BACK TO BE CONTINUE
Aku berlari menuju kamar mandi, entah kenapa perutku merasa mual. Setelah beberapa detik kemudian, aku kembali duduk di sampingnya Yunki.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Yunki sedikit panik.
"Ya tidak apa-apa," jawabku dengan gelengan kepala.
"Mungkin Yuna sedikit lelah mengurusi perusahaan sendirian," celetuk Soni sambil menatapku dan menatap Yunki secara bergantian.
Perusahaan Yunki dan Yuna bergerak di bidang property, oleh sebab itu keluarga Yunki dan Yuna selalu terikat satu sama lain dan berakhir menikah.
Yunki juga salah satu penerus dan pewaris Pratama Company, begitu juga dengan Yuna penerus dan pewaris Bagaskara Company.
Semenjak Yura meninggal. Yuna di tugaskan untuk mengurus semuanya, walaupun Yuna sudah memiliki banyak anak. Namun, Yuna bisa mengatur semuanya.
"Besok kamu istirahat saja ya sayang," ucap Yunki sambil menatapku dan aku tidak merespon apapun.
Masih berada di dalam ruang kerjaku. Yunki masih bersikap manja di depan Soni membuatnya sedikit gerah.
Padahal di dalam ruangan ini sangat dingin, tapi setelah Soni menatap ke arah kami ia sedikit kegerahan melihat tingkah romantis kami.
Aku sudah mencoba menghindar dari suamiku, Yunki. Namun, semuanya tidak bisa di hindari begitu saja. Apa lagi Yunki sudah menjadi posesif seperti ini, rasanya ingin sekali memborgol tangannya Yunki agar diam.
"Sayang!" Yunki membelai rambutku dengan sangat lembut.
Tiba-tiba saja ponselnya Soni berdering, sepertinya ada panggilan masuk. Soni secepat kilat ia langsung meronggoh saku dan menjawab telepon itu.
"Ya, aku ke rumah sakit sekarang!" Soni sudah langsung mengakhiri telepon itu setelah beberapa detik yang lalu ia jawab.
Aku dan Yunki langsung menatap ke arah Soni yang sedang memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Setelah itu, Soni bangun dari duduknya dan hendak berpamitan. Aku dan Yunki paham akan gerak-geriknya, sudah pasti ada sesuatu yang terjadi.
"Sepertinya aku tidak bisa makan siang bersama kalian, karena anakku baru saja masuk rumah sakit," jelas Soni.
Jadi, yang tadi telepon adalah pengasuh anaknya. Entah kenapa tiba-tiba saja anak semata wayangnya Soni masuk ke rumah sakit.
Raut wajahnya Soni juga nampak pucat dan pasti khawatir pada anaknya.
Aku dan Yunki menganggukkan kepala masing-masing, kami paham dengan situasinya Soni saat ini.
"Lekas sembuh untuk anakmu," ucapku yang sedikit merasakan khawatir juga, karena aku juga memiliki anak dan pasti mengerti apa yang di rasakan Soni saat ini.
"Iya, terimakasih!" Soni bergegas pamit dan melangkah pergi dari ruanganku.
Setelah Soni pergi dari ruangan. Aku dan Yunki kembali duduk di sofa dan melanjutkan makan siang.
Karena aku sudah sangat lapar, aku sama sekali tidak bersuara dan menikmati makan siang.
Sesekali Yunki melirik ke arahku dan tersenyum, ia juga menyentuh ujung bibirku yang terlihat sisa makanan di sana.
"Kamu kalau makan seperti anak kecil," ledek Yunki.
"Aku memang masih kecil," balas aku.
"Anak kecil yang punya anak ya hehe," canda Yunki dengan tertawa.
Setelah beberapa menit kemudian. Aku dan Yunki selesai makan siang, kami membereskan bekas maka siang bersama.
Tiba-tiba ponsel Yunki berdering ada panggilan masuk, dengan cepat Yunki menjawab telepon itu.
"Halo Bu," ucap Yunki setelah menjawab telepon itu.
"Yunki, ibu izin mengajak keenam anak kamu main di rumah ibu, ya!" Suara nyonya Pratama terdengar sangat ceria.
