webnovel

Linglung

Bia menyimpan dompet berisi selongsong peluru itu di lemari dekat ranjang Cherry. Sepertinya dia tidak begitu tertarik dengan benda yang terlihat sepele itu. Cherry masih belum sadarkan diri sejak ia ditemukan pingsan di halaman rumahnya.

"Bi...bisa keluar sebentar, Cherry harus diperiksa oleh dokter," pinta Mami.

"Ya....panggil aja, kalo butuh sesuatu Mi," pesan Bia sebelum ia meninggalkan ruangan itu.

Dokter memeriksa kondisi Cherry. Sepertinya, ekspresi yang tidak begitu diinginkan oleh Mami. Sedari tadi, dokter hanya bergeleng setelah memeriksa Cherry secara fisik.

"Gimana, dok?"

"Saya bingung, harus berkata apa."

"Maksudnya?"

"Jantungnya sangat lemah. Mending bawa ke rumah sakit. Sebelum terlambat."

Mami menangis sejadi-jadinya begitu penjelasan dokter selesai. Ketakutan Mami akan kehilangan bayi mungil Valdi saja belum hilang, sekarang putri kandungnya, anak satu-satunya sedang meregang nyawa. Papi segera berlari mendengar tangisan Mami dari dalam kamar Cherry, juga Bia yang segera mengikuti langkah Papi.

"Pi...bawa Cherry ke rumah sakit, sekarang!"

Tentu saja, lagi-lagi Bia yang menggendong Cherry ke dalam mobil. Sudah lebih dari tiga kali, Bia melakukan hal yang sama untuk Cherry. Jarak yang begitu dekat, membuatnya semakin yakin, bahwa telah tumbuh bibit-bibit cinta di hatinya kepada Cherry.

"Bi....please, ini bukan waktu yang tepat untuk itu!" batinnya sambil berusaha mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh di tengah keramaian ibu kota.

Mereka tiba tepat waktu, Cherry segera mendapat penanganan dari dokter terbaik di rumah sakit itu.

"Cher...Cher.... kenapa sih kamu sering buat jantung Papi dan Mami serasa mau copot begini."

Mami dan Papi terlihat lebih lega setelah mendengar penjelasan dokter, bahwa Cherry sudah melewati masa kritisnya. Sepertinya kondisi Papi tidak cukup kuat untuk menunggu Cherry hingga ia sadar. Mami menemani Papi pulang, sedang Bia dengan setia mendampingi Cherry di ruangan dingin itu.

"Heran gue....kenapa gue bisa suka sama orang kaya elo, Cher! Gadis garang yang manis!" gumamnya.

"Mungkin kalo gue bukan anak Papi, udah gue pacarin elo."

***

"Kenapa dengan gue? Kenapa gue berbaring di rumah sakit? Tadi kan gue lagi nemenin Goldi di hutan sana."

Cherry bisa melihat raganya yang terbaring tidak berdaya dengan berbagai selang yang menempel di dadanya. Kondisi yang sangat memprihatinkan. Cherry berlama-lama menatap dirinya sendiri, tanpa berkomentar. Begitu dokter jaga datang, barulah dia sadar, bahwa ada Bia di sudut ruangan yang sama dengan dirinya.

"Ada perkembangan apa, mas?" tanya dokter pada Bia.

"Belum dok, Cherry masih sama seperti sebelumnya. Belum ada tanda-tanda dia bergerak."

"Baik, tidak masalah. Kita hanya butuh waktu, sabar aja. Terus berdoa, seharusnya ini sudah bukan masa ktitisnya. Terus ajak dia ngobrol, dia bisa menangkap semua ucapan kita, hanya saja, dia belum bisa mengekspresikannya."

"Baik, dokter."

"Bia? Dia nungguin gue sadar? Dimana Mami sama Papi, sebenernya gue kenapa?" gumam Cherry.

"Disaat gue dalam puncak dendam dan rencana balas dendam ini, kenapa lo malah baik ke gue. Bi...Bi, harusnya lo ga pernah hadir dalam keluarga gue!"

Jiwa yang terlepas dari raganya. Membuat Cherry takjub sekaligus leluasa untuk bergerak. Dia menikmati masa-masa ini. Ini adalah hari ke tiga, Cherry belum sadarkan diri. Selama dia koma, jiwa Cherry menelusup kesana kemari tiada henti. Ada kalanya ia di hutan tempat Goldi berdiam untuk selamanya, ada kalanya ia kembali ke rumah sakit, tempatnya terbaring.

