webnovel

PART 18

#

Aku menyesap teh di ruang kerjaku. Hari ini aku mengunjungi cafe tempat usahaku. Selain menjadi dosen aku juga memiliki beberapa usaha. Sebagai laki-laki aku harus bekerja keras. Dan inilah hasil kerja kerasku. Menjadi dosen di usia muda dan sukses memilki tempat usaha. Fikiranku kembali nyalang saat aku pertama bertemu kembali dengan orang dimasa laluku, yah Angel. Dia muncul setelah bertahun-tahun pergi. Rupanya ambisinya untuk menjadi model terkenal sudah terpenuhi. Aku tidak tahu apa maksudnya kembali hadir dalam kehidupan pernikahanku dengan Cinta. Tentu aku menolak kehadirannya, kini hatiku sudah sepenuhnya milik istriku. Dan sudah kupastikan tidak ada dia lagi didalamnya. Beberapa hari yang lalu ternyata Cinta bertanya dan mengetahui kalau aku sempat bertemu dengan mantanku itu. Tapi dia tidak tahu siapa yang menemuiku, kalau aku mengatakan siapa dia pasti akan tahu siapa orangnya. Tapi aku memilih untuk diam. Aku tidak mau membahasnya. Aku tersentak dari fikiranku tentang Angel saat salah satu karyawanku mengetuk pintu ruanganku.

"Permisi pak, ada bu Cinta datang. Dia meminta ijin untuk menemuin bapak."

Apa-apaan ini, dia istriku. Kenapa meminta ijin untuk menemuiku. Bahkan menyuruh karyawanku meminta ijin. "Suruh langsung masuk saja."

Pintu ditutup, tak lama Cinta masuk dengan senyumnya yang manis itu. Ditangannya membawa beberapa buku agenda khas gaya mahasiswinya, sedetik kemudian merebahkan tubuhnya di sofa ruangan kerjaku. Itu membuatku merasa tua saja saat dia bergaya seperti itu dan datang menemuiku . "Kenapa minta ijin mau masuk?." Tanyaku.

"Aku takut mengganggu. Tadi kan kamu bilang ke sini mau men cek laporan kerja managermu. Sudah pasti sibuk kan?." Jawabnya. Dia selalu sopan dan mengikuti tahu aturan yang kubuat untuk karyawanku. Meskipun istriku sendiri, dia selalu bertanya jika ingin masuk. Dia tidak berlagak seperti istri bos kebanyakan. Padahal dia juga memang bosnya.

"Kuliahnya sudah selesai?." Aku beranjak dari kursi kerjaku dan beralih menuju sofa menghampirinya. Dia hanya mengangguk.

"Aku kangen papa sama mama?." Ucapnya sambil menatapku. Matanya sedikit berkaca-kaca. Kenapa dia?. Batinku.

"Kita bisa video call mereka." Ucapku. Mungkin istriku ini sedang merindukan kedua orang tuanya. Kami duduk bersebelahkan, aku memeluknya. Dan istriku terlihat nyaman berada dalam pelukanku.

"Mama...!!!". istriku setengah berteriak saat panggilan video yang kulakukan terhubung. Menampilkan wajah ibu mertuaku.

"Hai anak mama yang cantik." Sejenak sapaan ibu mertuaku terhenti, dan kemudian gerakan matanya terlihat jelas memperhatikan kami. Kemudian tak lama tersenyum kembali.

"Mama senang tahu kalian bisa seperti ini. Hai Bara, apa kabarmu nak?."

"Alhamdulillah, sehat mah. Mama apa kabar? Papa juga apa kabar disana?". Tanyaku setelah menjawab sapaan dan pertanyaan mama Lira.

"Mama sehat, nak. Papamu juga sehat."

"Mama gimana sih? Anak mama kan aku. Bukan kak Bara!. Yang kangen mama itu aku, bukan kak Bara!." Protes Cinta.

Aku bisa melihat Cinta merengut kesal mendengar mamanya lebih memperhatikanku dan megobrol denganku dari pada dengannya. Aku gemas melihat tingkahnya begini, kalau sudah begini sifat manja dan kekanak-kanakannya muncul. Aku mengacak pelan rambutnya. "Anak kesayangan mama merajuk."

