webnovel

Hopefully, This Is Not A Misleading Path.

Ayah cepat marahi aku sekarang! Mataku memejam erat. Ujung seloki ini telah menempel di antara sela bibir, serta rasa pahit mulai tiba di ujung lidah. "Akhirnya..." suara berat seorang pria, spontan membubarkan acara khidmat-ku tanpa terduga dari belakang sana.

"JAYDEN?" Pria ghaib itu melangkah tanpa beban, selagi rangkaian sarafku masih menyambungkan beragam stereotip atas kehadirannya.

Aku bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?" Ia malah duduk berdekatan di sofa empuk yang sama, bersamaku. Pria dalam kaus hitam polos, dengan mantel panjang abu-abu ini menatap sekilas, sebelum menyandarkan bahu lebarnya dengan lemas.

"Aku sedang menanam padi, puas!" jawab jay kesal.

Dia mengusap wajah frustasi, sebelum menutupnya dengan lengan. Bukan jawaban itu yang ingin kudengar, tapi melihat fitur wajah tersebut sayu, lengkap dengan gelantungan lingkaran hitam tegas di bawah matanya, aku jadi tergerak untuk bertanya, "Berapa lama kamu di sini?"

Jayden mengaku, dirinya telah menghabiskan lima belas jam di kelab. Pulang pagi dan datang kembali pada siang hari, hanya untuk menyingkirkan rasa penasaran akan suatu hal. Hah? Tanganku semakin memegang erat gelas, membayangkan bagaimana mungkin, ada yang lebih gila dari diriku sendiri di dunia fana ini.

"Jadi kamu kerja?" Hanya pertanyaan itu, yang tersemat spontan dalam logikaku sekarang. Jayden lantas membenarkan posisi duduk, menjawab jika dia sebenarnya tidak bekerja, "Aku itu pengangguran..." Dia kemudian bersuara parau.

Mulutku langsung bungkam, ketika Jayden menggeser badannya secara mendadak. Dia menatap tepat ke dalam mataku, yang mulai di sergap rasa panas—hati ini seolah kembali tersayat dengan mengerikan. Jayden tiba-tiba saja berujar berat, "Aku sebenarnya menunggumu..."

"Ck! Gak percaya mana mungkin," kataku setelah menoleh padanya. Selain memusingkan seperti mystery box, Jayden juga pandai membual dengan bibir tipisnya itu. Aku cemberut karena merasa terganggu, dan memilih memutar-mutarkan seloki dengan tangan, serta pandangan nyaman pada proyektor film di depan.

Hingga pada detik berikutnya, dia tiba-tiba saja membentuk kurungan dengan tubuhnya yang memblokir seluruh pandanganku. "Nothing is impossible, semua mungkin saja karena aku mau minta ini darimu!" suara bariton Jayden, berhasil mengejutkanku.

Namun, aku lebih tercengang lagi ketika ia merebut sesuatu yang tidak seharusnya. "Astaga! Itu punyaku breng—" Jayden menyela dengan cepat dengan berkata, "Lagipula aku tahu, kau tidak akan meminumnya." Jayden kemudian menenggak Vodka tersebut, tampak mudah sekali.

Aku terdiam sejenak, menatap kosong ke arah Jayden. Dia mengisi ulang kembali gelasnya yang telah kosong itu. "Sudahlah, jangan menangis dulu untuk sekarang. Nanti kalau aku mabuk, tidak sadar mengikatmu di atas ranjang, lalu memohon-mohon minta dipuaskan, lebih repot jadinya!" cerocos Jayden.

"Siapa yang menangis huh?" Aku buru-buru menentang fakta tersebut. Agar tercipta kembali, Kamila Andini yang tegar, anti cengeng dengan rasa percaya diri tinggi—seperti biasanya. Tidak mau terlihat lemah, aku pun mengangkat dagu, pura-pura kuat di hadapan semua orang.

"Pi-pi-mu-ba-sah," ejaan yang terputus itu membuatku serasa tersudutkan.

Aku membenci sisi lain diriku yang melunak, berkat tebakannya tidak meleset. Jayden seperti peka, hingga kehangatan mulai menyerbu seisi perutku untuk itu. Ini tidak boleh terjadi! Jadi aku bangkit dari duduk, memberikan gestur pengusiran dengan kedua tangan yang menunjuk pintu. "PERGI SANA!"

