webnovel

JATUH

'J'angan pernah kau pergi begitu saja setelah kau cukup puas jatuhi rasa. 'A'danya rasa bukan karena aku telah mengenalmu, namun untuk melanjutkan bagaimana aku dan kamu bisa menjadi kita. 'T'eruntuk kamu yang seperti pelangi. Hadir dengan sementara dan semudah itu pergi. Meninggalkan jejak yang tak berbekas dan kau anggap usai tanpa kata. 'U'ntuk hati ini yang pernah kau tanamkan beribu hujaman rindu dan tebaran pesona. Namun kau tinggalkan luka keheningan dengan sebuah sakit yang jatuh seperti hujan. 'H'ati itu ada untuk merasa. Dan jika satu kali sebuah rasa nyaman itu hinggap, hati akan sulit membohongi diri sendiri. Dan hatiku, masih untukmu. J A T U H Dalam maksud yang lain.

oktaviarrk · Teen
Not enough ratings
340 Chs

Pertemuan Kedua

"Akhirnya gue bisa jalan-jalan dulu sejenak." Ujar Nadira pada diri sendiri dengan nada pelan.

Gadis itu telah sampai di ruangan yang ia tuju. Ruangan Brahma, HRD perusahaan ini. Diketuknya pintu ruangan tiga kali. Tidak ada jawaban, yang artinya Brahma tidak ada ditempat.

Nadira masuk begitu saja dan menaruh berkas yang harus ditanda tangani Brahma di atas meja kerjanya. Dengan suasana sunyi Dira keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintunya lagi. Terlintas di pikirannya sejenak bahwa ia ingin menghampiri Lisa sebentar, dan langkahnya menuju ke resepsionis.

"Hai Lisa..." sapanya riang.

Lisa yang menoleh ke sumber suara melempar senyum yang sama riangnya juga.

"Eh Dira.. ngapain kesini?"

"Emm.. aku bosen duduk terus. Lama-lama pinggang sakit. Mataku juga perih pantauin layar komputer terus. Mau ngobrol tapi belum ada temennya. Yaudah aku mampir kesini pas habis naruh berkas di ruangan kepala." Jelas Nadira.

Lisa mengangguk paham. "Istirahat masih 40 menit lagi. Kamu balik lagi aja ke ruang kerja, disini kalau jam kerja usahain jangan mampir-mampir.." ujar Lisa memberitahu.

Nadira berpikir sejenak dan langsung merasa bersalah dengan menunjukkan mimik wajah yang gelisah. Lisa didepannya terkekeh pelan.

"Gapapa Dira jangan dipikirin banget. Memang gak ada yang ngawasin. Namun, kamu tau kan ini dunia kerja.. jadi kalau jam kerja ya lakukan saja.. kalau hari sabtu disini baru bisa bebas. Karena hari sabtu itu santai."

"Oh gitu ya.. emm makasih ya Lisa udah ngasih tau. Aku balik dulu ke ruang kerja."

Lisa mengiyakan disertai senyum khas seorang resepsionis.

Dira sengaja memperlambat langkah kakinya. Maklumi saja, ia baru pertama bekerja dan sekarang bisa merasakan apa yang namanya capek dan bosan saat bekerja. Dira hanya ingin berjalan-jalan untuk meregangkan otot-otot di tubuhnya karena merasa kaku akibat duduk terlalu lama tanpa berdiri sesekali.

Gadis itu kembali melewati ruangan HRD dan ruangan Diani. Dapat dilihatnya sekilas dari kaca jendela yang bening, di dalam ruangan Diani sedang serius menatap layar laptopnya sembari mengetikkan sesuatu yang Dira pikir perempuan itu sedang mengetik sesuatu yang panjang.

Dira mendesah, "ya udah lah namanya juga kerja. Wajar aja kalo gue udah ngerasa bosen. Baru juga hari pertama. Nunggu jam 11 aja lama banget.." gerutunya pelan.

Hendak ia akan berbelok menuju ruangannya sendiri ternyata tubuhnya menabrak seseorang yang akan keluar dari ruangannya. Dira terjatuh, merasakan pergelangan kaki kirinya sakit dan pundak kiri juga sakit akibat tertabrak seseorang itu.

