webnovel

Laporan

Lana dan Galang saling bertatapan. Mereka kompak menelan ludah mereka sendiri bersamaan. Kalau Nanda sudah memberikan maklumat begitu, lalu bagaimana mereka akan melaporkan perihal perkara semalam? Mereka kan memang sudah gagal.

Gilang merangkul Nanda dengan ekspresi yang sudah bisa dibaca Nanda. Dengan sigap, Nanda menahan rangkulan itu dan berbalik menghadap Lana dan Gilang.

"Gue tau nih. Bau-bau gagal kan?"

Lana menghela napasnya perlahan, sedangkan Gilang cengar-cengir tak jelas. Nanda sudah tahu. Tertebak dengan mudah dari kelakuan mereka berdua.

"Kali ini kenapa gagalnya? Coba beri gue alasan yang bagus biar lo berdua gak gue pecat dari status sahabat."

"Yah, jangan dong. Kalo di pecat dari status sahabat, kita turun jadi rank apa dong?" tanya Gilang dengan wajah lucunya.

"Temen. Just Friend without Best."

"Ah, jangan lah begitu Nan."

"Ya terus? Kasih gue alasannya sekarang."

Lana maju. Ia tidak membiarkan Gilang yang menceritakannya. Yang ada malah makin rumit nantinya.

"Jadi gini Nan. Kemarin gak lama lo pergi, di situ gerimis. Kita masih usaha mantau tapi gak lama karena ya mau gimana? Kalo kita di sana terus kita bisa keujanan karena ujannya makin gede. Di antara kita kan gak ada yang bawa payung atau paling gak tempat neduh deh. Jadi, kita mutusin buat balik aja karena gak ada tanda-tanda dari si cewek itu."

Nanda memicing. Ia ingin ragu tapi tidak bisa karena memang kondisinya semalam gerimis dan ia merasakannya juga. Dengan berat hati ia mendengkus dan memaafkan mereka begitu saja.

"Ya udah deh gak apa-apa. Tapi nanti kalo ada info lagi, tolong mata-matai dengan benar. Biar makin cepet terungkapnya."

"Pasti Nan. By the way, itu gimana si Nayla? Udah baikan dia? Gak masuk lagi ya?"

"Mana gue tau, emang gue emaknya."

"Loh, bukannya lo kemarin pergi duluan karena mau ketemu Nayla?"

Nanda tertegun. Kenapa bisa Lana tau apa yang ia lakukan setelah dari sana?

"Gue tau karena gak sengaja lihat lo chat dia semalem. Ini gak sengaja lihat ya, beda sama ngintip."

Nanda menghela napas perlahan. Ya sudah biar saja semua tahu apa yang ia lakukan semalam. "Iya, gue emang ke sana. Cuma mau mastiin kalo dia baik-baik aja. Minggu depan udah mau olimpiade. Kalo dia sakit gue yang repot."

"Iya deh. Tapi persiapannya udah mateng?"

"Lumayan. Tinggal sekali lagi bimbingan."

"Hari sekolah kan?"

"Ya iyalah. Kamis besok gue bimbingan terakhirnya. Kenapa?"

Lana berpikir. Mungkin mereka bisa mengajak Nanda memantau Nina Sabtu besok. Pas sekali kan ia sudah selesai bimbingan, jadi seharusnya tak ada alasan lain lagi.

"Jadi, Sabtu besok bisa ni ya kita mantau Nina? Lo kan dah beres bimbingan tuh. Tinggal lombanya aja kan?"

Nanda berpikir. Seharusnya memang bisa. Akan tetapi dirinya butuh mencari bekal tambahan lagi dengan Nayla.

"Kayaknya gak bisa deh. Gue lomba kan Seninnya. Lagian besok bimbingannya bakal kepotong jam konseling kan yang tiba tiba itu?"

"Iya ya. Pak Hendra kan kemarin bilang besok kita ada konseling dadakan." sahut Gilang yang sedari tadi hanya diam. Mungkin ia masih memikirkan Feby?

"Gue kira lo jadi patung, Lang. Dari tadi diem aja soalnya." celetuk Nanda dengan nada jenaka.