"Nggak lucu!." Sarkasnya.

"Kamu cemburu dengan suamimu sendiri, hah?." Kata mama Lira menggoda Cinta.

"Mama... Cinta kangen. Kangen kalian berdua."

Istriku malah menangis sekarang. Mungkin pernikahan yang terlalu cepat dan perpisahan dengan orang tuanya mengubah hidupnya dalam sekejap. Wajar kalau dia masih selalu ingin bermanja-manja dengan kedua orang tuanya. Cukup lama kami mengobrol, aku mematikan video call bersama ibu mertuaku setelah mendapati Cinta ternyata sudah tertidur dipelukanku. Padahal sebelumnya dia yang meminta menelepon mamanya, tapi dia juga yang mengabaikannya. Aku meletakkan tubuh Cinta di sofa, membenarkan posisi tidurnya senyaman mungkin. Design sofaku adalah sofabed, jadi berbentuk seperti kasur juga. Maka dari itu aku tidak khawatir Cinta kesakitan karena membiarkannya tidur di sofa. Dan kemudian aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

Waktu menunjukkan pukul 7 malam, pekerjaanku hampir selesai. Aku memutuskan untuk berhenti mengerjakan pekerjaanku. Aku harus membangunkan Cinta untuk makan malam. Yah aku membiarkan Cinta tertidur sejak memutuskan panggilan dari mama tadi sore. Dia terlihat lelah, dan aku tidak tega membangunkannya untuk sekedar menyuruhnya pulang. Lagi pula aku juga tidak bisa mengantarnya pulang.

"Sayang, bangun. Makan malam dulu." Kataku sambil membelai lembut puncak kepalanya.

"Heeemmm, jam berapa sekarang?". Tanyanya yang masih belum sepenuhnya sadar.

"Jam 7 malam, sayang." Kataku. Cinta akhirnya bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk. Rasa malas masih terlihat karena dia baru saja bangun dari tidurnya. "Tapi aku ngantuk." Katanya sekali lagi. "Makan dulu baru nanti tidur lagi." ucapku membujuk. Dan akhirnya Cinta patuh juga perintahku. Kami makan malam bersama diruangan kantorku. Cafe terlihat cukup ramai pengunjung. Aku bersyukur, setidaknya penghasilanku dan usahaku lancar. Aku jadi tidak khawatir untuk tidak bisa menafkahi istriku.

Sesi makan malam pun berakhir. Dan benar saja, Cinta melanjutkan kegiatan tidurnya yang tertunda tadi. Aku dengan segera melanjutkan sisa pekerjaanku mencek laporan keuangan dari manager cafeku. Dan kubiarkan Cinta melanjutkan tidurnya.

Jam menunjukkan pukul 9, aku bersyukur tidak terlalu malam untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kulihat pengunjung cafe masih ramai. Tapi aku tetap memutuskan untuk pulang lebih dahulu tanpa menunggu sampai cafe tutup.

"Halo, suruh Ryan kemari." Kataku setelah menutup panggilan telepon. Tak lama orang yang kusebut muncul diruanganku. "Saya pulang duluan,nanti kunci cafe bisa dibawa oleh yang bertugas esok pagi. Istrinya saya tertidur disini, jadi saya tidak mungkin menunggu sampai cafe tutup. Keuangan hari ini saya percayakan sama kamu." Kataku panjang lebar menjelaskan pada stafku. Karena selama ini aku jarang sekali bekerja dikantor cafeku. Aku mempercayakan pada manager kepercayaanku, karena managerku sedang ijin cuti 2 hari. Maka dari itu aku menggantikannya sementara. Lagipula memang ada yang harus aku cek secara langsung. Stafku mengangguk. Setelah stafku keluar. Aku segera menggendong istriku ala bridal style. Dan disaksikan beberapa pasang mata pengunjung cafeku dan juga stafku. Aku tidak peduli, toh ini istriku. Tidak ada salahnya kan. Saat kugendong keluar cafe, istriku meletakkan kepalanya dengan nyaman didadaku. Seolah menemukan bantak ternyaman didunia, bahkan sesekali dia bergumam dalam tidurnya. Dan aku menyukainya.

