webnovel

Send As Much Affection As Possible

"Kenapa tiba-tiba berhenti?" Spontan bertanya setelah menyamakan posisi pandangannya. Penasaran dengan apa yang membuat Jayden mematung seperti ini. Mataku memicing saat melihat kekasih Jayden tampak ada diseberang sana, baiklah itu baik sekali.

Hanya saja, dua detik setelahnya dia dirangkul mesra oleh pria lain. Apa yang terjadi disini? Ulasan senyum dan senyuman tergores dengan alami di wajah mereka. Kenapa mereka tampak begitu dekat? Ketegangan menyapa, ketika mereka berpapasan dengan Jayden. Si pria tampak tertegun sejenak.

Sementara Luna kelabakan di tempat, dengan wajah yang berubah pucat pakwsi. Si Pria membuka mulutnya lebih dulu. "Jay gue bisa jelasin," pungkasnya berusaha mencairkan suasana. Sedangkan yang diajak berbicara, malah bungkam seribu bahasa—menatap kecewa sang pujaan hatinya.

Diwaktu yang nyaris bersamaan, datanglah Jeffrey dan Laura yang sama bingungnya, lantaran tidak menyangka bahwa kami masih di depan kelab sedari tadi. Jeffrey pada akhirnya menyebut nama pria itu, "Luna?" tanyanya sekedar memastikan. Namun, ia lebih terkejut sekaligus teraduk dengan sensasi tidak mengerti.

Kenapa ada Luna juga sekarang? Hingga tibalah si Brian ini memantapkan diri, bilang bahwa wanita bergaun hitam ketat ini datang bersamanya. Tanpa ragu Brian menambahkan, "Bahwa hidupnya lebih terjamin ketika bersamaku." Itu langsung sampai pada poin utama penyebab persoalan mereka.

"Hentikan sayang," Luna berkata dengan setengah berbisik pada pria itu, meski sebetulnya aku dan Jayden masih bisa menyimak dengan jelas di sini. Jeffrey kemudian menghardik, wanita yang telah mengencani sahabatnya sendiri itu.

Tanpa rasa bersalah sedikitpun Luna berdalih, "Jayden tidak memberiku pilihan Jeff..." Alasannya sungguh tidak berdasar sama sekali, membuat Jayden akhirnya membuka mulut, dan bertanya sebenarnya sejak kapan itu terjadi? Terlihat kalau ia berusaha menahan suaranya yang bergetar kala itu.

Malam pukul sembilan lebih lima belas ini cukup lenggang, mungkin karena orang-orang sibuk menikmati inti acara di dalam. Bahkan security guard tidak terlihat dipintu masuk, membuat adu argumen ini semakin terdengar jelas? Tentu saja hanya kita berenam sekarang.

Nahas bukan Luna yang menjawabnya, "Setahun lalu ketika kau membawanya bermain ke apartemenku, sejak itulah kami mu—"

Slap! Jayden memutus penuturan Brian, setelah menarik kerahnya dengan kasar. Tubuh pria itu di dorong tanpa jeda, hingga melipir kesamping tembok kelab ini, "Jangan ikut campur!" Kurasa itu larangannya untuk Jeffrey. Jayden lengah satu detik kurang dari Brian.

Sebab ia berhasil melayangkan bogem maut pada Jayden, hingga wajahnya terpelanting kasar bersamaan dengan tautan lengan pada kerah pria itu terlepas. Bugh! Pria itu membalas dengan pukulan bertubi-tubi. Seakan-akan itu adalah pertarungan terakhir di sepanjang hayatnya.

Aku tidak kuat melihat baku hantam yang terjadi, keduanya saling melawan, "Kau melukainya sialan, Jay!" Luna barusan mengumpat pada Jayden. Namun, Ia tidak menggubris dan terus memukul Brian hingga tubuhnya tersungkur dalam posisi setengah tertidur.

Pria dengan berkemeja hitam itu nampak tertatih-tatih guna bersandar pada tembok. Ia mengirim kekehan di tengah getirnya lebam, pada seluruh bagian wajahnya. "Kau dan Luna memang sama bebalnya," kata Brian, membuat Jayden menilik tajam penuh tanya.

Brian terlihat membenarkan posisinya, guna melirik sangsi presensi wanita yang tadi datang bersamanya. "Apa kau tidak tahu kalau Jayden itu seorang CEO... Luna?" lirihnya berusaha bertanya sejelas mungkin. Wanita yang berprofesi sebagai model itu tampak gelisah, ia tidak percaya apa yang di dengarnya barusan.

"B—benarkah?" tanya Luna, memaksa Brian mengangguk lemah, napasnya masih tidak beraturan. Ia lantas menatap balik pria yang membuatnya babak belur.

