah Jeha selalu berjalan sampai rumah. Namun terkadang ada orang baik yang memberinya tumpangan. Seperti saat ini, Reni sudah berhenti di samping Jeha dengan motor maticnya.

"Naik, Je!"

Jeha mengangguk, ia seperti menemukan air di tengah gurun pasir. Bagaimana Jeha tak berterima kasih, matahari yang sedang terik-teriknya membuat seluruh tubuh Jeha seperti terbakar.

Ditambah dia belum makan apa pun sejak pagi.

"Terima kasih ya, Ren."

"Woke, pegangan lu."

***

Sekitar lima menit lagi, motor yang dibawa Reni akan sampai gang rumahnya.

"Eh? Kenapa nih motor?"

Reni menghentikan motornya karena merasa tak nyaman saat mengendarai. Untung mereka berada di jalur pinggir, jadi tak membuat masalah saat berhenti tiba-tiba.

Jeha sontak turun dan menunduk.

"Bannya kempes, Ren."

"Yah, dasar motor jadul. Gitu aja loyo."

Jeha merasa tak enak hati, apa karena memboncengkan dirinya ban motor matic ini sampai bocor.

"Maaf ya, Ren. Kebetulan di perempatan sana ada bengkel."

"Santai kali. Yuk lah bantu gue dorong ini motor."

Jeha mengangguk. Akhirnya mereka mendorong motor tersebut agar sampai di bengkel.

***

Jeha dan Reni duduk di kursi panjang sembari menunggu motor Reni selesai diperbaiki.

Ting!

Ponsel Jeha berbunyi. Sejak pulang sekolah tadi, ia mengubah mode diam ponselnya. Meski hanya bisa digunakan untuk bertukar pesan dan menelefon. Setidaknya Jeha mempunyai alat ini untuk berkomunikasi.

'Cepat pulang. Papa sudah menunggu kamu!'

Jeha membaca dalam hati pesan yang baru saja dikirim mamanya. Ia lupa hari ini jadwal kakaknya ke rumah sakit. Pantas kakak dari tadi pagi sudah pucat. Jeha melirik Reni yang tampak kepanasan. Ia bisa saja berlari dari sini untuk sampai ke rumah tapi itu akan membuat hatinya tak enak karena meninggalkan Reni sendiri. Sedangkan motor Reni bocor karena memboncengkan dirinya.

Di satu sisi. Saat ini Reni mati-matian menahan hausnya. Sebenarnya ada warung di seberang yang menjual es tapi uangnya tak cukup bila memaksa membeli es itu. Ini hanya cukup untuk membayar biaya perbaikan motornya.

Huh, mana tadi ia malah membayarkan iuran Jeha.

Reni menoleh ke Jeha yang sibuk dengan ponselnya. Lihat saja, ponsel butut seperti itu masih dipakai. Reni kasihan melihat itu, meski ia hanya berasal dari keluarga sederhana setidaknya ia tak harus berjalan bila akan berangkat dan pulang sekolah, ia bisa mengakses internet dari ponselnya. Ia merasa lebih beruntung dari Jeha, oleh karena itu ia membantu Jeha.

"Neng, sepedanya selesai."

Jeha mendongak. Ia bersyukur, sepeda motor itu selesai.

***

"Ren, di sini saja ya."

"Tanggung, Je. Sampai rumah saja."

Reni bersikeras mengantar Jeha sampai depan rumah tak seperti biasanya yang hanya sampai gang depan.

"Masih jauh dari sini?" Motor telah berbelok masuk gang.

"Itu, pagar cokelat."

"Hah?" Pagar cokelat.

Reni menghentikan motornya begitu sampai di rumah yang Jeha sebut. Ia terdiam sebentar menelisik rumah dua lantai di hadapannya. Apa mungkin orang tua Jeha bekerja di rumah ini, dan mereka tinggal di sini.

"Terima kasih ya, Ren."

"Iya. Em, orang tua kamu sudah lama kerja di sini."

"Iya?"

"Ini rumah majikan orang tua kamu, kan?"

Jeha menggeleng membuat Reni heran.

"Ini rumah Papa sama Mama aku, Ren."

Rumah papa dan mamanya. Itu artinya, Jeha bukan dari keluarga kurang mampu. Tapi kenapa?