webnovel

Pria Itu adalah Suaminya

Dua tahun kemudian....

Dengan matahari sore yang terik di luar, orang-orang dari Departemen Desain di Perusahaan Konstruksi Berlian bekerja dengan lesu.

Mia sedang duduk di ruang rapat dengan satu tangan di pipinya dan pensil di tangan lainnya untuk membuat sketsa gambar.

Karena rapat belum dimulai dan direktur belum datang, beberapa orang yang datang lebih awal berkerumun untuk menggunjingkan majalah hiburan.

"Petra terlalu sering bergonta-ganti wanita, katamu? Bukannya kalau begitu publik bisa bosan dengan disorotnya skandal seperti itu setiap hari?" Daran mengoceh.

Layla menggoda dengan rambutnya yang dikeriting dan berkata dengan santai, "Menurutku kamu cemburu.... Selama beritanya soal Petra Ardian, koran dan majalah mana yang tidak akan terjual?"

"Eh…." Fira si asisten magang ikut datang untuk mengobrol dengan wajah seperti orang bodoh. Dia sedikit memiringkan kepalanya untuk berkhayal. "Oh, Tuan Muda Petra tampan sekali, ya.... Kalau bisa, lebih baik kalau bisa melihatnya secara langsung."

"Bodoh...." Daran memutar matanya. "Pria seperti Petra pasti punya kedok, dan tidak mungkin dia berada dalam bayang-bayang keluarganya."

"Salah," Layla menggelengkan kepalanya. "Meskipun keluarga Petra Ardian diwarisi Grup Kaisar secara turun-temurun, kalau sudah sampai pada Petra, dalam waktu kurang dari tiga tahun…. Sudah berapa jauh perkembangannya!"

Layla menghela napas dengan sedih dan berkata dengan nada menenangkan, "Pria sesempurna itu hanya ada dalam mimpi perempuan. Entah itu penampilan atau kekuatan!"

"Oh, kalau sudah begini... aku penasaran juga." Fira membelalakkan matanya. "Petra secara resmi mengambil alih Grup Kaisar dan menikah setelah beberapa bulan, tapi aku belum pernah melihat istrinya muncul di depan publik selama bertahun-tahun!" kata Fira, tangannya menopang dagu. "Petra punya skandal dengan artis-artis. Yang paling membuatku penasaran adalah... bagaimana perasaan istrinya?" Fira melanjutkan, "Intinya, Bu Petra yang legendaris itu ada atau tidak?"

"Mungkin juga yang disebut 'Bu Petra' itu hasil spekulasi oleh media, tetapi sebenarnya tidak ada orangnya," Andini, anggota tim teknisi proyek yang menelungkup di atas meja, berkata sambil menghela napas.

"Bu Petra ini benar-benar ada..." kata Sely, yang belum berbicara. "Temanku adalah seorang reporter dan ingin meliput pernikahan mereka, tetapi kerahasiaan keluarga Petra Ardian terlalu tinggi, dan pada akhirnya tidak ada yang bisa difoto."

"Omong-omong, satu lagi…. Perempuan yang mau menikahi pria kaya itu menyedihkan!" Layla mendengus dingin. "Kelihatannya memang indah, tapi sebenarnya sederhana saja."

"Jadi, tetap saja, laki-laki yang paling bisa diandalkan adalah yang seperti kita," Daran bergegas menyahut. Dia melirik Layla dengan senyum menyanjung.

Layla memutar matanya dan terlalu malas untuk meladeninya, tapi dia melihat ke arah Mia, yang tidak terpengaruh oleh mereka. "Nah, Mia, cantik, bagaimana bisa kamu sangat berkonsentrasi bekerja?"

Fira melirik Mia dan sedang membuat sketsa rancangan dan berkata, "Karena Kak Mia rajin, jadi sekarang ada begitu banyak tim yang mencarinya untuk menggambar desain…."

Dia menatap Mia dengan penasaran. "Tapi kalau begitu, Kak Mia. Kau benar-benar tidak penasaran sama sekali soal Petra?"

Mia membubuhkan tanda tangan di samping gambarnya. "Kenapa aku harus penasaran?" Dipandangnya Fira dengan polos. "Aku bisa melihatnya setiap beberapa hari sekali. Dia temanku, jadi aku sudah tidak penasaran."

"..."

Ketika mendengarnya, mereka semua berteriak.

"Siapa lagi di antara kita yang tidak bisa melihatnya setiap saat? Memangnya kita tidak pernah melihat orang?" Fira melihat ke majalah. "Hei, kapan perusahaan kita bisa bekerja sama dengan Grup Kaisar? Jadi kita juga bisa punya kesempatan untuk mendekati Petra. Coba lihat?!"

Mia menatap semangat di mata Fira dan menggodanya sambil tersenyum, "Lalu?" Matanya yang indah dan cerah berkilat dengan licik. "Didekati oleh Petra, lalu menjalani kehidupan seorang permaisuri?"

Saat bicara, Mia melengkungkan bibirnya dengan senyum serius dan mengangguk.

Tiba-tiba, terdengar suara tawa di ruang rapat.

Mendengarnya, Fira mengedikkan bahu. "Mbak Mia, saya tidak bercanda." Dia melengkungkan bibirnya. "Kalau ada teman yang bisa mengajaknya bekerja sama, nilai perusahaan kita akan meningkat di masa depan!"