"Auh! Aaahh.. aduh.." ringisnya kesakitan.

Seorang lelaki yang tidak sengaja menabraknya itupun berjongkok dan mulai melontarkan kata-kata minta maaf.

"Duh maaf.. maaf ya saya gak sengaja.. tadi buru-buru karena cari berkas baru nggak ketemu. Kamu gapapa? Bagian mana yang sakit?" Tanya lelaki itu merasa bersalah.

Dira mendongak, menatap mata coklat terang yang tajam seperti elang. "Duh.. sakit sih kaki ku sakit banget yang kiri.." keluh Dira.

Lelaki itu mencoba memegang kaki kiri Dira untuk melepas flat shoes gadis itu. Namun Dira mengerang saat kakinya hendak diluruskan.

"Aahh auh.. sakit banget. Kayaknya aku keseleo deh.." ujarnya menahan sakit sambil menggigit bibir bawahnya.

"Apa ini? Ada apa? Dira? Kamu kenapa kok sampai jatuh?" Tanya Karina yang muncul dari dalam ruangan.

Beberapa orang di dalam juga melihat kejadian dan ingin membantu, namun Karina berbicara pada mereka bahwa sudah tidak apa-apa dan tidak perlu ramai-ramai meributkan.

"Gimana sih Saa.. ah kasian dia lo tabrak. Badan lo kan keras. Lihat-lihat dong kalo mau keluar ruangan." Ujar Karina sedikit membentak lelaki yang menabrak Dira.

"Ya mana gue tau sih. Gue tadi buru-buru nyari berkas baru yang baru dikirim lewat faximile. Tapi gue gak nemuin dari tadi. Itu juga katanya ada admin umum baru kenapa dia gak ada di tempat? Nih gue baru nemu ternyata jatuh di bawah meja. Ceroboh banget tuh admin baru main tinggalin meja kerja dan nggak ngurusin berkasnya." Gerutu lelaki itu sangat kesal karena berkas yang dicarinya lumayan penting menyangkut rapat.

Nadira terdiam begitu juga Karina. Lelaki itu belum tahu bahwa yang ia tabrak adalah admin baru yang ia maksud.

"Aaiishh udah-udah lo tuh abis nabrak orang jangan malah ngomel gajelas dong. Gitu aja kalo udah ketemu yaudah. Sekarang bantuin ini temen gue yang lo tabrak bawa dia ke ruangan kesehatan." Perintah Karina.

"Iya-iya gue tanggung jawab. Lo sibuk apa? Gak bisa temenin gue bantuin dia?"

"Gak bisa Asaa.. gue ada kerjaan. Maaf ya Dira, kamu diantar dia ke ruang kesehatan berdua aja gapapa kan?"

Dira yang sedari tadi hanya diam sambil menahan sakit hanya mengangguk pasrah.

Lelaki itu agak bingung setelah Karina meninggalkan mereka berdua di depan pintu ruangan admin.

"Sini saya bantu berdiri. Bisa berdiri kan?" Tanya lelaki itu lembut.

Nadira mengangguk. "Agak sakit mas.."

Dira berusaha berdiri dengan lelaki yang membantu memegang pinggang dan tangannya dengan erat. Dan gadis itu bisa berdiri lalu dituntun pelan-pelan dengan berjalan tertatih menuju ruang kesehatan.

Lelaki itu mendudukan Dira dengan pelan lalu buru-buru menuju rak obat dan mengambil minyak urut.

Dira masih meringis karena kakinya sangat sakit sekali.

Lelaki itu menghampirinya dan mulai melumasi pergelangan kaki Dira dengan sedikit minyak urut. "Maaf, saya pijat sedikit gapapa? Biar rasa sakitnya berkurang. Saya bisa pijat kaki keseleo gini kok, tapi tahan saitnya ya.." ujar lelaki itu.

Dira hanya bisa mengangguk dan menurut. Selama pijatan berlangsung Dira hanya mampu menggigit bibir agar tidak berteriak karena betul-betul sangat sakit. Hampir 10 menit dan lelaki itu berhenti memijat, namun kemudian kaki Dira malah sedikit ia tarik sampai berbunyi kecil.

