webnovel

GILANG YANG SEBENARNYA

Pria yang kerap disapa dengan sebutan Gilang itu sedang menertawakan kebodohan wanita yang baru saja ditipunya. Sosok bernama asli Elang itu merupakan seorang penipu kelas kakap yang telah banyak memakan korban. Dia akan membodohi korbannya dengan mengajaknya investasi, lalu menjanjikan sebuah keuntungan besar. Sudah lama Gilang bergelut di bidang investasi bodong tersebut. Dia akan berpindah dari lokasi satu ke lokasi yang lainnya apabila berhasil mendapatkan keinginan. Gilang juga selalu mengganti namanya agar identitasnya sulit untuk dikuak.

Kala itu Gilang bertemu dengan Indy yang kelihatannya sedang kesusahan. Lalu, Gilang teringat akan kenalannya yang bernama Abdi. Kebetulan pria itu pernah berkata jika ia membutuhkan asisten rumah tangga sekaligus pengasuh bagi Mamanya yang sudah tua.

Awalnya Gilang hanya mengincar gaji Indy, tapi saat dia tahu bahwa Indy telah mencuri gelang Windi, maka pikirannya pun semakin jahat. Dia meminta agar Indy menginvestasikan seluru hartanya.

Tidak ada yang tahu latar belakang Gilang, karena dia kerap menyewa sebuah mobil mewah untuk gaya hidup. Dengan begitu semua orang akan menganggap bahwa ia adalah pria kaya sungguhan.

"Rasakan kau, Indy! Kau juga telah mencuri perhiasan Mama Abdi," ucap Gilang sambil terbahak-bahak.

Malam ini merupakan malam terakhir bagi Gilang untuk bermukim di kota tersebut. Ia akan pindah ke tempat lain guna mencari mangsa baru dan menyelamatkan diri. Setelah telepon Indy mati, Gilang langsung meraih ponsel itu dan mematahkan kartunya. Tidak peduli bagaimana nasib Indy. Yang terpenting baginya adalah dia sudah mendapatkan apa yang diinginkan.

Sementara itu di tempat lain.

"Loh, kok sekarang nomornya gak bisa dihubungi? Tadi masih aktif," batin Indy.

Dia terus mendial kontak Gilang, lalu memencet logo telepon bewarna hijau. Namun, lagi-lagi Indy tak mendapatkan hasil.

"Apa Gilang belum berhasil mencairkan investasi itu, ya? Barangkali dia malu samaku," pikirnya.

Saat ini Indy belum menaruh curiga sedikit pun mengingat bahwa ia begitu percaya dengan kondisi Gilang yang seolah kaya raya itu. Karenanya, Indy pun masuk ke rumah untuk beristirahat. Dia tidak mempermasalahkan pencairan investasi yang agak terlambat itu. Padahal Indy tidak tahu jika harta bendanya sudah dibawa kabur ke wilayah lain.

***

Tiga hari berlalu. Malangnya Indy tak juga mendapatkan kabar dari Gilang. Kini, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari diri pria tersebut. Indy uring-uringan di kamar seraya menantikan harta dan keuntungan yang dijanjikan oleh Gilang.

"Apa semua ini penipuan?" gumam Indy yang mulai meragukan kekayaan Gilang.

Indy mencoba menghubungi nomor Gilang lagi, tapi hasil yang diperoleh tetap nihil. Persediaan bahan makanan Indy mulai menipis serta uangnya yang hanya tinggal beberapa ribu saja.

"Bisa mati aku kalau begini terus," batinnya.

Tidak tahu apakah semua ini hanyalah kebusukan belaka, atau Gilang masih dalam proses pencairan hasil investasinya. Namun, mau tak mau Indy harus berbuat sesuatu untuk menyambung hidup.

Sebenarnya ada satu kunci untuk mencari keberadaan Gilang dan menagih janjinya, tapi hal itu akan membahayakan diri Indy, karena yang mengerti Gilang hanya Abdi. Mustahil Indy menemui lelaki yang hartanya sudah dicuri olehnya itu.

Dia juga enggan menemui Dito akibat kejadian beberapa hari lalu. Saat ini Dito pasti murka pada dirinya. Daripada Indy mendapatkan perlakukan keji, lebih baik ia tidak usah mengganggu kehidupan Dito dulu untuk sementara waktu.

