Tiara tampak bahagia dengan kehadiran sang buah hati. Tinggal menunggu waktu, ia akan punya teman untuk menghilangkan rasa bosannya di rumah. Semua orang tampak sangat peduli padanya.
Aram menjadi salah satu orang yang berperan penting baginya. Ia bahkan memerintah Ade untuk menyiapkan susu hamil baginya sebelum berangkat kerja.
Pria itu pun menyuruh Tiara untuk sebaiknya tidak melakukan aktivitas apapun, takut kelelahan.
"Tidak, Kakek. Aku harus tetap bekerja, aku tidak biasa hanya terbengong santai aja. Tiara memberi pengertian pada sang kakek.
"Jangan melawan, Tiara. Bagaimana kalau calon bayimu kenapa-kenapa. Saya tau jelas bagaimana kamu, terlalu lincah."
Mendengar hal itu, Nita pun mencoba masuk dalam obrolan itu. Ia memberikan pengertian lanjutan pada sang ayah.
"Benar, Ayah. Memang benar sekali untuk kita harus menjaga Tiara dan kandungannya. Tapi, yang namanya ibu hamil harus tetap gerak juga dong, biar persalinannya lancar. Kalau dia banyak gerak, itu bagus untuknya dan si bayi. Aku janji ,Ayah, tidak akan membebankan masalah dapur. Tiara cukup bantu-bantu saja."
Mendengar hal itu, Aram tidak lagi mengotot untuk keputusannya. Bagaimana pun, ia tak lebih tahu masalah itu daripada putrinya.
Pria itu pun memutuskan untuk bergerak meninggalkan dapur. Ia tak ingin menjadi pengganggu di sana.
"Tuh kan, kamu bisa lihat sendiri, Tiara. Semua orang peduli sama kamu. Mamah pasti jaga kamu juga, tapi ya kalau tidak lagi sibuk. Hehe…"
"Tidak apa-apa, Mah. Memang semua orang di rumah ini selalu sibuk, kan?" balas wanita itu.
"Heh. Kamu nggak lagi menyindir mamah, kan?" canda wanita itu mengundang tawa di antara keduanya.
***
Ela merasakan kekecewaan sekarang ini. Ia bahkan tau perihal jika sahabatnya itu hamil dari orang lain. Kini, ia semakin yakin jika memang hubungan persahabatan di antara keduanya tak lagi terselamatkan.
Dengan menyandang status sebagai wanita karir, ia terus sibuk dengan pekerjaannya agar tidak punya waktu memikirkan Tiara.
Hari ini, ia akan melakukan pertemuan dengan Arsha di perusahaannya. Hal itu menjadi bahan pikiran untuk gadis itu. Sebab bertemu lelaki itu hanya membuat trauma baginya.
Terduduk lemas menunggu di kafe, jantungnya berdetak sangat kencang ketika melihat kedatangan pria itu. Ia semakin takut dan tidak tenang.
"Ada apa, Bu?" tanya asistennya membuat ia panik, lagi dan lagi.
"Aku baik-baik saja." mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
"Ah, sialan. Kenapa aku harus bertemu lagi denganmu? Apa ini hanya akal-akalanmu saja untuk bisa bertemu denganku?" sapa Arsha membangun hubungan buruk di antara keduanya.
Gadis itu segera menarik Arsha menjauh dari asisten masing-masing. Keduanya berdiri di sudut tempat itu dan mulai memuaskan kekesalan di hati masing-masing.
"Kamu jangan mengungkit-ungkit masalah tidak penting seperti itu ke dalam masalah pekerjaan. Aku datang ke sini karena diperintah oleh ayahku. Aku tidak akan pernah setuju kalau dia tidak sedang sakit."
Mendengar keterangan itu, Arsha terdiam. Ia tahu telah melakukan kesalahan dan membuat gadis ini merasa sakit hati. Namun, tidak ada penyesalan.
"Tetap saja, Ibu Ela. Saya tidak bisa melupakannya begitu saja. anda adalah wanita nakal yang membuat kakak ipar saya menjadi buruk. Dasar tidak berguna!"
Setelah mengumpat, pria itu pun melangkah meninggalkan Ela sendirian. Namun, begitulah gadis itu yang tidak mau kalah. Ia segera berjalan mendahului Arsha.
