webnovel

Pemilik senyum menghadirkan pelangi

Di hadapan bentangan langit biru dan kuatnya angin yang menampar wajah dan beberapa helai rambutnya. Fairial terduduk diatas atap rumah sakit. Kedua kakinya ia apungkan kebawah.

Disana ia terduduk seakan-akan ia tak akan jatuh dari ketinggian yang lumayan itu, ia benar-benar tak menghiraukan jika saja ia jatuh diketinggian itu. Ia tetap terduduk santai disana. Seraya menulis sesuatu diatas sebuah lembaran diary bercover biru.

Dan yang cukup ia tahu, buku diary itu bukanlah kepunyaannya melainkan kepunyaan shafiyya. Fairial menggores halaman tengahnya yang masih kosong dengan sebuah pena. Kata demi kata ia keluarkan dan ia jadikan sebuah kalimat yang bersambung.

"Dear pemilik senyum yang pernah menghadirkan pelangi ketika hujan, kau ingat kejadian dihari itu. Saat ketika kita biasa bertengkar seputar hujan, entah berapa ribu kali kamu mengungkapkan rasa bencimu atas hujan, lalu ribuan kali kuralat dengan pembenaran yang berakhir memenangkanku.Tapi kupikir sekarang kau sudah mulai berubah, kau nampaknya jadi sosok yang tak sama sekali kukenal, berbeda dari si gadis manja yang biasa kulihat. Yang bawel, yang selalu egois, yang cengeng, yang suka nyasar, yang membutuhkanku, seolah dinding-dinding yang tidak pernah ada itu tercipta dengan sendirinya."

"Dan yang aneh, kau makin menyukai hujan seperti yang tak biasanya. Kau sering mengatakan ini semua rahmat dari tuhan, yang semakin kau mengatakannya berulang-ulang aku semakin tak mengerti, kau sering mengubah hujan dengan senyumanmu, seakan-akan itu adalah hal yang indah yang jarang terjadi dan yang tak pernah terbayangkan. Kau meninggalkanku, yang kukira untuk bisa menggapai bayanganmu saja terlalu sulit."

Jarinya sibuk menulis dan sebuahsenyuman tulus baru-baru ini menyimpul jelas dari bibir pucatnya. Angin serasa bermain, menerbangkan debu-debu disekelilingnya dan menjadikan kehampaan waktu itu jadi mengingatkannya pada suatu hal.

"Rial !"

"Hey tunggu!"

"Kenapa kau selalu meninggalkanku...."

"Dasar bodoh.... Kalau aku nyasar gimana!"

"Tuhkan aku nyasar! Kamu sih!"

"Sepertinya aku tidak akan bisa hidup tanpa kamu...."

"Kita akan selalu seperti ini kan......"

Sayup sayup suara itu merdu berterbangan dikepalanya. Ia menunduk. Tak ada yang bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan saat itu, saat ketika hembusan angin semakin kuat menerbangkan debunya, Ia masih tertunduk murung dengan gaya yang tidak biasanya.

Dan entah karna ia terlalu serius mendalami tulisan yang sedang ia tulis itu, atau beberapa gumulan pikiran lah yang jadi tersangkanya, intinya... tak ada satupun orang yang bisa menebaknya saat itu.

"Bahkan langit biru pun ikut merindukan kehadiranmu.."

Tiba tiba fairial mendeteksi kehadiran seseorang di tempat itu. ia melengos kea rah belakangnya. Dan ia cukup terkejut ketika dua matanya menangkap jelas sosok anak perempuan sedang bersembunyi diantara pintu atap dan tong sampah yang ia jongkok dibelakangnya. Ia sedang menghindari seseorang.

Fairial segera bangkit dari tempatnya duduk, ia segera mendekati anak kecil itu, langkah demi langkah. Sampai kalanya ia tepat berada dihadapannya, anak perempuan ini tersentak oleh kehadiran fairial.

Anak ini nampak begitu ketakutan ketika fairial menemukan keberadaannya, bahkan dompet coklat yang ada ditangannya kini ia tutup-tutupi ke belakang punggungnya. Fairial asal tebak "Nyuri ya ?"

"E,eh... bukan!" Sergahnya

Anak perempuan ini coba lari namun sayang fairial keburu menjawir telinganya, sampai si anak tak berkutik dibawah kuasanya. Anak ini menjerit, "Ampun kak ampun" Akhirnya ia pun mengaku.

"Masih kecil udah berani ya..."

"Ampun kak, aku cuma pengen bantu pengobatan kakek, ayah ibuku sudah meninggal, aku gak tau mau minta uang sama siapa..."

Tangannya langsung terlepas, Mendengar pernyataan itu entah mengapa fairial langsung merasa kasihan. Malah ia langsung membandingkan kalau saja ia diposisi anak itu. apakah yang akan ia lakukan juga sama dengan ini.

Fairial yang disana sedang lemah pengawasannya dari anak ini, tak sadar memberi celah untuk anak ini kabur. Langkah demi langkah anak ini pun coba menuju pintu keluar bak seorang pencuri. namun sesuatu seperti berbayang ketika ia sudah hampir sampai setengah jalan.

