webnovel

PART 16

#

"Diam, dan duduk dengan tenang. Kamu bisa pegang ujung sprei itu, atau lengan tanganku. Asal jangan ganggu pergerakanku untuk mengobati lukamu".

Cinta hanya menunduk patuh mengikuti arahan Bara. Malu, itulah yang kini ia rasakan. Setelah apa yang ia lakukan tadi terhadap Bara, meskipun ia adalah suaminya sendiri. Tapi sejauh pernikahannya dengan Bara, ia tidak pernah berbuat lebih.

"ssshhhhhhh". Rintihan suara Cinta yang kesakitan membuat Bara terkesiap, meskipun ia sudah berusaha berhati-hati saat mengobati luka Cinta. Tetap saja istrinya pasti merasakan sakit yang lumayan akibat luka sayatan yang dialaminya. "Sabar, tahan sebentar lagi." Ucapnya menenangkan. "Sebaiknya kita ke rumah sakit saja, ini cukup dalam. Mungkin beberapa jahitan bisa sedikit menutup lukanya." Imbuhnya.

Apa? Dijahit? Jarum?. Itulah yang pertama kali difikirkan oleh Cinta, ia tentu tahu kalau dijahit sudah pasti kulitnya akan merasakan sakitnya ditusuk jarum. Hanya keluarga dan sahabatnya Mala yang tahu betapa takutnya seorang Cinta Anastasya denga jarum suntik. Ia bahkan benci rumah sakit.

"TIDAKK!!!". Cinta reflek berteriak. Membuat Bara secara otomatis menutup sebelah telingannya.

"Tidak perlu teriak kan bisa."

"Aa...aku...aku tidak perlu ke rumah sakit. Pakai itu saja." Raut ketakutan diwajah Cinta tercetak begitu jelas. Membuat Bara mengernyit bingung.

"Kenapa? Jangan bilang kamu takut jarum suntik?". Bara bertanya.

"A..aku..aku... sudahlah kak, pakai itu saja. Dan tidak perlu ke rumah sakit, besok juga sembuh. Aku bisa tahan sakitnya. Tidak perlu ke rumah sakit ya?." Ucap Cinta memohon agar dia tidak di bawa ke rumah sakit.

"Ok, ok. Aku tidak akan membawamu ke rumah sakit. Tahan sebentar ya."

Bara kembali melanjutkan prosesi pengobatan luka di tangan Cinta. Sesekali Cinta meringis kesakitan, saat mendengar rintihan istrinya, Bara meniup lukanya agar sedikit meringankan rasa sakitnya. Diam-diam Cinta memperhatikan Bara yang sangat serius mengobati lukanya, ia bahkan melihat bulir-bulir kecil keringat di dahi Bara. "Aku yang luka dan diobati, dia yang mengeluarkan keringat". Batinnya dalam hati. Sambil tersenyum ia juga berfikir ternyata suaminya sangat perhatian padanya disaat dia sedang terluka. Andai saja pernikahannya tidak ada pengaturan seperti yang Bara ucapkan diawal sejak mereka tinggal dirumah ini, mungkin hari-harinya akan dilewati dengan suka cita. Dan mungkin dia juga akan merasa menjadi wanita yang paling bahagia karena memiliki suami tampan yang juga berprofesi sebagai seorang dosen.

"Done! Fiuuhhhhhh. Seperti mengoprasi pasien dirumah sakit."

Ditengah lamunannya tentang kehidupan pernikahannya, Cinta tersadar ketika Bara berucap sembari merebahkah tubuhnya diatas ranjang Cinta dengan kaki yang masih menjuntai kebawah.

"Oh, sudah ya?. Terima kasih banyak." Kata Cinta sambil melihat benda putih yang terlilit rapi ditangannya.

Bara masih terdiam dalam posisinya, sedang Cinta masih sibuk menatapi tangannya yang diperban. Seketika fikirannya kembali melayang tentang kejadian tadi siang dikampus tentang pacar suaminya. Ia ingin bertanya tapi enggan membuka mulut. Sedangkan ego di hatinya meronta ingin memaksanya bertanya.

"Hmmm, Kak?". Panggilnya.

"Hmmm?" di balas Bara dengan dehemannya.

"Aku...aku mau...hmmm".

"Apa? Mau apa?" Tanya Bara.

