webnovel

Gadis Pekerja Keras

Selain di toko bunga, Elena juga bekerja di sebuah minimarket sebagai penjaga toko. Satu-satunya alasan ia mendapatkan pekerjaan di situ adalah karena ia bersedia dibayar lebih murah daripada pekerja biasa, sehingga pemilik toko bersedia menerimanya.

Sebagai gantinya, Elena sering meminta kepada pemilik agar ia diperkenankan mengambil roti dan bahan-bahan makanan yang sudah kedaluwarsa untuk dibawa pulang.

Menurutnya, makanan itu masih bisa dimakan dan ia tidak akan sakit. Ia sudah pernah memakan makanan kedaluwarsa sebelumnya dan tidak apa-apa, sehingga ia merasa lebih baik memanfaatkan makanan gratis itu dan berhemat, daripada membiarkannya dibuang.

Entah memang ia sedang beruntung, atau tubuhnya telah menjadi kebal terhadap makanan kedaluwarsa, Elena tidak pernah jatuh sakit karenanya.

Hari ini, ia tiba di minimarket dengan perut sangat lapar. Setelah masuk, ia segera bergerak ke konter makanan di bagian belakang minimarket. Sepasang mata bulatnya telah menangkap keranjang berisi makanan yang tergeletak di lantai. Ia tersenyum lebar pada Nyonya Ballerin, sang pemilik toko yang menggeleng-geleng melihatnya mengambil sebuah roti yang sudah kedaluwarsa satu hari.

"Aku makan ini ya," kata Elena dengan sopan. "Aku sangat lapar, Nyonya.".

"Kau sangat menjijikan!" kata Nyonya Ballerin. "Bagaimana bisa kau makan makanan begitu?"

"Apa? Ini belum rusak, kok. Baru lewat satu hari. Masih bisa dikonsumsi." Elena kembali tersenyum lebar. "Akan aku makan semua ini, jangan khawatir!"

Penuh keyakinan, Elena memasukan semua makanan dalam kantong yang ia bawa dari rumah tadi.

"Terserahlah!" Nyonya Ballerin mendengus. "Awas kalau kau sakit dan tidak bisa masuk kerja."

"Kau memang yang terbaik, bos! Kau baik sekali." Elena memasukan dua potong roti ke mulutnya lantas dengan semangat ia menikmatinya.

"Dasar!" Sang pemilik toko menggeleng.

Sebenarnya ia bukan orang jahat. Ia hanya berpura-pura marah setiap melihat Ellena mengambil makanan baru kedaluwarsa dari tokonya karena ia ingin Ellena tidak menjadi terbiasa memakan makanan seperti itu.

Ia berharap sekali-sekali Ellena akan merasa terpojok dan kemudian melawan bibinya yang jahat itu untuk menuntut diberi makanan yang pantas, minimal sama seperti yang dinikmati sepupu-sepupunya juga.

Sebenarnya, tidak jarang ia menyisipkan beberapa roti yang masih bagus jadi masih layak untuk dikonsumsi bagi Ellena, tetapi ia berpura-pura tidak tahu.

"Aku pergi sekarang, kau bekerja yang baik ya," kata Nyonya Ballerin sambil melepaskan apronnya dan menaruhnya di konter. Ia akan pulang ke rumah dan memasak makan malam untuk keluarganya. Ellena akan bekerja 4 jam hingga pukul 8 dan kemudian ia pulang setelah menutup toko.

"Baik, Boss," kata Elena dengan hormat. Ia mengganti pakaiannya dengan seragam hitam dan mengenakan apron yang tadi ditinggalkan Nyonya Ballerin. Ia akan memulai pekerjaan menjaga toko hari ini. Perutnya sudah tidak lagi berisik dan ia sudah bisa duduk dengan tenang.

***

Pukul delapan malam, suhu terasa sangat dingin. Elena menutup toko dan bergegas pulang. Baru saja ia sampai rumah, harum makanan sudah menyambutnya. Ia menelan ludah karena tiba-tiba saja perasaan laparnya kembali. Walaupun sudah mengganjal perutnya dengan roti, tetap saja tidak ada yang mengalahkan hidangan panas yang baru dimasak.

