webnovel

Jadi Kawin?

Hari ini, Cherry di perbolehkan keluar, sebenarnya dia memaksa untuk itu, lantaran, lusa adalah hari pernikahannya dengan Goldi, seharusnya. Papi sudah menghubungi semua personil WO untuk merubah konsep pernikahannya deng Goldi. WO akan menghapus semua nama dan foto tentang Goldi. Tentu saja, Papi merogoh kocek yang tidak sedikit. Persiapan yang sudah di susun telah siap untuk di pakai, namun, dalam waktu 2 hari 1 malam, mereka harus mengubah konsep awal. Bahkan Papi meminta untuk mengalihkan tempatnya saja.

"Pi.... gimana urusan dengan orang tua Goldi?"

"Udah, Mi. Mereka setuju dengan pernikahan kontrak antara Bia dan Cherry sampai Goldi ditemukan."

"Papi yakin?"

"Ini," ucap Papi sambil menyodorkan selembar kertas perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh kedua belah pihak.

"Baiklah, berharap semua sandiwara ini akan berakhir dengan baik."

***

"Udah beres, ada yang ketinggalan ga?" tanya Bia pada Cherry.

"Udah kok."

"Sini, biar kubantu, atau mau pakai kursi roda aja?" tawar Bia sambil memapah Cherry.

Ketika tangan Bia menyentuh tubuh Cherry, tiba-tiba badannya terasa nyeri. Tapi, Cherry menahannya, takut jika kepulangannya di tunda. Bahkan Bia tidak menyadarinya.

"Aku pake kursi roda aja."

Cherry memutuskannya, awalnya dia menolak, itu akan membuatnya terlihat lemah dan payah. Tapi begitu ia sadar, ketika Bia menyentuhnya, tubuhnya akan terasa sakit. Cherry tidak tau, bahwa semua itu berawal dari rasa dendamnya kepada Bia. Yang dia tahu, sekarang, Bia adalah kekasihnya. Meskipun rasanya aneh dan janggal, tapi Cherru tidak menolakknya.

Sesampainya di rumah, Mami dan Papi menyambutnya dangan hangat. Sedikit pesta penyambutan untuk Cherry. Hanya dihadiri penghuni rumah tuan Wilson.

"Mami...Cherry terharu."

"Sehat-sehat ya, sayang. Jangan aneh-aneh lagi, pokonya kemana pun kamu pergi, harus ada yang nganterin atau nemenin. Janji sama Mami, ya!?"

"Iya Mi. Lusa kan Cherry udah nikah, pasti kemana-mana sama Bia. Iya kan, Bi?"

"Heee?"

Rupanya Bia tidak fokus, mungkin dia sedikit todak nyaman dengan sandiwara itu, atau justru dia akan mendalami perannya sebagai calon suami Cherry.

"Bi... kamu kenapa?"

"Ga apa-apa Cher. Aku ke kamar dulu ya."

Cherry bingung.

"Loh, dia tinggal di rumah kita, Mi?"

"Iya, memang belakangan ini, Bia tidur di sini. Rumahnya jauh, di Surabaya. Lagian lusa kan kalian menikah. Tidak ada salahnya dia tinggal di sini. Toh nanti akhirnya Bia dan kamu juga akan tinggal di rumah yang sama. Itung-itung, pengenalan kebiasaan di keluarga kita," jawab Papi ngarang.

"Papi kenal baik sama Bia?" tanya Cherry penasaran.

"Ya, Papi kenal baik dengannya dan keluarganya."

Cherry mengangguk-angguk, kemudian terdiam. Mungkin ada sedikit yang mengganjal dengan penjelasan Papi, tapi dia tidak tau, apa yang membuatnya terasa janggal. Barangkali hati kecilnya berkata sesuatu, tapi otaknya masih belum mencerna dengan baik. Sebab sebagian otak Cherry mengalami kerusakan yang cukup fatal. Itulah, salah satu penyebab yang membuatnya kehilangan sebagian memorinya. Beruntung hanya memori buruk yang terhapus. Memori indah masih menjadi memori yang mendominasi bagian otaknya.

Perlahan, Bia menutup pintu kamarnya.

"Duh, gimana nih, apa iya gue harus nikahin Cherry? Emang sih, gue suka sama dia. Tapi ga secepat ini juga, jadiin dia sebagai istri gue. Papi nih, gimana kalo besokannya Cherry sadar, tiba-tiba dia inget siapa gue, ah... bisa di makan hidup-hidup. Secara, dia kalo normal kan kaya macan."