"Hmmm tidak jadi, makasih ya sekali lagi. Perbannya rapi." Cinta urung bertanya, ia justru mengalihkan ucapannya dan mengucapkan terima kasih lagi tentang perbannya. Gadis bodoh!. Rutuknya sendiri.

#

Pagi telah datang, sinar mentari pun telah menyapa dua penghuni dirumah itu. Meskipun sang empunya masih terlelap dalam tidurnya. Cinta bergerak lembut diatas ranjangnya, ketika ia merentangkan tangannya salah satu tangannya menyentuh sesuatu. Dalam keadaan mata tertutup ia coba meraba sesuatu yang ia sentuh.

"Berhenti meraba dadaku, atau ini akan membuat kita berakhir dengan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya." Suara itu terdengar berat namun tetap datar. Suara maskulin seorang pria yang ia kenal betul siapa pemiliknya. Matanya terbuka lebar untuk memastikan sosok tersebut, dan benar saja ia menemukan sang pemilik suara itu tepat disampingnya.

"Loh...loh.. kok..aa..paa.. yang ka..kakk lakukan disini?". Tanyanya terbata-bata.

"Apalagi, tidur." Pria itu menjawab dengan santai namun masih terdengar datar. Ya siapa lagi pria yang dimaksud tidur disebelahnya, dia suaminya, Bara Aditya.

Cinta bergegas bangun dari posisi tidurnya dan merubah posisinya menjadi duduk. Dengan reflek dia menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Untuk apa menarik selimutnya? Kamu memakai pakaian yang lengkap. Aku juga sama. Jadi bersikaplah santai." Bara berkata seolah dia tahu apa yang tengah dilakukan oleh Cinta, padahal matanya masih tertutup rapat. Dia bisa mengetahuinya karena selimut yang di tarik oleh Cinta secara otomatis ikut tertarik dan menutupi keseluruhan tubuhnya.

"Cepat bangun, setengah jam kelasmu mulai." Kelas? Astaga Cinta melupakan kalau dia ada mata kuliah pagi, dan Bara baru memberitahunya saat waktu tersisa tinggal setengah jam lagi.

"Haaaahhhh, astaga aku bisa telat!".

Cinta segera berlari pergi menuju walk in closet. Dia mempercepat ritual mandinya secepat mungkin. Bara juga sudah kembali ke kamarnya untuk bersiap ke kampusnya. Mereka selesai bersamaan, Bara tak membutuhkan waktu lama untuk bersiap, sedang Cinta. Waktunya habis untuk berpakaian dan ditambah make up seadaanya.

"Kita bareng kekampusnya." Ujar Bara singkat.

Terserah. Batin Cinta.

#

"Tumben telat?" Tanya Mala.

Aku masih terengah-engah, engan menjawab karena nafasku yang tersengal akibat berlari menuju area kampus. Mungkin kalau aku tidak bertindak bodoh tadi, aku bisa 10 menit lebih dulu sampai.

"Pak Wahyu udah masuk 5 menit yang lalu, dia cuma nitip tugas. Tenang aja lo udah gue absenin". Mala tersenyum setelah berkata.

Kalian tahu betapa syoknya aku mendengar apa yang barusan diucapkan Mala.

Flashback

Aku bergerak gelisah, tapi orang yang sedang duduk disampingku begitu santai dan tak menghiraukan kegelisahaanku "Kak, nanti aku turun didepan situ saja". Kataku yang masih gelisah. "Ok" jawab lelaki di sampingku yang sedang mengemudikan mobilnya dengan santai.

Dan benar saja, aku benar-benar diturunkan di tempat yang tadi kuminta. Bukan bagaimana, saat itu aku berfikir, aku hanya tidak mau ada mahasiswa/mahasiswi lainnya melihatku datang bersama kak Bara. Mereka belum tahu kalau aku dan kak Bara adalah suami istri, kecuali sahabatku, Mala.

Tanpa berfikir panjang aku berlari sekencang mungkin memasuki area kampus, dan terus berlari menuju ruang kelasku. Dan bodohnya aku, tentu mobil yang barusan ku naiki melaju lebih dulu meninggalkanku yang masih terus berlari. Aku mengumpat saat berlari "Siall...sial... siall!!!". Kataku sambil terus berlari. "Harusnya aku tetap ikut sampai masuk parkiran mobil, kenapa aku malah takut dengan orang-orang karena aku tidak mau mereka tahu aku datang ke kampus bersama kak Bara, dosenku sendiri. Suamiku!." Aku terus saja berlari sambil menggerutu. Aku terengah, nafasku menjadi tersengal-sengal karena berlari. Sedikit lagi aku sampai di depan kelas.

