webnovel

Interesting In The Summary Of His Eyes

Setelah penggoda itu menjauh, Jayden kembali menyibukkan dirinya pada pemandangan di bawah sana. Tampak dia antusias memperhatikan wanita itu lagi. Terlihat dari kaki dengan jeans berukuran fit, robek itu yang bergerak-gerak dengan gemas. Ada sesuatu yang menarik dalam rangkuman matanya kali ini.

"Arrgh! Wanita itu mencuri perhatianku," gusar Jayden dengan menggoyangkan gelas seloki hingga cairan di dalam gelas itu terombang-ambing. Kepalanya bergantian memandang dua sudut yang sama. Alis tebalnya seketika bertaut, ketika menangkap sosok lain yang juga memperhatikan Kamila.

"Siapa pria berbaju hijau itu?" Jayden membatin.

Jika dilihat dari jarak dekat, Jayden mungkin akan mengetahui bahwa pria misterius itu, sebenarnya memakai aksesoris khas; berupa gelang hitam dengan bandul burung Phoenix. Cukup mengesankan, mengingat tidak semua orang percaya akan mitologi burung tersebut di era sekarang.

Di saat bayangan Jayden semakin terbang kemana-mana. Presensi laki-laki mapan yang langsung menepuk bahunya, membuat Jayden seketika menoleh. Ternyata itu adalah Gabriel temannya, yang sedang menggandeng mainan baru. "Ada yang ganggu, Jay?" tanyanya.

"Nggak," Jayden menjawab cepat dengan pandangan awas kebawah sana. Kamila terlihat diikuti oleh pelayan yang membawa apa itu? Mata bulatnya berusaha mengingat botol tersebut, dan ternyata empat botol wine keluaran tahun 1980. Wah! Mulut Jayden kini menganga dengan sempurna.

Sadar sikapnya seperti stalker tampan. Jayden langsung menengok ke belakang, guna mengecek apakah Gabriel mencurigai gelagatnya atau tidak. Syukurlah! Temannya itu sibuk bercumbu bersama objek seksualitas nya. "Jay! Mau coba nih cewek berdua gak?"

Pria yang di tanya lantas melambaikan tangan ke udara. Mengambil langkah panjang, demi tiba di lantai satu lebih cepat. Jay teramat bersemangat sekarang, apalagi ketika lantunan segar musik EDM seakan menyambut pergerakan tubuhnya yang atraktif tersebut.

Harus Jayden akui, jika dirinya memang tertarik dengan dunia dance sejak kecil. Sambil menaiki sepatu warna gelap keluaran YSL-nya, pria itu meluncur ke lantai dansa. Bermacam-macam remix lagu telah ia lalui, namun rasa penasaran Jayden—malah semakin membesar.

Kebosanan telah menyelinap ke dalam di jiwanya. Hingga tidak berselang lama, Jayden menarik diri sebelum bersimpuh di salah satu kursi. Memeriksa jam tangan yang melingkar mewah, kemudian pintu ruang empat. Begitu saja terus, hingga setelah berjam-jam lamanya Kamila tidak kunjung keluar dari sana.

"Bagaimana kalau Kamila collaps?"

"Siapa tahu Kamila hangover, sampai arwahnya menguap ke langit..."

"Apa Kamila sedang mati sebentar karena alkohol itu?"

Rentetan pertanyaan tidak henti-hentinya berputar di kepala Jayden. Kekhawatiran ataupun rasa penasaran, benar-benar—menghantam baik secara lahir maupun batin. Menunggu seorang Kamila adalah benang merahnya sekarang. "Aku bisa berubah jadi Spiderman kalau begini terus..." Jayden bercelatuk asal.

Yah jelas, itu mungkin saja! Mengingat Jay pindah kesana kemari, saking tidak sabarnya menunggu wanita yang entah sedang mengadakan rapat besar apa di ruangan sana. Ia melepaskan kejenuhannya dengan cocktail buah anggur hijau segar. Perputaran jarum jam telah sampai di angka satu dini hari.

Betapa terkejutnya Jay saat melihat Laura dari arah seberang dengan rok panjang dan jaket bomber serta sepatu kets serba putih itu, membuatnya kontras pada suasana kelab bersama seorang pria berlari menuju ruangan Kamila.

"Beneran collaps?" Jayden hanya sedang mencoba mengajak bicara para debu. Tak lama, mereka keluar dengan pria tadi yang tengah menggendong tubuh Kamila keluar gedung. Oke, itu sukses membuat Jayden senang karena tebakannya benar.

***

Ruangan kelas satu dengan luas yang terbilang wah! Proyektor menyala dan sedang memutarkan Joker edisi teranyar, lengkap dengan pencahayaan temaram seperti di bioskop langsung menyambut pribadi yang tersengat rasa penasaran itu.

"Sudah dipastikan ia mabuk..." Jay bergumam sebelum menyeringai bangga.

Langkahnya terputus. Jayden berhadapan dengan meja kaca tebal di sampingnya. Kening yang tersibak maksimal berkat sibakan poninya yang menyamping; benar-benar menunjukkan keheranan lain. Dari empat botol yang tersedia hanya satu yang terbuka, ia kini turut mendudukkan bokong padatnya pada ujung sofa.

Malah membuat Jayden migrain saja, ternyata botol yang terbuka pun isinya tetaplah utuh? Mau sampai negara api menyerang negara es pun ia tetap menggaruk-garuk belakang telinga. Dia mengambil gelas sloki bening didepannya, mendekatkan ke indra penciuman. "Ini bahkan belum dipakai."

"Anda harus melakukan register ulang dulu, jika memakai ruangan yang telah dipakai sebelumnya kak!"

