Reeno membawa beberapa orang ke rumahnya sebagai tamu. Hal itu membuat Ela sedikit kaget, sebab sebelumnya belum pernah lelaki itu berbuat hal semacamnya.
Tamu yang diketahui adalah rekan bisnis sang ayah
membuat Ela semakin tidak senang. Ia tahu, jika dirinya akan diperintahkan untuk berkenalan dengan pemuda itu.
"Bibi, kalau nanti Ayah cariin aku. Bilang aja udah tidur, ya?"
"Tapi, Nona Ela belum makan loh. Jangan tidur dulu, Non." Pembantu di rumah itu sedikit menolak. Ia yang bahkan sudah menyiapkan makan malam gadis itu sedikit kecewa.
"Maaf, Bibi. Tapi aku harus masuk kamar sekarang. Tolong ya, habiskan sendiri aja. Makasih, Bibi." Segera menutup pintu dengan pelan.
"Jangan sampai nanti sakit karenanggak makan," gumam wanita itu sedikit khawatir. Namun, ia tetap melakukan tugas dari majikan mudanya itu.
"Di mana Ela?" tanya Reeno yang baru saja meninggalkan tamunya. Pria itu celingak-celinguk mencari keberadaan anak gadisnya yang biasanya di jam segini masih sibuk dengan buku-buku bacaannya.
"Non Ela sudah makan, dia sudah masuk kamar sejak beberapa menit yang lalu, Tuan."
"Benarkah? Baiklah. Nanti, kalau dia bangun. Jangan lupa kasih tau ya, Bi. Ada tamu mau tidur di rumah ini. Jangan sampai dia terkejut nanti."
"Oh. Baiklah, Tuan. Saya akan sampaikan nanti," ucap wanita itu kemudian melanjutkan pekerjaannya setelah Reeno berlalu dari hadapannya.
Ia juga buru-buru menyampaikan informasi itu setelah semua pekerjaannya selesai. Ela tampak sangat sedih. Ia cukup prihatin dengan keadaannya sendiri sekarang ini.
"Coba Bibi pikir, aku udah dilarang untuk berteman dengan Tiara dan sekarang ingin mengenalkanku pada pria itu. Aku tidak mau, Bibi." Mulai terisak.
Gadis itu segera memeluk wanita itu dengan penuh kehangatan. Satu hal yang sangat ia takutkan selama ini. Dia kira, dengan tidak berhasilnya perjodohan antara dirinya dengan Ade dapat membuat ayahnya menyesal. Tapi nyatanya tidak sama sekali.
"Jangan berpikir seperti itu, yakini saja kalau semua akan baik-baik saja. semoga Tuan Reeno tidak ada niat untuk menjodohkan kalian ya, Nak."
Ela mengangguk pelan sebelum akhirnya ketiduran dalam pelukan wanita itu.
***
Tiara tengah bersantai di sofa tatkala ia terus menatap ke arah ponselnya. Hal itu mengundang atensi Aram dan Nita. Keduanya segera mendekat dan akhirnya sadar akan apa yang tengah dibutuhkan oleh wanita itu.
Aram memainkan alis matanya, memberi perintah pada Nita untuk segera memberi tahu pada Ade.
"Ok. Sudah selesai, Ayah. Perintah telah dilaksanakan!"
Seruan wanita itu membuat Tiara tersentak dan fokus ke arah Nita dan Aram yang etnah sejak kapan berada di dekatnya.
"Kamu tau nggak sih, kalau kami sudah perintah suamimu untuk segera membawa cokelat ke sini. Tenang aja, sebentar lagi dia sampai, kok," ucap wanita itu santai.
Hal itu membuat Tiara menjadi sedikit sedih. Ia bukanlah tipe orang yang suka menyusahkan orang. Lalu apa sekarang? wanita ini malah dengan sengaja membuat Ade kesulitan dan membawa-bawa namanya.
Tiara dengan segera, pamit permisi untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin menyepi dan sendiri selama beberapa saat.
"Tiara, kamu kenapa, Sayang?" panggil Nita heboh dan segera dihentikan oleh ayahnya.
"Biarkan saja. Itu karena hormon dalam tubuhnya. Sebentar lagi Ade akan tiba, biarkan dia yang mengurus masalah istrinya itu."
Nita mengangguk setuju kemudian meraih kunci mobilnya. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan sekarang ini.