Jayden dengan santainya menjawab dengan intonasi sedatar papan reklame, "Kalau mau nakal, jangan setengah-setengah!" Matanya mulai berpendar jahil pada tubuhku.

"Aku tid—"

"Kau itu sudah memancing gairahku," potong Jayden cepat.

Dia menarik ujung rok mini berwarna hitam yang kukenakan, dengan kedua telapak tangannya yang besar. Apa-apaan dia ini? Jayden sontak berkomentar, mengapa rok ini pendek sekali harusnya lebih panjang minimal di bawah lutut.

Aku segera menepis lengannya yang kurang ajar, di saat Jayden hanya menyunggingkan senyum ketika aku menatapnya sambil berkaca pinggang. Kesal sekali ya ampun! Kalau diizinkan, aku ingin memukulnya saja dengan stik golf.

"Kurasa, kafe yang kau kelola mendatangkan untung berlimpah..." celetuknya. Kenapa arah pembicaraan, jadi melengceng ke dunia perekonomian yang bersifat personal seperti ini? Mataku mengerjap lebih sering—mencari alasan di balik ucapan Jayden barusan.

Aku bertanya tidak mengerti, "Apa maksudmu?" Karena lagi-lagi, hal tidak terduga datang berhamburan dengan Jayden yang berdecak tidak jelas seperti itu. Kepalanya bahkan menunduk, hanya untuk menyusupkan lengan kiri ke saku belakang jeans hitam tersebut. Mataku senantiasa mengikuti.

"Kau bahkan tidak sadar telah kehilangan sesuatu," Dia mengulurkan sebuah dompet, berwarna ungu pastel dengan jahitan putih rapi pada tepiannya, kepadaku. Refleks menyahut benda tersebut. "Kupikir aku hanya lupa menaruhnya dimana," gumamku setelah tersenyum tipis.

Kemudian berteriak,"KENAPA INI BISA ADA PADAMU!!"

Dia tampak menyeka sudut bibir, sebelum melempar tatapan setajam silet karena tersedak. "Kau itu gemar makan peluit yah? Suara sampai melengking begitu. Sudahlah! Jangan datang ke tempat seperti ini lagi, berbahaya tahu," kata Jayden dengan penekanan bernada ancaman di akhir kalimatnya.

Hah! Pria ini benar-benar mempreteli sisa-sisa kesabaranku. Apa yang di ucapkan itu, terdengar seperti guyonan tidak berdasar, bahaya katanya? Bisa-bisanya Jayden berkata demikian. "Apa lihat-lihat? Kamu penguntit juga yah?" imbuhku curiga. Jayden masih saja tenang, kedua alisnya hanya terangkat tipis sekarang.

Jujur saja, aku itu pemarah. Tidak punya stok kesabaran yang banyak, seperti manusia lainnya. Jadi spontan melontarkan semua terkaan yang melintas adalah hal yang biasa. Hal itu, membuat Jayden tiba-tiba berdiri, membungkukan badannya sejajar.

Menciptakan sapuan hangat dari napasnya ke permukaan wajahku. Pun mata memicing, ketika aroma alkohol beserta harumnya parfum yang ia kenakan—berhembus cepat mencapai indra penciuman. Wajahku mundur ke belakang. "Menurutmu?" singkatnya melempar tanya.

Ya ampun, di sini yang gila sebenarnya siapa?

Jayden hanya memijit pangkal hidung, tanpa menimpali kekesalan lain yang terus keluar dari mulutku. Dia melangkah untuk merapat, hingga membuat ku refleks berjalan mundur ke belakang, tatapan yang mengintimidasi itu terlihat kembali. Astaga! kenapa aku berteriak ke macan yang sedang kelaparan?

"Ayo!" Jayden melontarkan sebuah kata, beriringan dengan semakin terkikisnya jarak di antara kami. Aku bahkan tidak paham dengan ajakan itu, maksudnya apa dan kemana. "Aku gerah Mil!" imbuh Jayden lagi, dengan suara berat seakan berniat menggoda.

Di setiap derap langkah panjang itu, tangannya menggeliat guna menanggalkan mantel panjang yang Jayden pakai—dengan cekatan. Deg! Atmosfer dengan oksigen yang aku hirup ini, mendadak terasa panas. Napasku membalap, semakin tidak karuan saat melihat otot lengannya mulai terekspos.

Aduh kelemahanku mulai terpampang nyata di depan mata, bagaimana ini. Dia terus melangkah

maju, dan bahkan kini telah melepas kasar ikat pinggangnya, aku semakin menggelengkan kepala. "Kumohon Jayden..." Jangan mendekat, tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku dengan gerogi.