"Baik Bu, tidak apa-apa."
"Oke, selamat bekerja!"
Telepon berakhir dan Yunki menyimpan ponselnya di atas meja. Aku menatap Yunki, sepertinya salah satu ibu kami menelepon Yunki.
"Siapa yang telepon?" tanyaku pada Yunki.
"Ibuku," jawab Yunki yang langsung menoleh ke arahku. "Anak-anak ada di rumah ibu dan sepertinya ibu sangat senang semua cucunya di sana," jelas Yunki.
"Oh ya sudah tidak apa-apa," ucapku sambil tersenyum.
Karena keenam anak-anak kami memang jarang ke rumah orang tua kami. Apa lagi orang tua kami sangat sibuk dengan bisnis masing-masing, membuat keenam anak-anak kami sulit bertemu dengan kakek dan nenek.
Namun, keenam anak-anak kami selalu mengerti kan keadaan nenek dan kakeknya.
Sudah pukul 1 siang. Yunki pamit pergi dan kembali ke kantornya, karena 30 menit lagi ia akan mengadakan rapat di kantornya.
"Akhirnya terbebas dari suami posesif," gumam aku yang kembali duduk di kursi kerja.
Aku kembali menatap layar laptop yang sudah menyala, aku mengarahkan kursor dan mengklik sebuah folder.
Folder yang berisikan foto masa-masa kuliah bersama empat sahabatku. Sekilas aku tersenyum menatap beberapa foto yang aku lihat.
Tidak di sangka, ternyata ada fotoku yang berdua dengan Jimi. Foto kami berdua di ambil saat berkumpul di sebuah caffe.
"Jim, apa kamu baik-baik saja?" tanyaku pada foto yang ada di laptop.
Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu, lalu pintu itu terbuka dan terlihat seorang laki-laki memasuki ruanganku dengan membawa beberapa berkas.
"Selamat siang bos," sapa laki-laki itu yang sudah berdiri di depan mejaku.
"Eh Jaya," ucapku sambil tersenyum. "Apa kau sudah makan siang?" tanyaku padanya.
Jaya adalah sekertaris aku yang sangat baik dan juga tampan, tapi lebih tampan suamiku hehe. Jaya juga sangat ramah dan selalu bersikap profesional kalau di kantor.
"Saya sudah makan, bos," jawab Jaya dengan formal.
"Syukurlah, berkas apa itu?" tanyaku sambil melirik berkas yang ada di tangannya Jaya.
"Ini berkas tambahan meeting tadi bersama tuan Soni," jawab Jaya sambil menyimpan berkas itu di atas mejaku.
"Oh oke, nanti aku lihat lagi!"
"Baik, kalau begitu saya permisi!" Jaya pamit pergi dengan sangat sopan, setelah itu ia keluar dari ruang kerjaku.
Aku menatap berkas itu dengan tatapan kosong dan tiba-tiba saja teringat kakakku, Yura.
Aku membuka folder lain di dalam laptop, terlihat banyak fotoku dengannya.
"Kak, aku merindukanmu," batinku yang tidak sadar sudah meneteskan air mata.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat kak Yura, kakakku yang selalu memberikan aku keceriaan. Kini ia sudah pergi dan meninggalkan dunia, ia juga meninggalkan suaminya bahkan dua anak kembarnya padaku.
Ketika mengingat awal aku dekat dengan suamiku, Yunki. Membuatku sedikit kesal karena aku harus merelakan Jimi pergi begitu saja dari hatiku.
Seharusnya aku menikah dengan Jimi bukan Yunki, tapi aku harus menuruti keinginan kak Yura untuk terakhir kalinya.
"Kak, yang tenang ya di sana!"
Aku mengusap layar laptop dan mengusap foto kak Yura di dalam sana. Senyuman kak Yura selalu membuatku teringat semua kenangan bersamanya.
"Aku akan menjaga suamimu dan dua anak kembarku," gumam aku yang tanpa sadar pipiku sudah di banjiri air mata.
"Kak Yura, sepertinya aku sudah sangat mencin ... mencintai suamimu," gumam aku yang langsung menangis sesenggukan.