"Kita lanjutkan pembahasan ini setelah kerja samanya selesai. Aku sangat membencimu, Pria Pecundang. Bajingan!" umpat gadis itu dan merasa sangat puas.
***
Emma mengajak suaminya untuk bicara serius. Ia merasa kesal dengan keputusan putranya yang lagi meninggalkan mereka. Padahal, ia telah melakukan banyak hal untuk Bobby.
"Mas, tolong panggil dan tarik Bobby untuk pulang. Aku sangat merindukannya. Bagaimana bisa dia berbuat seperti ini padaku. Aku telah membujuk kamu untuk memberikan pekerjaan itu lagi padanya."
Deddy menggeleng tidak seiya sekata dengan istrinya itu.
"Kamu adalah ibu baginya. Seorang ibu akan rela memberikan apapun untuk sang anak. Kasih sayang yang kamu berikan tidak akan pernah terbayarkan, dan jika kamu tulus, jangan pernah berpikiran untuk harus menerimanya."
"Apa maksudmu, Mas?" tanya Emma tidak paham.
"Kamu itu sebenarnya seorang ibu, bukan? Semua yang kamu lakukan selalu diperhitungkan. Jangan begitu. Satu lagi, pekerjaan itu aku berikan pada Bobby karena memang itu bagiannya, bukan karena bujukan kamu. Perbaiki dulu hubunganmu dengan menantumu, maka dia akan kembali. Aku bisa pastikan itu."
Cukup kesal dengan tingkah istrinya, pria itu segera melangkah pergi meninggalkan wanita yang kini tengah menangis. Terlalu banyak dan sering menangis membuat dirinya kian tidak percaya dan no respect.
"Mas?" panggil wanita itu yang tiada arti. Suaminya telah berlalu meninggalkan dirinya yang tengah dibanjiri oleh air mata.
Sungguh, ia masih bebal dan tidak terima jika harus mendahulukan diri untuk mendekatkan diri dengan Nayra. Wanita itu sangat tidak ia sukai. Ia tidak suka kisah mereka yang menceritakan perjuangan banyak Nayra untuk putranya.
***
Nayra tengah sibuk di dapur untuk membuatkan sarapan. Ia merasa senang dan lebih damai sekarang. Tidak adanya mertua membuatnya lebih santai dalam segala hal.
Ia bahkan sudah kembali memasang musik tatkala tengah sibuk di dapur. Satu hal yang sudah sangat lama tak ia lakukan. Hal itu membuat suaminya merasa senang dan akhirnya datang mendekat.
Ia memeuk wanita itu dari belakang membuat istrinya terjingkat karena kaget. Namun, ia juga membalas kasih sayang yang diberikan oleh pria itu terhadapnya.
"Aku masakin menu ini untuk hari ini ya, Sayang?" katanya dengan nada lembut.
"Apapun, Sayang. Kalau itu buatan tangan kamu. Aku pasti suka dan sangat suka. Hehe…" Memberi sebuah kecupan hangat di kening wanita itu.
"Mas, bisa aja. Kamu duduk aja sana. tungguin di meja makan aja, Sayang."
"Tidak, ah." Menolak dengan keras. "Aku mau menghiburmu seperti ini sampai selesai memasak. Jangan ditolak dong, Sayang."
"Bukan ditolak, Sayang. Tapi, kalau kita begini terus, yang ada malah tidak selesai-selesai acara memasaknya. Tolong ya suamiku, sabarlah sabar."
Bobby merasa kecewa, namun ia tetap menuruti perkataan istrinya. Ia cukup salut dengan wanita itu sebab tidak pernah malas-malasan. Selalu saja bersemangat untuk bangun dan mengurus dirinya setiap pagi.
"Cepat, Sayang. Aku sudah tidak sabar ingin makan masakanmu. Perutku sudah sangat kelaparan. Sayang, sayang, sayang. Cepat!" teriaknya begitu heboh.
Nayra sudah cukup paham dengan godaan pria itu. Dengan mudah, ia bisa menaklukkan hati sang suami.
"Minum air hangat dulu, ya, Suamiku. Tunggu aku sebentar lagi. semuanya akan beres."
Ia kembali sibuk dan selang setengah jam kemudian, wanita itu menyelesaikan segalanya. Sungguh, ia segera menyajikannya di hadapan sang suami yang tentu saja memujinya berkali-kali.
"Istriku terbaik…"
***