"Apa yang kau mohon Kamila? Agar aku melakukannya dengan cepat, begitukah?" Jayden yang menatap seperti orang kelaparan, membuatku menggelengkan kepala pusing. "Baiklah, kalau begitu pemanasan nya sebentar saja," Jay lantas mengangguk setuju—lalu mengiyakan ujarannya sendiri.

Apa sebaiknya aku menutup mata saja? Arrggh! bagaimana ini? Aku susah keluar ruang, karena Jayden memblokir pintu dengan tubuhnya. Kuputuskan untuk menyembunyikan wajah ini baik-baik, di balik telapak tangan. Ramai sekali pacuan jantungku seperti di pasar.

Aku semakin merinding, merasakan aroma maskulinnya semakin merapat. Berhitung dari satu sampai sepuluh, sudah tidak membuahkan hasil apapun. Pergerakan lembut yang di lakukan Jayden ini, telah membuat tubuhku terlumuri dengan gelisah. "Pakailah!" tegasnya kemudian.

Memaksa telapakku menjauh, guna membuka mata bulat-bulat. Ternyata Jayden hanya memasangkan outernya, menutupi tubuhku yang menurutnya berpakaian terlalu terbuka ini. "Terkait dengan dompetmu, aku ingin ditraktir ice cream!" Jayden berusul, sambil mengeratkan kembali gespernya.

"Bukannya cowok yang harusnya mentraktir yah?" satireku dengan spontan mengepak-ngepakan tangan, yang mendadak tenggelam dalam pakaian ini. Jayden kemudian memutar badan, setelah penampilan dirinya rapi. Ekspresi datar itu sukses mengirim kengerian tersendiri.

"Aku kan sudah bilang, pengangguran mana punya uang—buat beli begituan..." lirih Jayden pun berinisiatif mengambil langkah lebih dulu. Kaos putih longgar yang ia pakai, bahkan mencetak lekuk tubuh yang proporsional tersebut.

Seiring dengan langkah yang tercipta dari balik punggung seorang Jayden. Banyak hal ganjil, turut bercokol dalam kerjapan mataku di sepanjang koridor kelab. Dimulai dari adanya, beberapa orang yang menghadang langkah Jayden, secara mendadak.

Kemudian menatapnya nyalang pada kami, bahkan ada wanita asing; yang melemparkan satu buah alat kontrasepsi padaku. Cukup mengejutkan, apalagi ketika lenganku masuk ke dalam kantong kiri mantel milik Jayden ini—ada belati beserta permen peppermint. "Ehm, sebenarnya apa pekerjaanmu Jay?"

Tepat setelah ungkapan diriku terlontar ke udara, Jayden berjalan mundur sebelum membalikkan badanku, menuju pintu darurat di sisi belakang. "Tunggu, pintu keluarnya kan di sebelah sana!" protesku karena merasa aneh, akan tensinya yang tiba-tiba berubah seperti ini.

"Lewat sini, lebih cepat sampai ke minimarket," sangkal Jay, dengan terus menggiring tubuhku menjauh dari lobby utama. Kepalaku masih berusaha menengok ke belakang, sekedar menebak-nebak sebenarnya apa yang Nathan hindari di sana. Terlihat jelas kalau pria ini sedang berantisipasi, akan sesuatu.

"Kau percaya padaku kan?" Jayden kembali meyakinkan langkahku yang spontan, dan menurut-nurut saja ini. Sesuai perkatannya, kita akan pergi ke minimarket dan membeli ice cream bukan? Aku tidak keberatan, karena penasaran bagaimana malam yang begitu pekat ini—berakhir bersama orang lain.

"Ya tentu!" jawabku bersemangat. Jayden membalik badannya sebentar hanya untuk melihat wajahku, dia menganggukkan kepala dengan lucu sebelum tersenyum miring. Punggungnya berlalu dua detik setelahnya, guna memimpin jalan lagi.

Mungkin malam ini akan panjang, dengan debaran yang luar biasa—menguji adrenalin. Dua manusia, mendadak kalut seperti Jayden dengan misterinya. Sementara aku, melangkah dengan segumpal penuh rasa sayang, pada pria yang berjarak ribuan kilometer di belahan dunia lain. Siapa lagi kalau bukan Hito.

Semoga ini bukan jalan yang menyesatkan.

Bersambung...