webnovel

IYD

Dua orang menerima tawaran perjodohan dengan tujuan yang berbeda. Seorang CEO muda yang di rumorkan gay terpaksa menerima perjodohan demi menghapus rumor buruk tentangnya. Seorang wanita yang memutuskan untuk tidak menikah terpaksa menerima perjodohan demi membahagiakan neneknya. Demikianlah jalan takdir mereka hingga terikat dalam ikatan sakral pernikahan. Ini adalah kisah seorang pria gynophobic yang berakhir di tangan seorang misandris. Di mana 'ketakutan' bertemu dengan 'kebencian'. _Zayyad Kafa_ Berharap memiliki keluarga kecil yang bahagia, menjadi pria normal, memiliki keturunan, menikah hanya sekali dan untuk selamanya. _Alina_ Tidak ingin menikah. Hanya menyayangi tiga wanita dalam hidupnya. Membenci pria dan tak kira umur. Mengorbankan kebahagiaan untuk yang tersayang. Dan berpikir untuk bercerai setelah semua nya berakhir. Bagaimana nasib pernikahan mereka... Akankah berakhir dengan kata 'perceraian' hingga ikatan mereka terputus -sad ending- atau mungkin 'penerimaan' hingga ikatan keduanya -happy ending- ??? ___ Note: Untuk kelanjutan 'IYD'dapat dibaca di Webnovel. Silahkan ketik judul 'Ikatan Yang Ditakdirkan' di pencarian dan kalian akan menemukannya di sana. Sudah ada ratusan chapter lebih ^_^

Happy_autumn · Urban
Not enough ratings
34 Chs

11. Perseteruan Kecil Di Pagi Hari (1)

Setelah kekacauan itu, kamar terasa hening dengan detak jam dinding memecah kesunyian. Alina yang sejak awal belum tidur, membuka matanya. Ia perlahan bersandar di kepala ranjang.

Mengambil ponselnya, ia melihat bahwa sudah pukul satu pagi. Sebenarnya ia sudah sangat ingin tidur. Sudah beberapa jam ia menutup rapat matanya, tenggelam dalam selimut dan membayangkan banyak hal yang menyenangkan sampai lelah. Tapi nihil. Matanya masih saja enggan mengantuk.

Insomnia yang dimilikinya ini terkadang seringkali membuat nya frustasi. Terkadang jika hari-hari mengajar, ia sengaja mengkonsumsi obat tidur di malam harinya. Agar ia punya waktu tidur yang cukup untuk tidak menganggu aktivitas nya besok. Jika tidak, mungkin ia akan mengantuk dan lesu seharian, karena kekurangan waktu tidur.

Tapi karena besok ia masih cuti. Ia memilih untuk tidak mengkonsumsi nya. Karena bagaimanapun juga tidak baik jika ia selalu bergantung pada obat itu.

Menoleh kearah sofa, ia melihat sosok pria yang tidur dengan tenang. Meluruskan kaki panjangnya cukup baik di ujung lengan sofa. Salah satu tangan nya berada di atas perut, sedang yang satunya lagi menyangga kepalanya. Ruangan ini sebenarnya cukup dingin, tapi ia sama sekali tidak mengenakan selimut.

Tidur nya terlihat pulas. Deru nafasnya terdengar cukup teratur. Di balik sinar lampu tidur yang menerpa wajahnya, Alina dapat melihat sebuah pemandangan yang cukup menarik.

Pemandangan pria tampan, dengan kontur wajah yang terpahat sempurna. Jembatan hidung yang menawan, sepasang alis tebal yang memikat, serta bibir tipis merah keunguan nya yang menggoda.

Persis seperti melihat seorang pangeran yang sedang menikmati tidurnya. Jika Alina tidak membenci pria, akankah ia jatuh hati pada pria itu?

"Aku pikir, malam ini kau cukup murah hati untuk mengalah"

Mengalah untuk tidur di sofa.. 

Mengalah untuk perbuatan ku yang membuat kamarnya berantakan...

Mengalah untuk ku yang sudah menghancurkan tatanan rak bukunya...

Dan bahkan mengalah ketika aku tidak memberinya bantal...

"Aku kira setelah semua itu, paling tidak kau akan marah!" Tapi yang terjadi, pria itu mengontrol emosi nya cukup baik.