Bayangan hitam tubuh fairial yang terpancar cahaya matahari membuat anak ini sadar dan ketakutan lagi. Sebuah uluran tangan menarik belakang bajunya, dan membuat anak ini tertahan sampai tak bisa jalan.

"HHUWAAA AMPUUN"

Dibawah sorotan cahaya matahari yang terik, fairial dan anak perempuan ini saling duduk berteduh dibawah naungan kanopi. Mereka masih diatap.

Mereka saling bersandar pada sebuah dinding dan disana terdapat sebuah percakapan yang masih terus berlangsung.

"Kalau kakek meninggal aku gak punya siapa - siapa, ibu dan ayah sudah pergi, nggak ada lagi yang bisa nemenin aku dirumah, aku sendiri, nggak ada lagi yang bisa masakin aku nasi atau ngambilin aku rapot."

Entah ada perasaan apa yang tiba tiba memaksa fairial untuk tetap bergeming menatapnya. Ia seperti melihat dirinya didalam gadis ini. dimana kesendirian dan penderitaan sudah jadi pemandangan.

Tak ada yang bisa diandalkan. Tidak ada siapapun. Hanya dilingkupi oleh kekosongan, yang dipenuhi oleh ketidakadilan.

Air matanya bergulir tanpa sadar. Fairial cepat-cepat mengusap dan melengoskan wajahnya sebelum dilihat oleh anak itu.

"Tiap kali kakek abis pulang dagang, kakek sering batuk-batuk keluarnya darah, darah nya banyak banget kak, aku takut, besoknya kakek pingsan, waktu itu aku abis pulang sekola, tetangga banyak banget yang dateng dan bawa kakek ke rumah sakit. Udah lima bulanan kali kakek tinggal disini."

Fairial tersenyum lirih sepanjang ia melihat anak ini mulai mengakhiri kata-katanya. Ia tiba tiba mendesah dan menatap bulat-bulat kelangit yang tinggi. "Hufft hidup ini memang menyulitkan ya."

"Apa kakak hidup nya juga menyulitkan? Kenapa kakak bisa ada disini? kakak sakit apa?" Kini giliran anak ini merubah topiknya yang jadi kesannya ngintrogasi. Fairial menjawab "Kakak pasien disini."

"Iya aku tahu, tuh kakak pake baju seragam yang sama kayak kakek." Ujar anak itu. Fairial mengekeh "Kakak sakit penyakit yang dokter gak bisa sembuhin." Ujar fairial

"Eh?" Anak ini ketakutan, ia terlalu menganggapnya serius.

"Terus kakak gak minum obat dong, kakak kalo nggak sembuh berarti kakak selamanya akan merasakan penyakit itu?!"

"Salah.... Kakak akan diajak pergi ke tempat yang ibu sama bapakmu berada."

"Eh... benarkah? Aku juga mau kak! dimana! dimana itu aku mau ikut!"

Fairial tertawa kecil "Nggak boleh, kamu itu perjalanan hidupnya masih panjang, masih belum diizinin sama Allah."

"Ahh kakak mah bohong! Buktinya kakak bisa, aku juga mau! Kakak kan nggak kenal ibu sama ayah, nanti kan kalo aku ada disana biar aku yang kenalin kakak sama mereka."

"Nggak mau, kakak juga bisa berkenalan dengan mereka tanpa kamu"

"Tau akhh! Kakak mah pelit!"

Dibawah naungan kanopi mereka saling berdebat, fairial terus tertawa disitu, ia sukses menjadikan anak gadis itu terbawa perkataannya dan jadi sering mengembungkan pipi.

"Kakak maahhhhh!!!"

"Makanya jangan mencuri lagi, ibu sama ayah kamu pasti nggak mau ketemu kamu kalo kamunya suka mencuri"

"E,eh...!! Memangnya kalo aku nggak mencuri aku akan bertemu ayah dan ibuku?"

"Tentu saja"

"E,eh kalo begitu baiklah... aku ---aku gak nyuri lagi deh"

"Janji ?" Ucap Fairial.

"Iya! janji"

Tanpa disadari ada seseorang yang sedang menguntit pembicaraan mereka dari balik dinding dekat pintu keluar. fairial diam-diam merasakan kehadirannya yang kontras terlihat dari ujung bajunya yang sama persis dengan warna baju yang fairial pakai saat itu.

Fairial yang merasa itu hal penting, lantas memberi isyarat kepada anak perempuan ini agar tetap disana dan jangan mengikutinya. Fairial segera pergi menghampiri sosok yang sedang memunggungi ujung tembok sana.

Fairial terkejut ketika makin mendekat ia makin merasa ada suara tangis yang ditahan.

Fairial lama mendiami, ia bingung antara bertemu langsung dengan orang ini atau tidak. Ia mengintipnya dari celah pintu yang agak terbuka.

Sedikit demi sedikit ia coba terawang dengan dua matanya bulat-bulat. Namun ia tak menemukan siapapun. Ia langsung keluar dari pintu, dan ia langsung terkejut ketika dua matanya menangkap sesosok kakek paruh baya seguk-segukan berjalan menjauh dari tempatnya berada. Kakek lanjut usia itu pergi dengan punggung tangan yang terus mengusap air matanya.