"Aaww.. ahh sakit.." erang Dira.

Lelaki itu masih diam dan tangannya berhenti. "Lurusin aja kaki kamu dulu. Saya mau cuci tangan sebentar."

Dira memandang kakinya nanar, dalam hati ia mengeluh kenapa bisa keseleo segala hari ini. Benar-benar sebal rasanya.

"Ah, kayaknya gue gak asing sama cowok itu deh. Kayak pernah ketemu, tapi dimana ya.." guman Dira pelan.

Lelaki tadi kembali dan duduk di depan Dira yang kakinya di luruskan. "Gimana? Coba gerakan kakimu."

Dira menurut, digerakannya kaki kirinya perlahan.

Tidak sakit. Sama sekali tidak sakit lagi. Dan Dira tersenyum lega.

"Aduh makasih ya mas.. maaf ngerepotin pijat tadi. Maaf juga saya nggak lihat-lihat pas nabrak tadi. Maaf menyita waktu buat disini.." ujar Dira sungkan.

Lelaki itu menggaruk tengkuknya gugup. "Ah gapapa.. udah tanggung jawab saya karena nabrak kamu terlalu keras sampai kamu jatuh begitu. Jangan minta maaf begitu ya, santai aja.. tapi sudah baikan kan?"

"Iya udah gak sakit. Sekali lagi makasih.." ucap Dira dengan tersenyum ke arah lelaki itu.

Lelaki itu tersentak agak kaget. "Kamu?"

Dira mengernyit. "Aku? Aku kenapa?"

"Kamu yang di mall itu kan? Di toko buku? Numpahin es krim ke kemeja ku dan panggil aku 'pak'?" Tanya lelaki itu saat menyadari wajah Dira yang tersenyum tadi mengingatkannya dengan pertemuannya dan Dira di mall.

Dira kaget dan sedikit membelalakan matanya. 'Heee? Apa? Mati gue. Ganteng-ganteng gini gue waktu itu panggil dia pak? Hanjir gue bener-bener lupa dia laki-laki yang waktu itu. Pantesan kerasa familiar banget. Duh gue harus gimana niiihhh><'

"Halooo kok diam sih?" Tanya lelaki itu.

"Ah.. anu.. maaf ya maaf gak sopan waktu itu. Duh jadi gak enak ketemu lagi kayak gini."

Lelaki itu terkekeh kecil. "Haha gapapa santai aja. Namaku Angkasa, di panggil Asa. Nama kamu siapa?"

"Emm.. aku Nadira. Nadira Aisyah. Di panggil Dira aja." Balas Dira yang kali ini agak santai.

"Kamu kerja disini juga ternyata? Kok baru tau ya aku.."

"Emm iya mas. Baru hari ini kok, ini hari pertama." Jawab Dira agak gugup.

"Loh baru hari ini toh? Di bagian apa?"

"Emm.. itu.. di administrasi umumnya."

Jawaban Dira membuat Angkasa tersentak. Ia sadar bahwa tadi ia sempat mengomel dan mencibir admin baru yang ia maksud itu. Dan ternyata orangnya adalah orang ia tabrak.

Melihat wajah Angkasa seperti memikirkan sesuatu, Dira seperti tahu apa sesuatu tersebut.

"Gapapa mas santai aja, omelan mas tadi wajar aja karena tadi saya emang ninggalin tempat kerja sebentar."

"Oh. Ah iya.. maaf ya.. oh iya, sapu tangan kamu saya bawa ada di tas, nanti pas pulang kerja aja ya saya kasihkan.." ujar Angkasa.

"Ah itu.. iya gapapa."

Asa melirik arlojinya, pukul 11 tepat. "Gak terasa disini kita lama banget. Udah waktunya istirahat. Yuk keluar.."

"Iya.."

Mereka berdua keluar dengan menahan perasaan gugup masing-masing.

"Ya udah sampai ketemu nanti sore ya Dira.."

"Ah iya mas.."

Dalam hati Dira merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia pernah memanggil Asa dengan panggilan 'pak' terhadap laki-laki yang lumayan tampan seperti dia. Ah tapi Dira waktu itu memang merasa kalau Asa setua itu karena ada brewok tipis di dagu lelaki itu yang membuatnya terlihat berumur.