"Hanya ada satu cara supaya aku bisa meneruskan hidup,"

Indy membangkitkan tubuhnya, kemudian duduk di bibir ranjang. Tak lama setelah itu Indy beranjak ke lemarinya dan meraih sebuah map di sana.

"Aku harus menjual rumah ini dan pindah ke tempat yang lebih kecil,"

Itulah yang ada di pikiran Indy sekarang. Sejujurnya dia begitu sayang meninggalkan tempat sebesar dan semegah rumahnya saat ini, tapi Indy tak punya pilihan lain.

Indy pun langsung mencari agen rumah di internet. Kali ini nasib baik berpihak padanya. Indy menemukan seorang agen yang langsung ingin membeli rumahnya. Selain itu, jika Indy ingin mendapatkan rumah yang lebih kecil dia juga bisa meminta bantuan pada lelaki itu.

Tak perlu basa-basi Indy langsung menghubungi sosok yang bernama Ozan tersebut. Mereka mengadakan janji temu di rumah Indy pada saat itu juga.

Ozan tiba saat jam menunjukkan angka tiga sore. Lelaki itu membawa sebuah koper berisi uang 1M di tangannya.

"Ini uang hasil penjualanan rumah Ibu. Oh, ya. Ibu mau beli rumah yang lebih kecil dari ini, kan?"

Ozan menyerahkan benda bewarna hitam itu dan dia pun menerima sertifikat rumah Indy.

"Iya. Kamu bisa bantu saya?"

"Bisa, Bu. Mau cari harga berapa, ya?"

"Ah, yang murah-murah aja. Kalau bisa di bawah 100 juta supaya sisa uangnya bisa saya pakai untuk keperluan lain,"

"Wah! Kebetulan sekali, Bu. Ada nih rumah harga 80 juta. Lumayan besar, tapi di daerah yang banyak malingnya,"

Indy menyentak kepalanya ke belakang, kemudian berkata, "Kamu gimana sih, Zan? Nawarin saya rumah kok yang begitu,"

"Kalau Ibu berkenan, saya bisa jadi satpam di sana." Ozan malah menawarkan diri.

"Emangnya kalau udah ada satpam bakal aman?"

"Pastinya dong, Bu. Orang malingnya temen saya semua. Ehehehe,"

Ozan menampilkan deretan gigi putihnya sambil memegang perutnya sendiri. Sepertinya dia adalah tipe orang yang suka bercanda.

"Jangan-jangan kamu maling juga, Zan," tuduh Indy. Dia mendadak curiga dengan pria yang berdiri di hadapannya.

"Duh! Jangan begitu, Bu. Saya cari yang halal-halal aja. Gimana, Bu? Kalau mau biar kita pergi bareng-bareng ke rumahnya,"

Indy jadi penasaran dengan rumah yang diceritakan oleh Ozan. Maka dia pun menuruti perkataan pria itu. Mereka pergi bersama dengan mengendarai motor Ozan. Jaraknya hanya berkisar 20 menit.

Ternyata Ozan benar. Rumah itu cukup besar jika dhuni oleh Indy seorang diri. Di sana juga ramai penghuni, meskipun Ozan berkata tempat itu rawan maling.

"Ini 80 juta, Bu. Saya juga bisa bantu Ibu pindahan kalau mau ambil rumah yang ini,"

Indy pun masuk ke dalamnya. Hanya ada kursi plastik serta dua buah lemari sebagai furniture ruangannya. Pantas saja rumah itu dibandrol murah.

"Di sini beneran banyak malingnya, Zan?"

"Bener, Bu. Makanya harganya juga murah. Kalau ibu bersedia saya bisa jadi satpam di sini kok,"

"Saya gak bisa bayar kamu mahal-mahal. Saya gak punya duit, Zan." Indy pun jujur dengan keadaannya.

"Gak apa-apa toh, Bu. Saya juga berniat bantu Ibu,"

Tiba-tiba Indy teringat akan sosok Gilang yang kini menghilang. Dia jadi trauma kenal dengan orang baru. Bisa saja Ozan sama liciknya seperti Gilang.

"Kamu bukan orang jahat kan, Zan?" Indy memicingkan kedua matanya.

"Ya, ampun. Saya baik-baik begini kok dikatain jahat," balas Ozan seraya memanyunkan bibirnya.

Indy terdiam barang sejenak. Menimbang-nimbang apakah Ozan pantas diterima menjadi satpam atau tidak.