Namun, ia harus menelan kekecewaan. Rasanya bibinya yang jahat tidak akan membiarkan ia menikmati makanan itu setelah tadi ia diberikan kesempatan untuk makan siang.

Elena hanya bisa mendesah sedih saat melihat berbagai hidangan panas dan pasta yang masih mengebul untuk melawan dinginnya malam ini. Mereka makan di depan televisi yang menyala, sungguh kenikmatan yang tidak Elena rasakan.

"Aku pulang."

Tidak ada yang menjawab. Mereka masih sangat asik menikmati makanan. Elena langsung melangkah menuju ke kamarnya.

"Oh yah, apa kau sudah mengambil gaunku di laundry? Akan aku gunakan pada ulang tahun temanku besok," tanya anak pertama yang baru melihat ke arah Elena. Sepupunya ini bernama Maria dan berusia 21 tahun, sementara sepupunya yang satu lagi bernama Laura dan seusia dengannya, 19 tahun.

"Oh, aku lupa. Besok akan aku ambilkan. Maaf." Elena kembali menunduk patuh.

"Menyebalkan!" umpatnya.

Bibi Ursula melihat Elena dengan tatapan menghunus.

"Awas kau melupakan baju putriku lagi! Dia ada pesta dengan para kalangan atas." Wanita itu membelai pipi Maria dengan bangga. "Kau harus mendapatkan pangeran tampan dan kaya raya. Astaga… wajah putriku begitu cantik."

Ia lalu mengangkat sebelah alis dan menatap Ellena dengan dingin.

"Kau itu tidak bisa apa-apa! Aku penasaran kau itu mirip siapa, tidak berguna sama sekali!" sindirnya pada Elena.

Elena hanya menunduk, langkah kakinya mulai memutar menuju arah pintu kamar.

"Yah, anak seperti itu tidak usah dipedulikan, Ma," kata Maria. "Dia hanya akan membuat mama sakit kepala."

Bibi Ursula terdengar menanggapi ucapan anaknya dengan omelan panjang pendek tentang betapa ia sudah kerepotan mengurusi Elena sejak kecil dan Elena hanya bisa menyusahkannya,

Mendengar itu, Elena hanya bisa menarik napas. Ia kemudian melebarkan senyuman meskipun ada genangan air mata dalam kelopak matanya. Elena masuk ke dalam kamar, menyeret kursi untuk duduk di depan meja belajar usang, bekas anak bibirnya.

Elena masih bisa mendengar tawa mereka di luar kamarnya. Bibi Ursula menginterogasi Maria tentang teman kencannya besok yang katanya kaya raya itu, dan mereka kembali asyik bergosip.

Elena sendiri hanya bisa menarik napas panjang. Ia mengeluarkan beberapa brosur dari saku mantelnya. Itu adalah brosur kerja paruh waktu yang akan ia datangi besok, untuk menyambung hidupnya. Ia sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan lain yang akan bisa memberinya penghasilan.

Selama ini ia mengurusi toko bunga tetapi ia sama sekali tidak diberi uang untuk pekerjaannya oleh Bibi Ursula. Beberapa hari ini bahkan mereka sudah mulai enggan memberinya makan.

Ini membuat Elena merasa bahwa ia benar-benar harus dapat menghidupi dirinya sendiri. Selain di toko bunga, ia juga bekerja sambilan di sebuah minimarket

"Aku akan menghubungi yang ini Minggu depan," gumam Elena setelah ia melihat brosur itu sekali lagi.

Ia lalu membuka bungkusan berisi beberapa roti baru kedaluwarsa yang tadi ia ambil dari toko Nyonya Ballerin. Ia mengunyah roti itu ditemani segelas air putih.

***

Seperti biasa, pagi ini Elena sudah bagun lebih pagi dari penghuni rumah lainnya. Ia merapikan ruang televisi bekas makan malam di sana, lalu menyapunya dengan bersih. Kemudian beralih pada ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.