**

"Nah Dira, ini kantin belakang. Kami biasa makan bareng disini. Masakan ibu kantin disini dijamin enak dan sedep deh.. beda dari kantin depan." Ujar Lisa memberitahu.

"He.em iya bener tuh yang dibilang Lisa. Kamu bakal ketagihan makan disini Dir.. apalagi nih ya kalo ibu kantin lagi masakin capcay. Enak banget deh pokoknya." Tambah Karina bersemangat.

Dira ditemani tiga orang teman barunya di kantor ini. Karina, Lisa, dan Dinda. Mereka berempat memesan menu yang sama dengan minuman yang berbeda. Duduk dalam satu meja dan saling berhadapan.

"Oh iya, aku belum kenalan nih sama temannya mbak Karin." Ujar Dira membuka pembicaraan setelah menu baru datang.

Karina tersenyum ramah. "Ah iya kalian kenalin aja ini temen ku yang paliiiiingggg the best."

Dari cara Karina bilang seperti itu, Nadira sudah merasakan bahwa mereka memang sahabat dekat dari lama.

"Kenalin, namaku Adinda Dwi Prasetya. Panggil aja mbak Dinda yaa.." ucap Dinda tak kalah ramahnya seperti Karina.

Dira tersenyum juga dan membalas uluran tangannya dan juga memperkenalkan dirinya lagi.

"Senang banget bisa kenalan sama kalian. Mbak Karin, mbak Dinda, Lisa.. semoga aku bisa jadi teman kalian ya.." ujar Dira.

Ketiganya tersenyum hangat disertai kekehan kecil. "Tentu.." ucap ketiganya bersamaan.

"Kalo boleh tau, mbak Karin sama mbak Dinda ini seumuran ya? Udah kerja disini berapa lama?" Tanya Dira ingin lebih memahami mereka.

"Oh gini Dira, aku sama Dinda seumuran kok.. kita udah kenal pas SMA. umur kita sama-sama 23 tahun, kerja disini udah 3 tahunan." jelas Karina. Sementara Dinda memilih menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia setuju penjelasan Karina, karena ia sedang mengunyah makanannya.

"Oh gitu.. Kalian bener-bener sahabat sangat dekat ya?" Tanya Dira lagi.

"Santai aja nanyanya. Gapapa tanya aja sesuka kamu Dira. Iya kita kenal semenjak SMA. Cuman dulu gak sedeket ini Dir.. baru pas kita satu tempat kerja dan ternyata satu bidang, jadilah aku sama Dinda deket banget dan sahabatan sampe sekarang.." Jawab Karina.

Dira mengangguk paham dan perasaannya senang di hari pertama sudah berkenalan dengan orang-orang yang supel dan ramah.

"Kalo Lisa? Udah lama disini?" Tanya Dira yang kali ini pada Lisa.

Lisa menggaruk tengkuknya gugup. "Ah belum lama sih. Seperti yang aku bilang tadi, aku baru disini. Baru kerja sebagai resepsionis ada sekitar setengah tahun ini. Aku juga baru akrab sama mbak Dinda dan mbak Karin beberapa bulan lalu." Jelasnya.

"Oh gitu ya.."

"Iya Dira. Aku juga seumuran kamu kok. Umur 21 tahun." Ujar Lisa memberitahu.

"Loh, lulusan D3 juga?" Tanya Dira kaget.

"Ah enggak, aku lulusan SMK jurusan administrasi. Udah pernah ngalamin nganggur selama 1 tahun lebih gara-gara gamau dipaksa kuliah. Dan singkat cerita aku ketemu sama guru sekolahku dulu dan ya, aku diberitahu lowongan disini yang nyari resepsionis. Juga pas aja interviewnya langsung tes skill. Jadilah aku ketrima. Hehe.." jelas Lisa malu-malu.

Nadira tercengang mendengarnya, ternyata ada yang malah tidak kuliah sama sekali dan bisa bekerja sebagai resepsionis berpenampilan cerdas seperti Lisa ini. Rasanya beruntung ia bertemu dengan teman-teman baru di dunia kerja yang akan ia tekuni karirnya hingga hari-hari kedepannya berlanjut.