"Haaahh.hhhhaaahh". aku terengah. Mala bertanya, aku enggan menjawabnya. Aku masih sibuk mengatur deru nafasku yang memburu, jantungku sedikit nyeri akibat aku berlari tadi.

Flashback off

#

"Nih minum dulu, gue tahu lo masih capek dan syok dengar pak Wahyu nggak jadi ngajar."

Mala menyodorkan segelas es teh dan aku mengambilnya sedikit kasar, sekali teguk air bercampur es batu dan teh itupun kandas tak bersisa. Aku masih kesal, ternyata sekuat apa aku tadi berlari sia-sia saja. Mataku masih menampilkan ekspresi marah, bisa-bisanya aku dikerjai oleh suamiku sendiri. Dia seharusnya tahu kalau ada dosen yang sewaktu-waktu tidak bisa mengajar, atau bahkan memotong jam mengajarnya. Karena sesama dosen biasanya saling berkoordinasi mengenai jam mengajar, entah dia akan masuk hanya beberapa jam atau bahkan ijin mengosongkan kelas.

Aku merasakan sakit dibagian jantungku semakin jadi, tapi aku menahannya sekuat mungkin. Sejauh ini hanya keluargaku saja yang mengetahui apa yang terjadi dalam diriku, bahkan sahabat kuliahku, Mala saja tidak mengetahuinya. Apalagi laki-lagi yang baru beberapa bulan bersamaku dan berstatus suamiku itu. Harusnya tadi aku meminum air putih terlebih dahulu, tapi amarahku membuyarkan otak warasku. Sehingga apa saja minuman/makanan apa saja yang diberikan ku makan begitu saja.

"Aaahh ya, aku berlari terlalu kencang tadi." Batinku. Aku tidak berusaha menyentuh dadaku untuk menahan sakitnya, aku berusaha kuat untuk tidak menampilkan ekspresiku. Selama ini aku juga berusaha kuat menutupinya.

"Aku ke toilet dulu ya, Mal." Kataku. Berusaha menetralkan nada suaraku dan memberikan ekspresi yang biasa agar Mala tidak curiga.

Aku mempercepat ritme langkahku setelah sampai didepan pintu toilet, aku bergegas masuk kedalam dan mengunci rapat pintu toilet. Hanya ada aku didalamnya yang terduduk dilantai sambil menekan dadaku dengan kedua tanganku. Rasanya sakit sekali,seperti ada ribuan jarum menancap di jantungku. Aku tidak bisa berbuat banyak, aku mencoba mencari didalam tas, obat yang selama ini selalu kubawa. Dengan segera aku meminumnya. Kemudian kembali menekan dadaku dengan dua tanganku, berharap rasa sakit didalamnya segera pergi. 5 menit... 10 menit... 15 menit... akhirnya siksaan itu pergi juga. Aku menghela nafas lega. Terima kasih ya ALLAH!. Itulah yang selalu kuucapkan setiap kali siksaan itu hilang. Aku segera berdiri setegak mungkin, setelah memastikan bahwa aku baik-baik saja. Kulihat sekilas, wajahku memucat begitu saja. Bahkan lipgloss yang menutupi bibirku tadi tidak bisa menyembunyikan wajah pucatku. Yaaah, aku selalu semenyeramkan ini ketika rasa sakit itu datang. Ku perbaiki penampilanku sebelum meninggalkan toilet.

#

"Pak Wahyu tidak jadi datang?". Laki-laki tampan yang berstatus suami disebelahku ini tampak dengan santai bertanya kepadaku. Cihhh, untuk apa dia bertanya kalau sudah tahu jawabannya. Kau hampir membuatku mati, asal kau tahu.

Aku masih bertahan dengan kediamanku. Aku lebih memilih berkutat dengan tugas yang diberikan. Aku mengerjakan tugasku di ruang tamu, dan tiba-tiba saja kak Bara mengikutiku dan duduk bersamaku diruang tamu juga.

"Marah?". Tanyanya lagi. Hadeeeh, kau fikir apa lagi. Karena ide bodohmu kak, mamaku mungkin bisa saja kehilangan anaknya yang lucu ini. Kalau papaku tahu, mungkin tidak akan memaafkanmu. Batinku dalam hati sambil meliriknya dengan tatapan seolah-olah akan membunuhnya.

