webnovel

Ternyata kamu Mafia?

Kana menatap pantulan dirinya dicermin, menawan sekali. Ternyata ukuran tubuhnya sudah sangat pas dengan gaun itu hingga tidak membutuhkan waktu untuk mengubahnya lagi. Ia memakai gaun pengantin berwarna putih yang memperlihatkan bahu dan punggung mulusnya, bagian pinggang yang membentuk jelas, dan bagian ekor gaun yang memanjang. Terlihat sangat mewah karena terdapat banyak permata yang terjahit dibagian dada. Beginikah yang ia inginkan? Menikah dengan Damian yang terlihat sangat memanjakan dirinya dan mampu membuatnya merasa nyaman dalam waktu kurang dari sehari? Kana menghela napas, jalani saja pikirnya.

Ia dan Damian difoto didalam butik itu oleh orang yang mengurus surat pernikahan mereka, lalu didandani oleh Francis langsung selama hampir 2 jam. Tadi, ia sudah menanda tangani surat nikah bersama Damian. Dan kini mereka sedang menuju suatu tempat yang tidak Kana ketahui untuk mengambil foto pernikahan mereka.

Damian terlihat tampan dalam balutan jas hitam dan kemeja hitamnya,

" Mengagumi suamimu?" tanya Damian tanpa menatap Kana, pria itu sedang dalam aksi ngambek karena Kana yang tidak mau duduk dan bersandar di bahunya.

" Iya, kamu tampan " aku Kana dengan cengiran lebar khas dirinya. Bibir Damian berkedut menahan senyuman akibat pujian gadis itu,

" Masih ngambek, Damian?" canda Kana mencolek pipi Damian.

" Tidak, Kana "

" Enggak? Tapi duduknya masih jauh, kan sudah dibilang kalau aku senderan ke kamu itu ntar riasan dan tatanan rambutku bakal rusak Damian " terang Kana dengan sabar.

" Gitu doang ngambek "cibir Kana menambahkan,

" Damian yang merupakan seorang mafia tidak mungkin bisa mengambek, Nona Kana "celetuk Raven tiba-tiba.

" Memangnya siapa yang ngambek? Lagipula, memangnya Mafia pun gak boleh ngambek kalau istrinya tidak mau mendekat?" gerutu Damian, ditatapnya wajah istrinya yang duduk disamping.

Kana terdiam, " Mafia?" cicitnya pelan.

Suasana dimobil seketika hening, Damian menyadari bahwa ia belum memberitahu gadis itu bahwa ia merupakan seorang Mafia selain profesinya sebagai Pengusaha. Sementara Raven baru menyadari bahwa ia telah salah bicara.

" Sayang, maaf bukannya bermaksud membohongi kamu. Aku cuma belum sempat memberitahu kamu, nanti dirumah kita bicarakan semuanya ya" jelas Damian dengan cepat, ia tampak gelagapan kali ini. Raven dan supir mereka yang duduk didepan saling memandang, selama hampir 10 tahun mereka kerja bersama Damian baru kali ini mereka melihat seorang Damian seperti ini.

" Ya, nanti dirumah jelaskan " potong Kana cepat, kepalanya terlalu pusing untuk memikirkan masalah saat ini. Ia hanya ingin tidur sebentar. Raven mengamati wajah Kana dari Kaca depan, ia cukup kagum dengan gadis itu yang awalnya terlihat seperti anak kecil namun ternyata bisa menenangkan dirinya sendiri dengan baik. Tidak memaksa seperti yang dilakukan gadis lain pada umumnya.

" Kamu marah?" Damian menggeser duduknya mendekat ke Kana. " Gak, kepalaku sakit. " jawab gadis itu singkat. Membuat Damian langsung mengarahkan tangannya untuk memijit kepala istrinya perlahan, Kana pun memejamkan matanya dengan cepat.

*****

Sesi foto berakhir dengan cepat, namun menurut Kana semua hasilnya cukup bagus. Di ladang bunga dan pantai, benar-benar sesuai seperti impian Kana. Damian meminta semuanya bekerja dengan cepat karena khawatir dengan sakit kepala yang dirasakan Kana, setibanya dirumah pun pria itu langsung menyuruh Lily dan pelayan membantu Kana mengganti gaunnya sesegera mungkin dengan pakaian yang nyaman. Piyama bergambar moomin, kesukaan Kana.

Saat matahari mulai menyembunyikan dirinya, Kana duduk disofa kamar milik mereka dengan tenang menunggu Damian menyelesaikan urusannya. Pria itu pamit untuk ke taman belakang mansion selama 30 menit katanya.

Kana menertawakan dirinya sendiri, kalaupun Damian memang Mafia lalu apa? Apa yang bisa ia lakukan? Toh surat nikah pun telah mereka tanda tangani bersama.

Pintu kamarnya diketuk, " Nona, ini saya Lily. Kami ingin mengantarkan coklat hangat dan beberapa cemilan " ucapnya dibalik pintu.