Jayden menemukan seorang pelayan bernama Renata, datang membereskan minuman. Ia segera meraih lengan mulus tersebut, hingga wanita itu menoleh dalam ketenangannya. Renata tersenyum begitu ramah sebelum menaikan sebelah alis.

"Apa ada yang bisa saya bantu?" Renata melepaskan lengan Jayden perlahan. Percayalah kontak fisik yang disengaja, tidak termasuk dalam kontrak kerjanya. Maka dari itu wanita ini senantiasa menjaga rasa profesionalitasnya.

"Apa dia sering datang ke sini?" tanya Jay tanpa terduga.

Apa yang dipikirkan Jay? Tentu saja karyawan itu tidak akan mengingat semua orang yang datang kemari. Tapi berkat insting hebatnya, Renata sanggup menebak kalau yang pria tampan ini maksud, adalah wanita sebelumnya.

"Iya, dia rutin datang dua kali setiap bulan."

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya tanpa berfikir panjang, tolong getok saja kepala Jayden dengan gayung, dia itu pura-pura bodoh apa bagaimana?

"Aku bekerja di sini sudah lama, dia selalu datang dengan pakaian yang sama dan memesan alkohol berjenis wine yang bahkan tidak pernah diminum, kalaupun sisanya berkurang itu karena dia membuangnya ke wastafel."

Baiklah! Otak Jay menyerah dengan segala bentuk ke-frustasian evolusi baru ini. Bagaimana seseorang bisa membelanjakan uang begitu saja? Ketika tidak menikmatinya bahkan setetes pun. Ia kini memilin lembut bibir bawahnya dengan geli.

"Benarkah?" Renata mengangguk dan berpamitan selaku karyawan. "Tunggu! Apakah ini ke dua kalinya ia datang?" Jayden menahan kepergian wanita tersebut. Renata berbalik singkat lalu mengkoreksi pendapat pria itu, bahwa hari ini adalah kedatangan Kamila yang pertama.

Jayden menyisir rambutnya dengan jemari, jelas sekali kalau ia ingin paham lebih jauh dengan mulai bertanya lagi, "Lantas kapan dia datang lagi?"

Wajah-wajah seperti Jayden sebenarnya rawan sekali dicap sebagai serigala berbulu domba, panglima buaya atau bahkan sosiopat gila. Itu juga yang dirasakan Renata sebelum melenggang pergi. Mulutnya berhasil menjaga privasi dan menutup percakapan dengan kalimat terakhir.

"Saya tidak tahu secara spesifik mengenai hal tersebut." Ia tersenyum sebagai formalitas semata.

Jayden melemparkan kepalanya ke sandaran empuk sofa. Berhasil me-register kunjungan ruang ini dengan kartu hitam unlimited miliknya. Beberapa tambahan fasilitas, berupa satu set alat karaoke dan lainnya telah siap. "Milik siapa ini?" tanya wanita dari pangkuan Gabriel dengan mengacungkan dompet berwarna ungu pastel. "Periksa saja ID card-nya..." lirih Gabriel sedikit kesal, sebab belaian yang dilakukan gadisnya itu terjeda. "Kamila Andini Rahagi." Wanita itu lanjut membacakan nama yang tertera di kartu tersebut. Jayden yang awalnya sibuk memilih lagu di depan monitor pun spontan melirik ke sumber suara.

Jayden ikut memastikan, "Kamila?" .

"Kamila?" Gabriel membeo dengan bukaan mulut menganga, sebelum berekspresi seolah telah tertembak peluru. Tangannya kini melambai-lambai.

"Ayo semuanya! Mila Mila ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan, kulihat saja banyak—"

"Kau mengenalnya?" potong Livy, wanita lain yang ada di sini sambil menjelajahkan jemari lentik diantara surai legam Jayden. Pria ini masih berfikir keras hingga akhirnya dia frustasi sendiri.

"Dasar bodoh!" makian tersebut justru ditujukan untuk Jayden sendiri. Bisa-bisanya dia menanggapi racauan Gabriel yang nyaris tidak sadarkan diri. Dimanfaatkan sedemikian rupa, oleh wanita sewaan itu hingga membuat saldo temannya raib beberapa digit sekarang.

"Eungh!" terkutuklah suara yang baru saja keluar dari celah bibir Jayden.

Dia segera menghentikan aktivitas Livy yang terlalu jauh mencumbu lembut di area leher. "Mau kemana sayang? Kita bahkan belum sampai ke intinya," rengek Livy memeluk perut Jay dari belakang ketika ia telah berdiri. "Tidak berselera!" bentaknya kuat sambil melepaskan lengan itu.

"Berikan padaku! Aku mengenalnya," pinta Jayden setelah berhasil mendekat pada posisi wanita yang bersama temannya itu. Dia mulai pegal mengulurkan tangan.

"Ambilah," jawab wanita itu malas. Jayden menyambar dompet tersebut dan memasukan ke saku jaketnya.

Tanpa Jayden sadari wanita sewaan bergaun minim berwarna hijau emerald bernama Livy itu tengah menatapnya setajam pisau cukur. Ia menghampiri kehadiran Jay dengan tatapan damba, hingga saat Jayden sibuk dengan ponselnya dan lengah ia mengambil kesempatan licik.

Grep! Livy menuntun lengan Jay menuju salah satu aset berharganya. Mata Jayden sontak membola dan ia buru-buru menarik lengannya dari sana.

"Kau gila?" Emosi Jayden tersulut dengan mengerikan. Ia membalas perlakuan Livy dengan membanting tubuh bak gitar spanyol itu ke belakang pintu. "Ya aku memang gila, jadi apa yang akan kau lakukan hah?"

Bersambung..