"Dalam skala Berlian, apa mungkin Grup Kaisar mau meliriknya?" Pak Zidan, seorang bapak-bapak dari departemen desain, langsung menyahuti khayalan Fira. "Memangnya memenuhi syarat untuk mengajukan tender?"

"Mungkin?" Fira memutar matanya. "Kita juga bisa mengatakan bahwa bos kita memenangkan penghargaan desain asing!"

Mia mendengarkan perubahan topik mereka, dan pandangannya tanpa sengaja mendarat ke majalah yang tersebar di atas meja. Di halaman sampulnya….

Di sampulnya, Petra tampak bersandar pada seorang bintang wanita populer baru-baru ini Maya Liana, dengan begitu lembut, penuh kasih sayang, dan dalam.

Petra terlihat benar-benar mampu menyingkirkan artis terkenal berskala internasional dalam sekejap. Wajahnya yang tampan tampak seperti dipahat. Di dalam sepasang mata yang tajam itu terdapat pupil sehitam batu obsidian yang dalam. Hidungnya bangir, bibirnya tipis, bahunya lebar dan pinggangnya kecil. Wajahnya sempurna tanpa noda.

Dengan posisinya di Grup Kaisar, keberadaan pria yang baru berusia dua puluh delapan tahun ini tampaknya merupakan pertunjukan betapa hebatnya tangan Tuhan.

Ponselnya berbunyi pelan, dan pesan teks yang masuk menarik Mia kembali tersadar.

Dia menyipitkan matanya dan mengangkat ponsel, membuka pesannya.

P: "Aku akan kembali ke Taman Dewata malam ini."

Mia melihat pesan teks di telepon dan tercengang. Dia tidak bereaksi sampai Fira menatapnya dengan curiga, dan kemudian dengan cepat membalas:

"OK, akan kutunggu!"

Segera setelah pesannya terkirim, direktur datang membawa asisten dan tim teknisi. Semua orang berkemas dan segera duduk.

"Yudhi yang menerima beritanya," Pak Direktur Tahir berkata. "Kaisar akan membangun sebuah gedung di sebelah barat kota. Klub rekreasi bertema…."

Dia sengaja berhenti dan baru mengatakan paruh keduanya setelah semua orang melihat ke arahnya. "Desain setiap lantai akan diserahkan ke perusahaan yang berbeda. Ada total 18 lantai dan tidak ada penawaran untuk umum. Jadi, kali ini Ini adalah kesempatan bagi kita!"

Mata semua orang seketika membulat, dan mereka menatap Pak Tahir dengan cerah.

"Benar, Pak?" Fira yang pertama berbicara.

Pak Tahir mengangguk dan melihat ke arah Mia. "Mia, Pak Yudhi berkata bahwa kamu yang akan bertanggung jawab untuk penyusunan kali ini. Layla dan Sely akan membantu."

Mia tidak mengubah ekspresinya dan hanya berkata dengan tenang, "Gambar rancangannya bagus-bagus saja, tetapi sulit untuk dapat digunakan…."

Pak Tahir menghela nafas ringan. "Jadi…. Bisa atau tidaknya rancanganmu diajukan kepada Kaisar, itu tergantung pada kemampuanmu." Setelah jeda sebentar, dia melanjutkan, "Kali ini bukan hanya kesempatan bagi Berlian, tapi juga kesempatan bagimu untuk direkomendasikan ke UCL."

Mia mengemudikan Hyundai putihnya ke Taman Dewata sambil memikirkan kata-kata Pak Tahir di sepanjang jalan. Dan juga….

Merupakan mimpinya untuk masuk ke Universitas London untuk mempelajari desain arsitektur. Bahkan jika kenyataan tidak memungkinkannya untuk melanjutkan, dia pasti harus memberikan kesempatan tanpa penyesalan bagi dirinya sendiri, bukan?

Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah, Mia masih memikirkan hal ini. Dia bahkan tidak melihat sebuah Spyker garang yang terparkir di sana.

Setelah masuk ke dalam rumah, Mia merasakan sesuatu yang salah dengan suasananya…. Setiap kali orang itu kembali, udara dipenuhi dengan aura yang berat.

Mia melirik ke seberang sofa, dan pandangannya mendarat ke bar kecil di sana.

Melihat sosok pria yang tinggi dan angkuh itu, dia tiba-tiba tersenyum licik, terlepas dari sikap tenangnya yang sebelumnya. Cahaya yang terang membuat senyumnya tampak ramah dan berbinar. "Petra? Kau cepat sekali datangnya... kukira maksudmu nanti malam?"

Petra berbalik, menatap Mia dengan senyum dalam di matanya yang tajam, dan bibir tipisnya sedikit merekah dalam senyum licik. "Kenapa, tidak senang aku pulang lebih awal?"

"Kenapa?" ​​Mia melangkah maju setelah mengganti sepatunya, memeluk pinggang Petra, lalu tersenyum dengan lebih cerah. "Apakah kamu kembali untuk menemaniku makan malam?"

"Ya." Petra mengangkat tangannya dan mengusap bibir Mia.

Mia membiarkan dia menyentuh pipinya. Dia mengangkat alisnya dan bertanya, "Apakah kamu tidak perlu menemani artis bernama Maya Liana itu?"

Petra melihat cahaya yang berkilat di dalam mata Mia, dan senyum di bibir tipisnya semakin dalam. "Kenapa, cemburu?"