Kana berdiri dari sofa tempatnya duduk untuk membukakan Lily pintu, kepalanya terasa berat dan berkunang-kunang hingga saat tangannya baru saja menggenggam gagang pintu ia sudah ambruk ke lantai.

BRUK

Lily dan pelayan lain yang merasa tidak ada jawaban dari Kana pun terpaksa membuka pintu meski belum diizinkan.

Mata mereka membulat menyaksikan Kana yang tergeletak di lantai dengan luka berdarah disekitar di kening, sepertinya terbentur gagang pintu.

"NONA!!!! " teriak mereka semua panik. Salah satu pelayan berlari mencari pengawal dan meminta mereka menghubungi Damian.

" Hubungi Dokter Sebastian sekarang juga " perintah Lily.

Mereka segera menggotong tubuh Kana menuju kasur beramai-ramai, beberapa dari mereka menampakkan wajah khawatir. Wajah gadis yang tadinya ceria kini tampak sangat pucat. Para pengawal yang sudah tiba segera menyuruh mereka semua keluar, menyisakan Kana, Lily, dan beberapa pengawal.

Damian tiba dengan napas ngos-ngosan, tampaknya pria itu berlari dari taman hingga kamar saat mendengar kabar Kana pingsan.

" MANA SEBASTIAN?" bentak Damian. Digenggamnya tangan Kana yang terasa dingin,

" KALIAN INI DARITADI SUDAH MELAKUKAN APA SIH?! KENAPA SEBASTIAN LAMA SEKALI TIBA?" lanjutnya dengan suara yang mengerikan.

" KEPALA KANA BERDARAH!"

Lily menatap Tuannya, " Suara Tuan bisa mengganggu Nona "

Damian terdiam, benar juga. Ia harus mengontrol emosinya disekitar Kana.

Rahangnya mengeras menahan amarah,

" Cukup mengamuknya, aku sudah tiba Damian " ucap seorang pria berumur 50 an dengan pakaian dokter.

" Periksa Kana sekarang juga "

" Kau pikir aku kesini untuk menonton istrimu pingsan? Tenangkan dirimu, atau kau bisa keluar dari sini karena menggangguku " tutur Dokter tersebut dengan raut wajah kesal.

Damian akhirnya cukup tenang. Ia hanya menggenggam tangan Kana dan menciumnya berkali-kali.

Dokter Sebastian selesai memeriksa Kana dan menghela napas, " istrimu anemia, Damian. Akan kuberi beberapa obat dan vitamin, pastikan dia mengonsumsinya. Keningnya juga hanya luka biasa, tidak terbentur parah terlihat dari lukanya yang hanya berupa gesekan. Sudah ku bersihkan tadi dan kututupi dengan plester "

" Kana tidak bisa mengonsumsi obat, biasanya ia akan muntah " papar Damian.

" Itu akan menjadi tugasmu " putus Dokter. Dan meletakkan beberapa macam obat dan vitamin di nakas. " Dia akan terbangun sebentar lagi, lalu makan obatnya sesuai yang kutulis, aku pergi dulu "

*****

Setengah jam lebih, Kana baru membuka matanya. Damian yang menungguinya pun merasa lega,

" Kepalaku sakit banget " ringis gadis itu dengan suara pelan. Diliriknya Damian yang memegang tangannya disamping,

" Sayang? Are you okay? " tanya pria berdarah campuran itu dengan lembut

" Selain rasa perih diluka dan sakit kepala, semuanya aman " jawab Kana singkat.

" Jadi, ada yang mau dijelasin ke aku?" gadis itu bertanya dengan mata tertutup,

" Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat sayang, nanti saja ya?" bujuk Damian

" Sekarang. " tegas Kana.

" Gak, nanti saja " bantah Damian. Ia tidak ingin sakit kepala Kana bertambah,

" Jelaskan sekarang atau aku pindah tidur ke kamar tamu?" tandas Kana.

" Baiklah, jadi ya seperti yang kamu dengar tadi. Aku memang pengusaha, perusahaan utamaku mengelola banyak hotel, restoran, mall, dan beberapa tambang. Namun selain itu, kami juga merupakan kelompok Mafia. Kami tidak menjual obat terlarang, melainkan mengontrol peredarannya agar tidak berlebihan. Kami juga mengatur dan membatasi berbagai jenis peredaran senjata dan hal lainnya yang mungkin bisa membahayakan masyarakat. " jelas Damian

" Makanya kamu bisa punya uang cash sebanyak itu?" Kana mengingatkan tentang uang dikoper,

" Hm, salah satunya itu. Uang di koper itu merupakan biaya keamanan teritori sana. Tapi tanpa menjadi Mafia pun, aku sudah lebih dari cukup. Aku meneruskan pekerjaan itu karena memang sudah sejak dulu Keluarga Ganendra diminta oleh orang-orang berpengaruh untuk mengontrol situasi.

" Apa ada kemungkinan perang sesama kelompok Mafia?" tanya Kana lagi. Ia tiba-tiba khawatir pada Damian.

" …. " Damian diam, menatap Kana yang masih menutup matanya.

Next chapter