**

Matahari kini mulai malu menampakkan dirinya. Dia mulai lelah memancarkan sinarnya seharian. Perlahan ia menenggelamkan diri, membuat langit senja menjadi indah dengan perpaduan warna yang ditunjukkan sang alam.

Burung-burung beterbangan menuju sangkar masing-masing. Mengakhiri usahanya mencari makanan dan menjadi penghuni udara. Kembali bersama rombongan mereka dan berkumpul menjadi satu di suatu tempat nyaman mereka.

Pasir yang berada di pinggir jalan raya masih sembab. Jalanan aspal juga masih basah dan sedikit mengkilap. Jakarta baru saja dikaruniai hujan, yang berupa derai air rintik-rintik yang sering orang sebut sebagai gerimis.

Dan, bau ini sangat disukai Nadira. Bau petrichor, bau tanah kering yang basah karena hujan. Apalagi saat dihirup saat senja seperti ini. Dira sangat menyukainya. Rasanya ia seperti menghirup bau desa dan suasana nyaman.

"Belum pulang?"

Dira agak tersentak kaget mendengar suara orang bertanya yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya berdiri.

"Eh mas Asa? I-iya belum dijemput." Jawab Dira gugup.

Angkasa menarik senyumnya sedikit sambil merogoh sesuatu di saku kemejanya. Lalu ia sodorkan kepada Dira. Sebuah sapu tangan biru muda.

"Ini, sapu tangan kamu kan. Ada rajutan huruf A disana."

"Ah iya makasih."

"Boleh tanya?"

"Boleh, apa mas?"

"Kok rajutannya hurufnya disitu A? Kenapa bukan N atau D?"

"Idih pengen tau banget ya? Hahaha.."

"Nggak boleh yaaaa?" Tanya Angkasa sedikit menggoda.

Nadira agak terkekeh dibuatnya. "Huruf A itu Aisyah. Ini dirajut sama nenek. Nenek lebih suka aku dipanggil Aisyah daripada Nadira." Jelas Dira.

"Loh kenapa?"

"Tuh kaaann pengen tau lagi. Mas Asa suka kepo ya ternyata..hahaha.."

"Ah, maaf gak bermaksud pengen tau kelanjutannya. Refleks aja, yah namanya manusia punya rasa ingin tau terus kan.." ucap lelaki jangkung itu.

"Emm iya."

Angkasa diam sebentar, mencari topik lain agar suasana antara keduanya hangat.

"Gimana? Kakinya udah gak sakit? Maaf ya gak sengaja nabrak tadi." Ujar Angkasa.

"Ah iya gapapa mas jangan minta maaf lagi. Kan mas udah tanggung jawab, kakinya juga udah gak sakit sama sekali. Makasih."

"Emm sama-sama, syukurlah udah gak sakit lagi. Dijemput ya?"

"Iya mas. Mas sendiri?"

"Aku naik kendaraan sendiri lah. Masa iya aku masih minta jemput Mama.. haha ada-ada aja."

"Hehe ya siapa tau gitu."

"Dijemput siapa?"

"Abang aku. Agak molor sih, di sms dia bilang masih konsultasi judul presentasi tugas sama dosennya." Jelas Dira jujur.

Dan dari situ, Angkasa tahu satu hal. Gadis disampingnya bukan sembarang gadis biasa. Gadis disampingnya memprioritaskan kejujuran. Dan mulai detik itu mata Angkasa sulit mengalihkan pandangannya dari gadis yang kini berdiri menunggu jemputan dari kakaknya.

Obrolan mereka tetap berlanjut. Seperti tidak ada yang mengusik, seperti tidak ada yang berani menyela, bahkan suara deru kendaraan di hadapan mereka pun terasa sangat samar. Dan, tidak ada yang bisa menghentikan tawa keduanya.

Saat itu.

Tempat itu.

Pertemuan itu.

Hingga kedekatan singkat itu.

Nadira merasa dirinya tidak akan menyadari, akan ada sesuatu yang terjadi di kehidupan manisnya. Sesuatu cerita yang panjang. Yang bermula dalam kisahnya sendiri.

Dan, tidak ada yang bisa menghentikan itu.