Bia melemparkan badannya ke atas kasurnya yang begitu empuk, ditindihnya kepalanya dengan bantal. Tiba-tiba pintu di ketok, rupanya Bia tidak mendengar. Alhasil, Cherry masuk kamarnya tanpa seizin Bia. Cherry tanpa sengaja melihat sebuah foto di atas meja dekat ranjang Bia. Foto Bia bersama seorang wanita.

"Ini Bia? Ganteng banget! Siapa wanita ini? Oh mungkin mamanya."

Tiba-tiba, kepala Cherry terasa sakit, dia mengerang sambil memegang kepalanya. Bia kaget, dia tidak tau kapan Cherry memasuki kamarnya.

"Cherry, ngapain lo di kamar gue?" teriaknya kaget.

"Help me, Bi!"

Bia membaringkan Cherry di kasurnya. Badannya berkeringat, kulitnya terasa sangat dingin.

"Cher lo kenapa?"

"Ga tau, tadi aku cuma liat foto itu, tiba-tiba kepalaku sakit."

"Foto?"

"Iya, fotomu dan wanita itu."

Bia mengerti, barangkali foto dirinya bersama dengan mamanya lah yang membuat kepala Cherry terasa sakit.

"Tapi apa iya, cuma karena foto ini, kondisinya sampai begini?" batin Bia.

"Ini mamaku, lo kenal?" tanya Bia ragu.

"Aku ga kenal, tapi rasanya aneh, ini pertama kali aku melihatnya di foto, ga tau kenapa, kepalaku terasa sakit begini."

Bia mengangguk, dia tidak yakin, apa sakit kepalanya ada hubungannya dengan foto itu atau tidak, hal yang sama ketika Bia menyentuh Cherry, dia meresponnya dengan kurang baik.

"Kenapa ya?" gumam Bia.

"Apa yang kenapa?"

"Eh... itu. Gimana kepalanya?"

"Better."

"By the way, ngapain ke kamar gue? Kenapa ga ketok pintu dulu, tadi?"

"Kata siapa? Tiga kali udah diketuk, kamu yang ga denger, yaudah aku masuk aja. Papi nyuruh ke depan."

"Oh gitu ya.... eh tapi lo udah ga apa-apa?" tanya Bia memastikan sambil memegang tangan Cherry yang ternyata suhunya sudah normal.

Cherry merasakan ada sedikit nyeri pada bekas tangan Bia yang menempel di kulitnya.

"Ah begini lagi," batinnya.

Dia belum mengatakan apa pun, masih mengira bahwa suatu kebetulan saja. Kebetulan sakit kebetulan di sentuh oleh Bia.

"Bi... ayo, aku udah ga apa-apa. Kepalaku ga sakit lagi. Mungkin ini efek obat pereda nyeri yang sudah mulai hilang," ujar Cherry.

Meski tidak sepenuhnya percaya, Bia mengizinkan Cherry bangun, mereka berjalan beriringan. Ada Papi yang sudah menunggu mereka berdua.

"Kenapa Pi?"

"Ini loh, Papi lupa, siang ini kalian berdua ada janji dengan WO. Nanti mereka yang dateng ke sini. Paling mereka udah hampir sampe, kamu di sini aja, sama Cherry."

Tiiin....tin....

"Bener kan, mereka udah sampe."

WO yabg sudah mengenal baik Cherry dan Goldi, merasa bingung, sebab selama ini yang menjadi klien prioritasnya adalah Goldi bukan Bia. Begitu juga Bia, dia sangat kaku, ketika harus mencoba jas pengantin untuk pernikahannya dengan Cherry. Untung saja ukuran tubuhnya dengan Goldi tidak beda jauh.

"Syukurlah, untung pas," kata WO.

"Ya udah jelas pas lah, kalian gimana sih, kita kan udah fitting baju dari lama. Bener ga, Bi?"

"I-iya, maksud saya, cocok sekali di badan Mas Gol.... Mas Bia."

"Ih aneh banget sih kalian!" gerutu Cherry.

Papi sudah was-was kalau-kalau WO salah sebut nama. Untunglah, mereka betul-betul bekerja sangat profesional.

"Baju ini kami tinggal, semua persiapan udah beres, gedung ok, catering fix. Kami permisi."

Dua orang dari Wedding Organiser pamit. Papi sudah menunggunya di gerbang. Pasti akan ada yang dibicarakan oleh mereka terkait pernikahan putrinya.