#

"Sayang, buku agendaku kemana?."

Astaga aku melupakan buku agenda milik istriku, pasti tertinggal di kantor cafeku. "Maaf sayang, sepertinya tertinggal di kantorku kemarin." Kataku.

"Yaahh, padahal di salah satu buku itu ada punya Mala. Hari ini aku janji mau balikin."

"Ya sudah, kita ambil dulu. Ayo kuantar." Tawarku. Dan dia mengangguk setuju.

Mobil melaju dengan kecepatan normal menuju arah cafeku. Sesampainya di depan cafe, aku memilih menunggu diluar cafeku, sedang Cinta masuk sendiri kedalam cafe. Hanya mengambil buku agendanya yang tertinggal, dia juga tidak mau kuantar. Aku sibuk dengan hp ku, saat aku melihat Cinta sudah berada di pinggir jalan hendak menyebrang. Kulihat ada mobil hitam melaju dengan kencang kearahnya, Cinta tidak melihatnya.

"Cintaaaaa...!!!! awasss!!!". Teriakku saat mobil itu hampir saja menabrak tubuh Cinta jika aku terlambat sedikit saja. Orang-orang juga berteriak awas. Aku melihat Cinta juga terkejut dengan kehadiran mobil itu yang datang tiba-tiba. Aku menarik tangan Cinta dan memeluknya dengan erat. Buku-buku agendanya tercecer di mana-mana. Aku tahu dia terkejut dan pastinya ketakutan. Kurasakan tubuhnya gemetar hebat, nafasnya memburu, jantung berdegup kencang. Itu bisa kurasakan karena tubuh kami saling menempel.

Nafasnya terus memburu seperti orang sesak nafas. Aku berusaha menenangkannya. "sudah-sudah. Aku disini. Kamu selamat." Aku terus membelai puncak kepalanya, berharap dia tenang.

"Sakit... saa...kit". rintihnya. Aku mendengar dia merintih kesakitan.

"Apa yang sakit? Apa ada yang luka?." Tidak ada jawaban, sedetik kemudian aku merasakan dia terkulai lemas dipelukanku. Astaga! dia pingsan!

"Cintaaa....! sayang! Hei bangun... Bangun...!."

#

"Bagaimana? Berhasilkah?. Bodoh!... Ok ok aku mengerti. Berita itu jauh lebih baik. Pastikan semuanya aman. Baiklah."

Dia kembali menyesap anggur, tangan lentiknya yang satu memegang rokok, setelah mematikan panggilan teleponnya. Seorang wanita cantik bertubuh tinggi datang dan berkata "This's wrong, Cam."

"Why? Kau mulai tidak suka aku melakukannya? Bukankah selama ini kau selalu membantuku? Apa kau merasa kasihan dengan mahasiswi bodoh itu?." Seru wanita tadi, sambil terus menghisap rokok dan kemudian menyesap perlahan anggur ditangannya.

"I can do anything for my love, Sharel. And you can't do something to stop it." Tambahnya.

"Camel, i don't know what's in you're brain. But if you still do that, you can get in trouble." Kata Sharel mencoba mengingatkan. Ya, ternyata dia sedang berbicara dengan Camelia Angeli. Wanita cantik yang terlihat anggun dan manis itu berubah menjadi sosok yang menyeramkan ketika merencakan sesuatu.

"I never scared about anything, is about love. He's mine!." Ucap Angel. Dia bahkan tidak peduli dengan nasehat temannya.

"I have to go. I just wanna say, be carefull. I can't help you again."

#

"Bagaimana keadaan istri saya dokter? Apa semua baik-baik saja?". Aku langsung bertanya ketika melihat dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi istriku keluar dari ruang IGD. "Tadi dia pingsan karena syok hampir mengalami kecelakaan." Tambahku. Aku cukup khawatir melihat kondisinya, maka dari itu aku membawanya ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya baik.