Suatu saat dia melihat seseorang berjubah hitam di samping tubuh Goldi yang sudah membusuk.

"Siapa kamu?"

"Aku akan menjemputnya pulang. Sudah saatnya dia berpisah!"

"Apa maksudmu?" Cherry tidak mengerti maksudnya.

"Dia sudah beda alam denganmu. Barangkali, saatmu juga sudah dekat."

"Beda alam?"

"Hahaha....."

"Jangan asal bicara! Dia adalah kekasihku. Kami akan segera menikah!"

"Dasar gadis yang mengerikan. Kamu yang sudah membuatnya begini, tapi belum sadar juga. Kamu adalah pembunuh. Jiwamu sudah dikendalikan oleh roh jahat!"

"Tidak! Kamu bohong! Aku ga mungkin membunuh Goldi. Dia adalah calon suamiku. Aku mencintainya. Ga mungkiiiin!" Cherry berteriak.

Seketika itu juga, sang jubah hitam membawa jiwa Goldi untuk ikut bersamanya, Cherry terbangun. Dia berkeringat, membuat seluruh baju yang menempel di tubuhnya menjadi basah. Bia yang berada di ruangan itu kaget sekaligus heran.

"Cherry!" ujarnya seraya menghampiri dan memeluknya tanpa sengaja, mungkin sebagai ekspresi kegembiraannya.

Cherry yang masih sulit membedakan antara dunia nyata dan dunia lainnya, tidak merespon pelukan Bia. Dia masih dalam posisi duduk dengan masker oksigen yang berada di hidungnya serta kabel-kabel yang menempel di dadanya. Bia segera memencet tombol emergency untuk memanggil dokter.

"Luar biasa sekali. Bagaimana Cherry bisa langsung duduk ketika dia baru sadar dari komanya?" tanya dokter terheran-heran.

"Tiba-tiba saja dia bangun dan berteriak. Seolah dia baru bangun dari tidurnya dan bermimpi buruk. Lihat aja bajunya yang basah kuyup," jelas Bia.

"Benar. Ini aneh sekali. Jarang ada pasien koma dan langsung terbangun dalam posisi duduk. Mungkin dia baru saja melewati dunia lainnya, yang tidak kita mengerti," jelas dokter.

"Apa Anda percaya yang demikian?"

"Tentu saja. Ini sering sekali terjadi."

Dokter menyatakan Cherry tinggal pemulihan kesehatan. Masa kritisnya sudah benar-benar berlalu. Namun, terkadang Cherry tampak seperti orang yang linglung. Dalam sehari dia bisa lupa dengan dirinya sendiri, apa yang sudah terjadi, bahkan dia sering berhalusinasi tentang masa depannya dengan seorang pria yang di cintainya.

"Dimana gue?"

"Lo masih di rumah sakit, Cher!"

"Gue udah sehat, gue ga sakit lagi. Elo siapa?" tanyanya.

"Gu..gue....Bia."

"Bia? Emang gue kenal sama lo?"

"Ya....kita saling kenal."

"Lo suami gue?"

Tiba-tiba Papi masuk.

"Cherry, apa kamu lupa siapa ini?" tanya Papi sambil memegang pundak Bia.

"Siapa, Pi?"

"Bia itu.....dia orang yang sangat menyayangi kamu. Dia selalu ada buat kamu. Kalian belum menikah. Apa kamu ingat, sekarang?"

"Dia yang ngasih cincin ini, kan, Pi?"

"Iya, itu aku!" sahut Bia.

"Bia.... apa-apaan kamu!" sela Mami.

Bia memanfaatkan situasi itu. Dia memang menyukai Cherry, bukan sebagai kakaknya.

"Kamu itu saudaraan sama Cherry!" tegas Mami.

"Tapi, belum ada buktinya juga kan, Pi."

Mereka semua diam. Mungkin ini adalah waktu yang cukup sulit bagi satu sama lain untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Bisa saja, Bia tidak ada hubungan darah dengan Wilson. Artinya, sah-sah saja jika Bia menyukai Cherry dan sampai akhirnya mereka menikah. Atau, jika kebenaran bahwa Wilson memang ayah biologis Bia, ini artinya, dia benar-benar mengkhianati pernikahannya dengan istrinya. Pernikahan mereka akan hancur. Cherry akan menjadi korbannya. Parahnya lagi, kebenciannya pada Bia dan Papi akan berlanjut. Dia benar-benar punya alasan yang kuat untuk membeci Papinya.