"Ssst.... gimana, semua aman, kan?"

"Aman Om. Tapi, dimana Mas Goldi?"

"Itu bukan urusan kalian. Pastikan sekali lagi, udah ga ada sama sekali, apapun yang berkaitan dengan Goldi."

"Aman Om. Sesuai request dari Om. Kecuali untuk gedung, kami ga bisa alihkan fungsi gedung."

"Ok ga masalah. Saya harap sesuai dengan harga yang saya bayar."

"Pasti Om. Kami jamin."

Semua persiapan sudah dibereskan Papi, tidak ada jejak Goldi di pesta pernikahan putrinya. Harapan Papi dan Mami saat ini adalah mengembalikan kondisi Cherry seperti sediakala. Berharap Goldi juga segera dipertemukan dalam keadaan sehat tentunya. Meski akan ada jalan cerita yang lain dalam kehidupan Cherry.

***

Hari penting untuk Cherry sudah di depan mata. Dia kan menikahi seseorang yang sebenarnya tidak dicintainya sama sekali.

"Kenapa gue ragu sama hari ini ya? Rasanya gue ga cinta sama Bia," batinnya sambil melanjutkan make up-nya.

"Kenapa, Neng?" tanya MUA yang sedang merias wajah Cherry. Sepertinya dia merasa ada keraguan dalam diri si mempelai perempuan.

"Ga apa-apa, Tan."

"Biasa sih, kalo baru pertama menikah ya gini. Pasti gugup, ragu mau lanjut apa enggak, takut kalo riasannya ga cocok. Tapi Neng Cherry ga usah khawatir, Tante udah lebih dari sepuluh tahun bergelut di dunia tata rias pengantin. Mau wajahnya jelek kaya apa, kalo udah kena kuas ini nih (sambil menunjukan kuas blush on), beeeuuuh....pada pangling semuanya. Termasuk calon lakinya. Ga kenal sama bininya."

"Oh gitu ya, Tan?" ucap Cherry berusaha menghibur dirinya sendiri dan meyakini apa yang diucapkan oleh MUA adalah masalah klasik calon pengantin perempuan sebelum akad.

"Lanjut ga nih?" tanya MUA sambil bercanda.

Cherry hanya mengangguk mengiyakan. Hati kecilnya meronta, menolak sebuah peristiwa yang begitu penting seharusnya.

"Have done, wuuih.... you look like a princess," kata MUA sambil bertepuk tangan girang.

Cherry mematutkan diri di cermin. Dia mengakui riasannya sungguh sangat menawan, berhasil membuat dirinya menjadi seperti orang lain.

"Tahan nafas sebentar, kamu harus memakai ini, agar penampilanmu lebih sempurna!" ucap MUA sambil memasukan dua buah benda berwana kulit ke dalam dadanya.

"Eh...tante! Apa ini?" teriak Cherry yang berusaha menolak.

"Punyamu kurang besar, kalo begini, so perfect!" imbuhnya sambil memutar-mutar badan Cherry.

"Kalian bener-bener serasi. Lakinya tampan, bininya cantik menawan!"

"Tante kenal sama calon suamiku?"

"Baru aja."

"Oh kirain!"

"Apa kalian di jodohkan?" tanya MUA tiba-tiba.

Cherry menggeleng, dia ragu, bagaimana dia bisa mengenal Bia.

"Apa bener gue dijodohin sama Bia? Tapi kenapa?" batinnya.

"Eh, Neng! Udah kagak usah dipikirin, yang penting laki lo ganteng, cakep, tajir, soal hati, soal cinta, nanti akan tumbuh dengan berjalannya waktu."

"Emang semua cewek sematre itu yah?" batin Cherry.

MUA menyerahkan Cherry ke Mami. Mami di buat pangling dengan panampilan anggun Cherry.

"Cherry... hari ini kamu bener-bener bagai putri. Kamu cantik sekali. Bahagia selalu, Nak."

Mami mengecup kening Cherry, kemudian menggandeng tangannya menuju ruang ijab qabul. Ada Papi dan Bia yang sudah menunggu dengan keringat dingin. Juga bapak penghulu yang terus menggoda Bia.

"Ehm.... liat tuh calon bini lo, tong! Cakep! Pinter nyari istri," puji penghulu sambil memberikan dua jempolnya.

Bia menoleh ke arah Cherry. Tentu saja dia begitu terkesima. Siapa sangka dia akan menikahi putri dari ayahnya sendiri.