"Istri anda memang mengalami syok. Beruntung sekali ada cepat membawanya kerumah sakit, sehingga istri anda cepat mendapat penanganan. Karena jika terlambat istri anda bisa kehilangan nyawanya."

Aku terkejut bukan kepalang mendengar penuturan dokter. Apa-apaan dokter sialan itu mengatakan istriku bisa meninggal hanya karena syok. "Apa maksud dokter? Dia hanya syok, dok." Kataku setengah membentak.

"Ini dinamakan syok kardiogenik. Syok yang bisa dialami pada penderita jantung lemah atau yang biasa disebut Kardiomiopati. Syok ini bisa terjadi akibat menurunnya aliran darah ke jaringan tubuh. Seperti yang tadi bapak ucapkan, kalau istri anda baru saja hampir mengalami kecelakaan. Mungkin itu penyebab istri anda mengalami syok Kardiogenik. Terlambat penanganan bisa mengakibatkan istri anda mengalami serangan jantung tiba-tiba dan bisa membuat jantungnya berhenti berdetak saat itu juga."

Bak petir disiang hari, penjelasan dokter barusan membuatku tak bisa berfikir. Lidahku kelu, tubuhku kaku. Apa yang sebenarnya disembunyikan istriku. Kenapa aku justru tidak mengetahui kondisi kesehatan istriku sendiri.

"Ja..di maksud dokter, istri saya...?." kalimatku menggantung, seolah tahu apa yang akan aku tanyakan. Dokter itu mengangguk. "Benar pak, istri anda memiliki penyakit lemah jantung atau kardiomiopati. Penyakit ini bisa saja penyakit turunan atau tidak. Jadi bapak tidak tahu?."

Aku benar-benar tidak tahu tentang penyakit istriku. Kenapa dia menyembunyikannya. Dan kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini.

"Untuk beberapa saat kedepan biarkan istri anda beristirahat disini. Perawat akan memindahkan ke ruang rawat, kalau nanti sore kondisinya membaik istri anda boleh pulang. Saya memberikan suntikan bius untuk membuat istri anda lebih lama beristirahat, mengingat kondisi yang baru saja dia alami." Aku mengangguk, setelah memberikan penjelasannya dokter itupun pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Aku jauh lebih terkejut mendengar semua kenyataan soal penyakit yang diderita istriku.

Aku melangkah gontai menyusul istriku yang tengah terbaring lemah diatas brangkar yang didorong perawat membawanya ke ruang rawat yang telah disiapkan. Aku tidak percaya bagaimana ini bisa terjadi padanya. Satu kejadian kecil saja bahkan bisa menghilangkan nyawanya sewaktu-waktu.

Perawat selesai memindahkan istriku ke ruang rawat dan meninggalkan kami setelah selesai memindahkan kantong infus ke tiang penyangga diruang rawat yang baru. Aku memandangi lekat-lekat wajah pucat istriku yang tertidur pulas akibat bius yang diberikan dokter. Sejenak aku mengingat untuk memberi kabar kedua orang tuaku dan kedua mertuaku. Bagaimanapun mereka harus tahu, ini bukan hal yang harus kututupi, mereka harus tahu.

Kutekan nomor mama mertuaku, tak berapa lama teleponku tersambung.

"Halo mah." Kataku menyapa terlebih dahulu. "Halo, nak. Ada apa menelpon mama? Kalian baik-baik saja kan?." Seolah tahu apa yang sedang terjadi, mama mertuaku langsung bertanya kabar kami.

"Ma, kami tidak baik. Cinta..."

"Cinta? Cinta kenapa Bara?". Raut kekhawatiran jelas langsung terpancar di gurat wajah mama mertuaku saat mendengarku mengatakan kami tidak baik dan saat aku menyebut nama Cinta, anak perempuannya.

"Cinta... Cinta masuk rumah sakit mah." Kataku, terpaksa memberitahunya.

"Apa??? Cinta masuk rumah sakit?"

Bersambung...