***
Di kantor, tepat sesudah acara meeting selesai, panggilan dan pemberitahuan tentang istrinya itu membuat Ade sedikit khawatir. Bagaimana pun, ia harus memberikan apapun yang diinginkan oleh istrinya. Begitulah informasi yang ia dapat dari beberapa artikel.
Dengan segala kecekatan yang ia punya, tak begitu lama ia telah sampai di rumah dengan membawa begitu banyak jenis cokelat. Keringatnya bahkan mengucur sangat deras membuat sang istri merasa lebih tidak enakan lagi.
"Kamu kenapa, Sayang? Jangan merasa nggak enakan begitu, ih. Aku melakukannya dengan tulus, bukan karena kamu perlu, tapi karna ini juga tugas aku sebagai suami. Sekarang nikmati aja, ya?"
Tiara menggeleng pelan.
"Aku selalu saja membuatmu kesulitan. Maaf."
"Sayang, ini semua aku lakukan dengan penuh kasih sayang."
"Tapi … aku nggak pernah ngelakuin apa-apa buat kamu. Aku harus gimana?"
"Ya sudah. Panggil aku sayang aja. Itu cukup untukku."
Mendengar permintaan sang suami, sungguh membuat wanita itu sedikit malu dan tersipu.
"Gimana, mau nggak?"
"Iya. Aku mau…"
"Mau?"
"Sayang…" ucap Tiara menyisakan rasa canggung di antara keduanya, sungguh hal itu membuat Ade merasa senang dan tidak habis pikir jika bahagia sesederhana ini.
Pria itu memberikan pelukan hangat untuk istrinya. Ia juga memberi kecupan di perut sang istri yang sudah membuncit. Sungguh, ia sudah tidak sabar menunggu hari itu datang.
Satu-satunya hal yang paling bisa membuatnya damai saat ini adalah menjaga sang istri dengan baik. Tak akan membiarkannya merasa sedih walau sesaat saja.
"Aku mencintaimu." Memberikan kecupan bertubi-tubi di puncak kepala wanita itu.
Tiara yang menjadi sasaran kegeraman suaminya hanya bisa pasrah dan tidak sabar untuk segera melahirkan buah hati mereka. Bagaimana pun, ia tidak akan terlalu kesepian seperti sekarang ini.
"Sekarang, aku berangkat kerja lagi ya, Sayang. Makan siangku sudah dibawakan sama Tante Nita tadi. Makasih."
"Sama-sama, Sayang. Jangan lupa untuk berterima kasih sama Tante Nita juga. Dia yang masakin kamu, aku cuma bantu-bantu doang sih tadi."
"Baiklah. Love you, my wife."
"My Wife?" gumam wanita itu setelah suaminya berlalu meninggalkan dirinya. Hatinya tengah berbunga-bunga sekarang.
***
"Ela?" sapa seorang pria pada Ela tatkala ia sedang mengambilkan air minum di tengah malam.
Tak ingin peduli atau sekadar menoleh, gadis itu segera berlalu dari sana dengan membawakan air minum. Hampir saja ia terpeleset di tangga jika tidak segera ditangkap.
"Hati-hati dong kamu."
"Ok. Thanks." Gadis itu bermaksud melanjutkan langkahnya. Namun, apalah daya ketika ia segera ditarik kembali oleh pria itu.
"Kita kenalan aja dulu. Jangan takut atau berpikiran kalau aku akan merenggut masa depanmu. Besok aku akan berangkat ke luar negeri, pulang ke sini tahun depan. Jadi, kita nggak akan pernah ada waktu untuk membahas soal perjodohan ini."
"Pe-perjodohan?" tanya Ela tergagap. Ia tidak menyangka jika ayahnya setega itu.
"Kenalkan namaku, Leon. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan apa aja. Santai, aku tidak suka memaksa kok."
Ela akhirnya memaksakan diri untuk mencoba akrab dengan pria itu. Mungkin saja, dengan begitu, ia bisa lebih bebas mengutarakan hal-hal yang sama sekali tak pernah ia sukai.
"Kita duduk di sana aja, yuk?" ajak Ela mengarah ke ruang keluarga. Suasana yang lebih menyenangkan.
Kali ini ia bahkan berniat untuk mengajak pria ini bekerja sama untuk menghancurkan niat perjodohan di antara mereka.
"Perjodohan yang sangat merusak otakku," gumam gadis itu.
***