"Mungkin jika seandainya kau wanita, aku tidak ragu untuk berteman baik dengan mu" Tapi sayangnya kau adalah pria...

"Aku tau kau melakukan ini bukan karena sengaja" Alina menyentuh benjolan di kepalanya. "Aku menyadari ketakutan mu saat itu, hanya saja aku menolak menoleransi luka fisik yang ku terima ini"

Karenanya ia melempar barang-barang hingga membuat kamar ini hancur berantakan. Walau tak ada satupun yang mendarat mengenai pria itu, entah kenapa ia merasa jauh lebih baik setelah melakukan nya.

"Sebenarnya aku ingin sekali menjahili mu malam ini, tapi sepertinya aku tidak bisa melakukan nya begitu cepat"

Karena takut nya kau akan melarikan diri!

Perlahan Alina mengulurkan tangannya untuk mematikan lampu tidur. Setelahnya ia memainkan ponselnya sampai matanya terasa lelah.

Tepat pada pukul dua pagi, ponsel di tangan nya jatuh. Alina tertidur begitu saja dan terbuai oleh mimpi.

Pada pukul lima pagi. Zayyad sudah bangun. Ia memiliki pola tidur yang baik dan teratur. Tidur cepat dan bangun awal.

Ia merasakan punggungnya sangat tidak enak setelah tidur semalaman di sofa. Mungkin kedepannya tidak akan seburuk ini jika sudah terbiasa.

Setelah menekan saklar lampu, hal pertama yang menyambut matanya. Adalah pemandangan yang mengejutkan di atas ranjang.

Seorang wanita, masih dengan kerudungnya, tidur dengan kaki di atas kepala ranjang, bukan lagi kepalanya. Selimut dan guling tergeletak di lantai, sedang dua bantal sudah tidak pada tempat semestinya.

"Aku tidak menyangka tidurnya seburuk itu!"

Syukurlah yang tidur di atas sofa adalah dirinya. Mungkin jika wanita itu yang tidur di sofa semalam, tubuh kecil nya itu akan tergeletak di lantai. Paling buruk seluruh badannya sakit dan yang terburuk salah satu tulang nya patah.

Jika itu terjadi, ia tidak tau harus mengatakan apa pada kakeknya.

"Sepertinya untuk seterusnya aku akan tidur di sofa"

___

Di pagi harinya Alina sudah bangun hanya untuk menemukan beberapa roti bakar dan semangkuk bubur hangat yang sudah ada di meja makan lengkap dengan se-teko susu hangat.

Tadi malam Zayyad memesan koki untuk memasak. Tapi hari ini apakah ia mendatang kan mereka lagi? 

Mencium aroma keju dari roti bakar tersebut, Alina tak dapat menahan godaan.

Tadi malam ia makan makanan kesukaannya dan pagi ini ia dapat menikmati sarapan favorit nya.

Pernikahan ini setidaknya banyak menguntungkan nya.

Alina mengambil nampan di dapur dan meletakkan semangkuk bubur serta segelas susu di atas nampan untuk di bawa pergi ke kamar neneknya.

"Pagi nenek!"

Sapa Alina ceria sambil meletakkan nampan tersebut di atas meja di dekat ranjang.

"Dimana Zayyad?"

Alina baru saja membuka gorden kamar dengan suasana hati yang baik. Tapi segera moodnya berubah ketika nenek mempertanyakan soal pria itu.

"Pastinya sudah pergi!"

Alina mendekati ranjang untuk membantu neneknya duduk.

"Um!"

"Nenek makan sendiri atau aku suapi?"

"Nenek makan sendiri saja"

Alina pun mengambil mangkuk bubur tersebut, memberikan pada neneknya.

"Kalau begitu aku pergi sarapan dulu"

"Jidat Alin kenapa?"

Tapi pertanyaan itu menghentikan langkah Alina. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya, kalau itu karena ulah dari menantu pilihannya. Tapi jika ia mengatakannya nya yang sebenarnya. bagaimana jika wanita tua itu merasa bersalah atau kecewa? Bukankah sejauh ini ia sangat membanggakan Zayyad dalam berbagai aspek.

"Ini... kepala Alin tidak sengaja kebentur kepala ranjang" Akhirnya ia memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.