Lana memperhatikan. Tak butuh waktu lama ia menerka bahwa Gilang sedang memikirkan Feby dan akhirnya diakui oleh Gilang sendiri. Rupanya ia galau perihal hubungan.

"Udahlah gak usah dipikirin terus kalo emang mau dilupain. Kalo lo mikirin terus, ya sampe kapan pun lo bakal inget dia."

"Ngomong si gampang, Lan. Coba lo yang rasain sendiri."

Lana mengangguk. Pikirnya betul juga. Tapi sebenarnya ada yang tidak diketahui kedua temannya. Sebuah rahasia yang bisa membuat mereka bertiga bertengkar hebat.

Nanda beranjak dari sana dan beranjak untuk membeli minum. Sebelum itu, ia sempat melihat Nayla datang dengan sedikit lesu dan Nanda malah beralih menghampirinya.

"Kenapa muka lo kusut begitu? Ini masih pagi kali."

Nayla menghela napasnya kasar. Ia langsung masuk ke kelas dan duduk di bangkunya. Kepalanya ia tangkupkan di atas tas yang sudah ia letakkan di atas meja.

"Hei, lo kenapa?"

"Pergilah Nanda. Gue lagi gak mood."

"Iya tapi kenapa? Ceritalah sama gue. Biar pun gue gak tau bisa bantu apa gak, yang jelas beban lo jadi berkurang."

Sekali lagi Nayla menghela napasnya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Nanda serius. Tak ada salahnya bercerita, 'kan?

"Kita harus menang di olimpiade Senin besok, Nanda. Ibu kesulitan membayar biaya sekolah gue."

"Bukannya lo dapat beasiswa?"

"Iya tapi cuma setengah. Dan bulan ini ibu kesulitan bayar setengah biaya SPP nya. Makanya gue cuma bisa andalkan hadiah olimpiade itu. Kepala gue terasa mau pecah. Ibu juga baru bilang tadi pagi sedangkan tenggat waktu spp gue minggu depan hari Jumat. Udah gak ada waktu lagi kalo gue mau cari kerja sampingan."

Nanda berpikir. Di mana Nayla bisa bekerja dengan rentang waktu hanya seminggu dan mendapat uang lumayan banyak? Ia memutar otaknya dan akhirnya ada satu ide masuk ke dalam kepalanya.

"Mau gak gue kasih alternatif?"

"Apa?"

"Lo jadi asisten gue. Nanti gue gaji kok. Dua minggu dapet setengah biaya SPP. Gimana? Lo juga gak perlu capek soalnya gue cuma bakal butuh bantuan lo selama di sekolah aja, terlebih jam istirahat dan jam pulang."

Nayla mendengung. Ia memperhatikan sikap Nanda yang agaknya ia curigai. Pasti ada udang dibalik bakwan, itu batinnya. Dari pada menimbulkan praduga, lebih baik ia bertanya saja.

"Maksud lo gue jadi babu lo di sekolah selama dua minggu dan lo bakal kasih gue setengah biaya SPP? Lo gak ngibul kan?"

Nanda tertawa geli mendengar ucapan Nayla. Gemas sekali rasanya sampai ia ingin mencubit pipi gembil itu kuat-kuat.

"Gue? Ngibul? Haha.... Ya gak lah. Gue gak bilang lo jadi babu gue ya, gue bilangnya lo jadi asisten gue. Mau gak nih?"

"Iya gue mau! Kapan lagi emangnya gue bisa dapet setengah biaya SPP dengan cuma kerja dua minggu doang."

"Nah, tuh lo pinter. Tumben itu otak berguna."

"Sial lo!"

Nanda mengambil posisi. Ia duduk di depan bangku Nayla yang sedang sibuk mengeluarkan buku mata perlajarannya yang lumayan banyak dan tebal tebal. Pundaknya sampai terasa sakit.

"Lo udah sarapan belum? Gue ada coklat ni." tawar Nanda sambil menjulurkan coklatnya dari kantung celananya.

"Sarapan kok coklat? Lo mau bikin gue diabetes?"

"Yeh, coklat bagus buat balikin mood lo yang jelek. Udah ni makan. Gue mau balik ke kantin. Ntar gue bawain roti buat lo."