"Aku minta maaf sebelumnya Jay, jika cara ini salah. Tapi aku berani menjamin, jika Luna itu wanita murahan, ia rela tidur denganku demi menggembungkan saldo serta dan jadi brand ambasador salah satu produk yang dinaungi perusahaanku," jelas Brian.

Pria dengan aroma vanilla maskulin itu menulikan pendengaran, dia sudah gelap mata. Hingga kembali menggencarkan pukulannya pada Brian, menolak mentah-mentah kenyataan yang baru saja terlontar. "Jayden..." Aku mencoba memanggilnya.

Dia melihatku sekilas, hingga Brian menemukan celah untuk balik memukulnya secara tiba-tiba. Jayden sontak kehilangan keseimbangan hingga tubuhnya terlempar, pada besi penyangga tong sampah. Aku tidak kuasa melihatnya hancur.

Kalau-kalau hal buruk terjadi seperti dia tewas ditempat atau kedapatan membunuh sesama manusia akan sangat mengerikan. Seumur hidup pasti aku akan merutuki diri, sebab tidak dapat membawanya pulang hari ini. Rasanya hatiku tersayat, tanganku menggigil di susul adanya sengatan hebat yang terjadi pada lenganku.

Plak! nyamuk sialan memang, aku menebasnya di tangan dan segera memakai kemeja yang sedari tadi hanya kutengteng. Saat Brian mencoba memukulnya lagi, Jayden menangkap kepalan tinjunya dan menendang perut pria itu hingga ia jatuh tersungkur ke atas pavinblock.

"Berhenti!" Luna mencoba melerai, tapi Jayden sudah enggan menggubris wanita yang membuatnya berantakan tersebut. Aku juga mencoba memanggilnya lagi, rasanya pelupuk mataku sudah tidak sanggup lagi menahan air asin yang kutahan sejak tadi.

Cintanya yang menggebu, hanya akan mengantarkannya pada gerbang ketragisan. Pipiku memanas, air mataku tumpah begitu saja. Apalagi saat Jayden mengambil botol berwarna hijau gelap dari tumpukan sampah, dia membenturkan kasar hingga menyisakan potongan runcing.

Ia menyeret paksa tubuh sekarat Brian dan mengambil ancang-ancang menusuk leher dengan beling yang sudah digenggam nya dengan kuat itu. "JAYDEN BERHENTI!" Aku berteriak sekuat tenaga dengan sengalan napas hebat.

Jayden dengan tangan yang mengacungkan benda tajam siap tancap itu akhirnya berhenti, jemarinya yang terlalu erat menggenggam serpihan botol itu terlihat terluka, ada cairan merah pekat yang menetes di sela-sela tangannya. "Cukup, sudah cukup," Aku menambahkan kalimat itu dengan pelan.

Jayden melepaskan cengkraman pada kerah Brian, kemudian melangkah dengan semua kesadarannya—melewati pribadi bernama Luna yang kebingungan. "Kau menjemukan dengan tangismu itu, wanita murahan!" kata Jayden kecewa.

Aku menyuruh Jeffrey pulang lebih dulu dengan Laura, menyusul Jayden merupakan bentuk tanggung jawabku. Ia tampak melangkah sembarang menuju area taman. Pencahayaan yang berpendar lemah dari bangunan sekeliling, dengan rintik halus sangatlah indah.

Bahkan jatuhan air hujan makin kesini makin banyak. Aku masih setia mengekori langkahnya. "Jayden..." lirihku tepat saat ia menghentikan kaki, di dekat lampu temaram jalan yang menyorot tubuh tingginya, dia berbalik dengan hancur.

"Harin aku—" suaranya bergetar dalam kesenduan ,yang mungkin sukar untuk dibendung lagi, "Ini... tolong... menyakitkan sekali..." Jayden terisak di tengah derasnya air yang menyerbu, ia seperti bersyukur pada air hujan yang seakan menyamarkan air kepiluannya kali ini.

Seraya melangkahkan tungkai dengan pasti. Sudut hatiku benar-benar tergerak, untuk mengumpulkan remukan hati yang nyaris melebur itu. Aku harus membantunya, sebab pernah di posisi yang sama yaitu terasingkan oleh kenyataan.

Menampik sejenak bayangan Hito di setiap derap, hingga aku memutuskan berlari lebih cepat mengalungkan kedua lenganku pada perpotongan lehernya, "Jangan khawatir, kau tidak sendirian." Jayden menyambut rangkulanku—melingkarkan lengan kekarnya di perpotongan pinggang.

Kemudian aku mengelus punggungnya guna menghantarkan afeksi sebanyak mungkin, dia layak menepi sejenak dari kerasnya kehidupan. Membiarkan berisiknya rintik hujan menelan suara isakan tangisnya. Membiarkan derasnya hujan membawa pergi semua rasa pedihnya.

Termasuk membiarkan diriku menjadi pelabuhannya, untuk sekali ini saja.

Bersambung...