"Cher, kamu harus banyak istirahat. Tidurlah, kami akan tunggu di luar," sela Mami.

"Iya, Mi."

***

"Pi...maksud Papi, ngomong begitu ke Cherry apa, Pi?"

"Ya, biarin aja kalo mereka saling suka, Papi kan bilang, kalo Bia itu bukan anak kandung Papi."

"Tapi, Mami masih ragu, kalau Bia itu emang bener-bener anak Papi."

"Ya Tuhaaaan! Mami!"

"Kalo gitu, ajak Mami temui wanita itu!"

"Siapa?"

"Ibu kandungnya Bia. Wanita selingkuhan Papi!"

"Mi! Jaga bicaramu! Jangan asal."

"Kalo emang Bia bukan anak kandung Papi, Mami minta, bawa Mami ketemu sama wanita itu, segera!"

Papi tidak mengiyakan, namun juga tidak menolaknya. Antara takut dan ragu. Jika benar, fakta bahwa Bia memang adalah anak biologisnya, maka.rumah tangga yang sudah ia bina selama puluhan tahun, akan hancur begitu saja. Namun, jika nyatanya memang tidak ada kecocokan antara Papi dan Bia, Papi menyimpan rahasia besar, bahwa dia sempat punya hubungan spesial dengan wanita itu. Bahkan sempat tidur dengannya. Itu adalah salah satu hal yang membuatnya tidak pernah mau tes DNA.

"Pi, Papi takut?"

"Takut? Apa yang perlu ditakuti, Papi ga salah! Ayo kita ke Surabaya. Papi akan atur waktunya!"

Bergetar hati Papi, mengiyakan kemauan istrinya. Ada rasa takut dan was-was di hati kecilnya. Rasa yang sama juga menyelimuti perasaan istrinya. Dia takut semua kebenaran yang selama ini di ragukan terkuak. Namun, bagaimana pun juga, kebenaran itu harus segera dibuktikan. Tidak peduli seburuk apa pun akibatnya nanti.

"Papi serius?" tanya Bia.

"Iya, Papi serius, pesankan tiket ke Surabaya akhir minggu ini untuk Papi sama Mami. Kamu tetap di rumah selama kami pergi. Papi nitip Cherry."

Sesuai instruksi Papi, Bia membooking pesawat untuk penerbangan hari Minggu, jam 2 siang. Sebenarnya, dalam lubuk hatinya, dia senang akan keputusan Papi. Apapun hasilnya, Bia akan menganggap Wilson sebagai ayahnya. Terlepas ada hubungan darah atau pun tidak.

"Udah, Pi."

Tiba-tiba, Papi memeluk Bia dengan erat. Seketika, Mami membuang muka dan segera pergi meninggalkan mereka berdua.

"Huh, gimana aku ga panas liat Papi begitu. Udah jelas-jelas kayak gitu, masih mau mengelak?" gumam Mami sambil masuk kamar Cherry.

"Cher, kenapa? Ga bisa tidur?"

"Iya, Mi. Cherry kepikiran sesuatu. Mi, tolong jawab jujur ya."

"Nanya apa?"

"Akhir-akhir ini, Cherry sering mimpi aneh. Cherry di hutan menemui seorang laki-laki, sepertinya Cherry sangat deket sama dia, tapi, Cherry ga tau siapa dia. Kadang dia minta tolong, kadang nangis manggil Cherry. Terakhir, dia pamitan, minta maaf sambil meluk Cherry. Dia ngasih cincin yang sama dengan yang Cherry pakai."

Cherry memberikan cincin dari Goldi yang diberikannya lewat mimpi. Mami sangat terkejut, Mami yakin sekali, cincin itu adalah cincin tunangan mereka. Tapi bagaimana mungkin?

Beberapa hari terakhir Cherry tidak pergi kemana pun. Begitu juga Goldi, dia sama sekali tidak datang ke rumah sakit. Bahkan orang tua Goldi sempat menelpon orangtua Cherry, menanyakan keberadaan putranya. Hal yang sama dilakukan oleh WO yang mereka booking. Meminta konfirmasi atas acara pernikahan Goldi dan Cherry.

"Ada yang ga beres!" gumam Mami dengan yakin.

"Cherr, sebentar ya, Mami ada perlu sama Papi. Kamu tetap di sini, jangan turun dari ranjang. Nanti Bia akan kesini untuk menjagamu sementara."

Mami segera menemui Papi, menjelaskan semuanya, sesuai keterangan Cherry.