"Ha?" Hanya satu kata itu yang terlintas dalam benak Ana. Pacarku? Apa ia tidak salah dengar.
Sebelah alis Ravi terangkat ke arah Ana yang memandangnya bingung. Ia pun berkata, "Ya, pacar temanku," ujarnya tanpa ragu. "Kenapa? pacarnya itu lelaki, kok," bohongnya dengan ekspresi yang meyakinkan.
Ana berpikir sejenak, lalu tertawa kecil. Ah, berarti ia salah dengar tadi. Lagian mana mungkin pria itu ingin melamarnya jika sudah memiliki pacar? Ia lalu mengangguk. "Aku ke sekolah dulu."
Ia menuju ke sepeda merah jambu yang terparkir di sana. Di depan sepeda itu ada keranjang yang muat menampung tas sekolahnya. Ravi terlebih dahulu memegang sepeda itu.
"Biar aku antarkan dengan mobil, supaya tidak terlambat," tawarnya. Meski tawarannya itu terlihat baik dan terkesan peduli, tetapi intonasi datar dan ekspresi dinginnya belum berubah. "Tinggalkan saja sepeda ini, nanti kita jemput lagi."
Tanpa meminta persetujuan dari Ana, ia menepikan sepeda yang terparkir sembarangan itu agar tak mengganggu orang lewat. Setelah itu, ia berjalan menuju mobilnya dengan tas Ana di tangan.
Ana terdiam di posisinya. Ia baru tersadar ketika Ravi terus memandangnya di sebelah mobil. "Perlu aku gendong ke sini?" tanyanya datar.
Pertanyaan itu membuat Ana berlari mendekat dengan wajah panik. "Tidak. Ayo, pergi!" serunya. Bahkan, ia yang terlebih dahulu memasuki mobil, duduk di samping kursi kemudi.
Senyuman tipis terukir di bibir Ravi. Tingkah gadis itu lucu juga. Ia pun turut masuk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Jarak ke sekolah tempat Ana mengajar hanya lima menit berkendara dengan mobil. Walau singkat, rasanya Ana sangat tersiksa berdua dengan Ravi di dalam mobil karena keheningan yang tercipta.
Tidak ada yang memulai pembicaraan. Wajah Ravi pun tampak fokus ke depan, ia sibuk menyetir tanpa berniat mengajak gadis di sebelahnya mengobrol atau sekadar berbasa-basi. Sedangkan Ana bergeming, menahan rasa gugup. Ia juga merutuki diri sendiri karena dengan bodohnya masih memelihara perasaan cinta bertepuk sebelah tangannya untuk waktu yang lama.
"Aku jemput pukul berapa?" tanya Ravi saat mobil telah berhenti di depan gerbang. "Zeana?" panggilnya ketika gadis di sebelahnya bermenung dan belum menyadari keadaan.
"Ah, ya?" Ana tampak kaget. Ia lalu tertawa kecil. "Aduh, maaf. Ternyata sudah sampai." Ia bergegas mengambil tas. Namun, tangan Ravi menahan tas itu.
"Aku tanya ... kamu mau dijemput pukul berapa nanti?" ulangnya sabar, lalu melepaskan tas itu.
Ana memakai tas dengan segera, dan menjawab, "Setelah Asar, ya. Banyak perangkat kelas yang harus aku selesaikan di sekolah."
Ravi mengangguk. Sebelah bibirnya terangkat. "Oke, selamat bekerja, Calon istri."
Mata Ana refleks melotot. Ia memalingkan wajah, mengangguk cepat dan segera turun. Saking groginya, ia lupa mengucapkan terima kasih. Sudahlah, lagian nanti akan bertemu juga.
Sementara itu, Ravi menatap datar ke arah Ana yang memasuki gerbang sekolah. Gadis itu disambut oleh banyak siswanya yang berwajah ceria.
"Aku harus berusaha agar dia mau menjadi istriku," kata Ravi datar. "Karena aku benar-benar tidak ada harapan untuk menikahi Risa sekarang. Tidak apa, besok-besok aku masih bisa melamar Risa lagi ketika dia sudah mencapai impiannya."
Ia pun menjalankan mobil menuju sanggar melukis. Seharian ini jadwalnya mengajar kelas umum yang berisi orang-orang dengan rentang usia 19 tahun ke atas, biar nanti sekalian mandi pagi di sana. Ya, ia juga seorang guru meski tidak di lembaga pendidikan pemerintah.
***
Ana melihat jam di tangan, yang menunjukkan pukul empat sore. Sebelah tangannya terulur untuk memijat pundak yang sakit karena terlalu lama mengerjakan tugas di depan laptop.
Saat ini, suasana sekolah sangat sepi. Para siswa sudah pulang sedari siang, dan guru lain juga sudah pulang sebelum Asar tadi. Meski telah menunggu selama setengah jam, ia sama sekali tak kesal, dan terus tersenyum. Lagian salahnya juga tadi tidak menyebutkan pukul berapa, dan mereka belum bertukar nomor ponsel. Bodoh sekali!
Kedua mata Ana melebar ketika mobil Ravi berhenti di depannya. Pria itu keluar dari mobil, membuat Ana terpana. Mungkin benar jika dikatakan bahwa Ana yang paling tergila-gila padanya sedari bangku sekolah dulu. Bukan obsesi, tetapi cinta pertama yang indah. Sebenarnya ia sudah mengikhlaskan Ravi, sungguh. Namun, lihat sekarang ... takdir sendiri yang membawa pria itu datang padanya. Mungkin, mereka berjodoh?
"Kenapa menatapku begitu?" Ravi mengernyit, ia berdiri di depan Ana yang terus memandangnya.