Erina yang mendengar jawaban itu, tau cucunya berbohong. Semalam ia dan Irsyad pergi ke lantai dua tempat kamar Zayyad berada. Mereka diam-diam menguping apa yang terjadi dalam kamar pengantin baru itu.

Dan jelas saja, itu adalah kekacauan!

"Lain kali lebih berhati-hati! Nenek tau kebiasaan tidur Alin buruk, jadi Alin sudah bisa untuk merubah nya dari sekarang" Meski tau yang sebenarnya, Erina memilih untuk mengikuti alur kebohongan cucunya itu. Disamping ia merasa bersalah karena sudah mencuri privasi cucunya dan suaminya semalam. Tapi ia juga menghargai kematangan Alina yang tidak sembarang mengadu tentang konflik rumah tangganya.

"Ah, kalau itu sepertinya sulit!" Baginya tidur adalah kebebasan. Ia tidak ingin membatasi ruang geraknya ketika tidur. Apalagi penderita insomnia seperti nya, yang harus berputar berapa kali di ranjang sampai bisa terlelap.

"Kalau begitu, semoga saja Zayyad tidak mempermasalahkan kondisi tidur mu yang buruk itu!"

"Ah, kalau itu tidak sama sekali!"

Selama ia yang menguasai ranjang dan pria itu yang memutuskan untuk tidur di sofa. Pria itu tidak akan mempermasalahkan tidurnya yang buruk.

"Kenapa Alin yakin sekali?"

"Karena semalam semua baik-baik saja"

Yah, semua baik-baik saja. Kecuali keadaan kamar yang seperti kapal pecah.

"Ah, syukurlah kalau begitu!"

"Kalau begitu nenek, Alin pergi sarapan dulu" Membayangkan roti bakar keju tadi, ia sudah tidak sabar untuk segera melahap nya.

"Alin"

Baru saja selangkah maju, Alina harus berbalik lagi. "Ia, ada apa lagi nek?"

"Kamu sudah tau kondisi Zayyad yang sebenarnya kan?"

"Ya!" Ternyata, neneknya juga tau hal itu.

"Kalian memiliki luka yang tak jauh berbeda perihal lawan jenis. Nenek harap pernikahan ini adalah obat untuk luka kalian"

Alina terdiam beberapa saat. Obat? 

"Dan nenek harap, kamu mau mengerti kondisi Zayyad yang seperti itu! Mulailah secara perlahan dalam membangun hubungan dengannya, tapi jangan terlalu mengejutkan nya. Itu mungkin akan melukai psikis dan membangkitkan sisi traumatis nya. Bersikap lah sewajarnya untuk saat ini dan jangan terlalu jauh. Alin dapat melakukan hal-hal sederhana yang dapat menyakinkan nya, membuat nya sadar dan percaya bahwa Alin adalah pengecualian dari semua mimpi buruk masa lalunya"

Alina tercenung, mendengar penjabaran neneknya yang sejauh itu mengenai caranya untuk berhadapan dengan situasi dan kondisi Zayyad. Sebegitu pedulinya nenek pada pria itu?

"Lalu bagaimana dengan Alin?" Tidak tau kenapa, Alina merasa kecewa pada neneknya. Jika memang neneknya begitu peduli pada pria itu, lalu bagaimana dengan nya? bagaimana dengan mimpi-mimpi buruk masa lalunya? luka fisik bahkan psikisnya yang masih membekas hingga saat ini? Apakah semua itu bukanlah apa-apa untuk neneknya?

"Disini Alin lah yang terkuat di bandingkan Zayyad. Alin punya kebencian , dimana sebuah kekuatan yang mampu mendorong Alin untuk sanggup melawan mimpi-mimpi buruk itu. Tapi tidak dengan Zayyad yang hanya punya rasa takut. Jadi Alin lah yang harus maju untuk membantu Zayyad keluar dari mimpi-mimpi buruk itu!"

Bola mata hitam Alina bergetar. Ia merasa asam pada pangkal hidung nya. Kedua tangannya mengepal. Menekan gejolak dadanya yang terasa sesak. "Nek..Alin memang punya kebencian! Tapi jika nenek beranggapan itu adalah sebuah kekuatan untuk melawan mimpi-mimpi buruk yang Alin alami-" Alina menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghelanya perlahan.

"Nenek salah!" Alina tersenyum getir.

___