"Maaf". Katanya, aku masih setia dengan kediamanku. Tak kuhiraukan dia yang beberapa kali bertanya.

"Jangan marah. Aku minta maaf."

Aku tak bisa mengelakkan mataku yang bergerak ingin menatapnya, bagaimana tidak. Lelaki itu bersimpuh di hadapanku, meminta maaf padaku.

"Iya-iya. Dimaafkan." Kataku singkat. Sebenarnya aku hanya risih karena dia berlutut didepanku saat aku sedang fokus-fokusnya mengerjakan tugasku.

"Cinta!". Panggilnya.

"Cinta".

"C"

"I"

"N"

"T"

"A".

Lelaki itu sukses mengganggu konsentrasi belajarku. Aku jengah melihat sikapnya, kututup laptopku dan berbalik menatapnya marah. Bukannya merasa bersalah, dia malah mengeluarkan puppy eyes nya. Aku ingin sekali tertawa, itu sama sekali tidak cocok untuknya. Setenang mungkin aku menyembunyikan tawaku, dan ekspresi marahku berhasil mendominasinya lagi.

"Apa lagi kak???!". Kataku sinis.

"Kamu ini kenapa sih? Dari tadi bawaannya sinis melulu, masih marah?". Fiuhhhh, helloowww... siapa juga yang tidak marah. Leluconmu membahayakanku. Sebenarnya ini bukan salahnya, karena dia tidak tahu sama sekali. Akulah yang memilih tidak memberitahunya, bahkan aku yang mengancam orang tuaku untuk tidak memberitahunya dulu. Berbagai macam alasan dan ancaman aku lakukan. Tidak ada yang boleh tahu tentang apa yang aku alami, sekalipun suamiku sendiri. Suami? Dia bahkan belum menerimaku.

"Hei, aku kan sudah minta maaf. Jangan marah."

"sudahlah kak, jangan menganggu. Aku sibuk, tugasku belum selesai kak." Kataku selembut mungkin.

"Ehhmmm, Cinta. Bisa tidak jangan memanggilku kakak. Aku terdengar seperti kakakmu. Aku kan suamimu."

Mendengar kata suami, aku langsung reflek mengingatkannya tentang hal yang mungkin dia lupakan.

"Bukannya kak Bara sendiri yang memintaku untuk menjalani kehidupan kita layaknya seperti biasa. Pengaturan pernikahan. Itu kan yang kakak ucapkan diawal."

Aku terpaksa berkata begitu, mengingatkannya. Asal kalian tahu ya? Hatiku sakit saat mengingatnya lagi. Aku yang dari awal terpaksa menerima perjodohan ini, hingga akhirnya aku dengan pasrah menerima seperti apa suamiku dan berniat mengabdikan diri setelah menikah. Ternyata diawal penikahan suamiku sendiri bahkan sudah memberi pengaturan. Ini bahkan terdengar seperti kawin kontrak, hanya saja dalam waktu yang belum ditentukan sampai kapan.

"Maaf". Kudengar dia lagi-lagi mengucap maaf, aku bahkan hampir bosan mendengarnya.

"Soal itu aku minta maaf. Tapi..."

"Tapi apa?" Tanyaku. Jujur aku penasaran dengan ucapannya yang menggantung.

"Bisakah kita melupakan pengaturan itu?".

Damn.

Dia mengatakan itu. Tapi sejenak otakku berfikir, tentang panggilan yang dia lontarkan.

"Ok, aku akan melupakan sejenak pengaturan itu, Jadi aku harus memanggil kakak apa?"

"Bara. Panggil aku Bara." Ucapnya. "umur kita tidak begitu jauh berbeda, jadi panggil namaku saja".

"Ok, tapi saat dikampus aku akan tetap memanggilmu Pak Bara". Kataku. Jelas. Kami kan suami istri dalam pengaturan. Aku ikuti mau dia. "Itu saja?" tanyaku lagi.

"Kamu...." Katanya. Lagi-lagi ucapannya menggantung.

"apa?". Akhirnya ku bertanya lagi. Sebenarnya apa maunya.

"Bisa tidak, mulai sekarang kita lupakan pengaturan pernikahan yang dulu sempat dengan bodohnya aku ucapkan?"

"Ma...maksudnya?"

"Kita hidup sebagai layaknya pasangan suami istri"

WHAATTT???

SUAMI???!!

ISTRI???!!!

Bersambung...