Ana mengerjapkan mata berkali-kali. Ia baru sadar jika ternyata pria itu sudah berdiri tepat di depannya. "Ah, itu ...," Ana menunjuk pipinya sendiri, "ada noda cat biru."
Ravi terlihat santai, ia mengangguk. "Ya, aku pelukis. Setelah menikah nanti kamu akan melihat lebih banyak bagian tubuhku yang terkena cat," ujarnya datar. "Apa noda cat mengganggumu?"
Senyuman Ana tertahan, ia menggeleng kuat. "Aku senang kamu masih melukis sampai sekarang. Sewaktu masa sekolah dulu, kamu selalu mendapatkan juara melukis--"
"Jangan membahas masa lalu," potongnya. "Aku yakin kamu juga tidak menyukai masa lalu kita waktu itu."
Hening tercipta sesaat di antara mereka. Ana terdiam, ia menunduk. Benar apa yang dikatakan pria itu, tetapi ia sudah memaafkannya.
"Ayo, pergi," ajak Ravi yang lebih dahulu masuk ke dalam mobil, seketika Ana menyusul untuk duduk di sampingnya.
Ravi mulai mengegas mobil perlahan. Ia terus berpikir, jika ia harus memperlakukan gadis yang duduk di sebelahnya ini dengan baik agar mau menjadi istrinya, tetapi bagaimana caranya? Sedangkan di satu sisi hatinya sedang hancur, dan bukan gadis ini yang diinginkannya, apalagi dicintai.
"Jangan melirikku terus, lebih baik bantu aku membersihkan noda di wajah ini." Intonasi suaranya terdengar lembut, dengan senyuman tipis di bibir. "Ambil selembar tisu itu, dan beri air." Ia menunjuk dengan dagu tisu yang terletak di dasbor.
Entah mengapa Ana mengikuti perkataan Ravi. Namun, ketika hendak membersihkan noda di wajahnya, tangan Ana malah meletakkan tisu di atas kepala Ravi, sehingga membuat pria itu terkejut. "Bersihkan saja sendiri," sinisnya. "Hanya menjemputku sekali, malah seenaknya menyuruh-nyuruh," cibir Ana.
Ia seperti mendapatkan kekuatan untuk tak terlampau memerlihatkan perasaannya. Meski cinta, ia tetap harus berhati-hati, karena pernikahan tetaplah sebuah hal yang kompleks dan tidak bisa bermodalkan cinta saja.
Ravi menyeringai, sepertinya gadis itu ingin bermain-main dengannya. Ia pun menghentikan mobil karena mereka sudah sampai di depan gedung apartemen untuk menjemput sepeda Ana.
Ia mematikan mesin mobil, lalu mendekatkan wajah pada Ana. "Ambil kembali tisu ini," suruhnya.
Ana menelan ludah. Wajah mereka berjarak dekat sekali. Ia segera mengambil tisu itu. "Udah!" serunya sedikit kesal.
Tawa kecil lolos dari bibir Ravi. Ia masih belum menjauhkan wajahnya, sebelah alisnya terangkat. "Ternyata mudah menyerah, hm?"
Ana mengambil kertas catatan kuning berbentuk persegi kecil dari dalam tas. Ia menulis "Kartu kuning: tidak sopan (I)" di sana, dan menempelkannya di kening Ravi. "Lain kali harus jaga sikap!" serunya, lalu keluar dari mobil.
Kening Ravi berkerut, ia bingung. Tangannya mengambil kertas di kening, dan membacanya. Sontak ia tertawa sambil menggeleng. "Dasar, guru! Memangnya aku muridnya?" Ia pun menyimpan kertas itu di saku baju.
Ana sudah menaiki sepeda, membuat Ravi bergegas menghadangnya. "Biar aku antarkan. Aku pria yang bertanggung jawab, mengantarkan wanita sampai di depan rumahnya."
"Tidak usah!" tolak Ana segera. "Jika ingin ke rumahku, datang saja bersama orang tuamu nanti malam."
Kedua alis Ravi pun terangkat. "Benar? Aku boleh datang?" tanyanya memastikan.
Ana mengangguk. Ia pun mengayuh sepedanya, segera pergi meninggalkan Ravi yang terlihat senang.
"Yes!" Ia memandang kepergian Ana. "Ternyata dia masih sama seperti yang dulu. Gadis unik dan menarik." Ia merogoh saku baju, melihat kertas yang ditempelkan Ana pada keningnya tadi. Ia kembali tertawa kecil. "Kenapa ketika bersamanya selalu sedikit menyenangkan?"
Tiba-tiba pikiran Ravi mengenang masa silam. Sebenarnya dulu mereka hampir bersama, tetapi ada masalah besar yang terjadi, salah satu masalah itu adalah ia yang menyuruh Ana untuk pergi.
"Jadi, dia itu rencananya gadis yang akan kamu nikahi?"
Ravi berbalik, ada Risa berdiri dengan kedua tangan di depan dada. Tatapan gadis itu sangat tajam.
"Risa?" Ravi terlihat kaget.
"Aku tidak menyangka, selama ini kamu memiliki selera seni yang tinggi dan tergila-gila dengan keindahan, tetapi malah menikahi gadis yang 'seperti itu'," ungkapnya remeh. "Lihat saja penampilanya. Aku baru tahu ternyata pacarku begitu naif." Sebelah sudut bibirnya terangkat, sambil tertawa mengejek. Sedangkan Ravi terdiam. Ia agak tidak suka ketika Ana direndahkan seperti itu. "Eh, atau ...," ternyata Risa belum menyelesaikan ucapannya, "dia itu gadis bayaranmu?" hinanya bertubi-tubi. "Dia terlihat sangat membutuhkan uang."
Tangan Ravi refleks mengepal.