Semua piring kotor yang ada di atas meja ia susun di tempat pencucian piring. Meja makan itu berkali kali Elena gosok dengan waslap agar terlihat lebih mengkilap.

Isi rumah sudah rapi. Saatnya ia mencuci piring. Tidak lupa baju kotor yang ada di dalam keranjang juga ia masukkan dalam mesin cuci.

Semua alat-alat pembersih bergerak bersamaan dengan tangannya yang sedang mencuci piring. Sebelum matahari terlihat, isi rumah sudah bersih. Barulah Elena berangkat bekerja. Hari ini ia bertugas pagi di minimarket Nyonya Ballerin.

Sesampainya di tempat kerjanya itu, Elena langsung mengganti bajunya dengan seragam berwarna hitam lalu bersiap di balik mesin kasih. Hari ini yang biasanya bekerja libur, jadi Elena menggantikan sementara.

Pelanggan pertama masuk. Elena sedikit menundukkan wajahnya. Lelaki itu masuk melangkah dengan gagah. Ia mengenakan setelan serba hitam yang membuat ia terlihat misterius.

Elena segera mengenali paras menawan tetapi menyeramkan itu. Ah, bukankah ia laki-laki yang membeli bunganya? Lengan baju panjang Elena ia tarik menutupi bekas cengkraman lelaki itu kemarin dan ia sedikit mendeham, mencoba terlihat tenang.

Xavier tidak memperdulikan siapa pun, ia mulai memilah apa yang akan dibeli. Mulai dari minuman kaleng sampai hidangan siap saji. Xavier sedikit melempar makanan itu di atas meja kasir bermaksud untuk dipanaskan.

Tindakannya membuat Elena terperanjat seakan mendengar letusan. Ia sampai tergagap sangking takutnya pada Xavier.

"Si-silakan menunggu lima belas menit. Tuan," kata Elena dengan pandangan terarah pada oven. Ia tidak berani menatap pria menyeramkan itu.

Xavier melihat lekat wajah tegang Elena dan gadis itu mulai gelisah menghindar dari mata tajam lelaki jangkung itu. Kira-kira, tinggi Xavier pasti sekitar 1,9m. Kalau berdiri di depannya, Elena hanya sampai di dadanya. Sedangkan tinggi Elena sendiri adalah 1,63m.

DING

Terdengar bunyi dari microwave menandakan makanan sudah hangat. Elena segera mengeluarkan makanan siap saji dan menaruhnya di konter. Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Xavier dan sekarang Elena menunggu lelaki itu membayar semua pesannya.

Mata Xavier masih lekat melihat gadis itu, sedangkan tangannya mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya. Setelah pembayaran selesai, Xavier mengambil semua barangnya di atas meja lantas berlalu.

Saat itu, Elena seakan baru saja dapat kembali bernapas. Ia memegangi lututnya yang terasa tanpa tulang. Astaga… kenapa ada manusia yang memiliki aura berbahaya namun seksi secara bersamaan?

DING!

Terdengar pintu minimarket kembali dibuka.

"Selamat datang." Suara Elena kembali ceria menyambut pelanggan yang baru saja masuk, mengenyahkan pemikirannya soal laki-laki.

Tidak ada waktu bagi Elena memikirkan cinta atau lawan jenisnya, yang harus Elena kejar adalah pekerjaan paruh waktu yang menghasilkan untuk biaya kuliah seperti yang mendiang ibunya cita-citakan.

Dua orang wanita dewasa masuk membeli beberapa makanan lalu membawanya ke meja kasir.

"Bukankah kau Elena? Peringkat pertama di sekolah kami? Kita satu sekolah dulu." Tanya wanit itu menunjuk Elena. "Kau sangat pintar dulu, Nilaimu tertinggi. Tapi kenapa kau di sini, kau tidak melanjutkan kuliah?"

"Aku akan kuliah tahun ini. Ada lagi yang ingin dipesan?" tanya Elena.

Dua wanita itu menggeleng lantas segera berlalu setelah membayar.

Elena melanjutkan pekerjaan dengan merapikan beberapa barang juga menambahkan yang sudah kosong terjual. Ia menyentuh liontin yang selalu tergantung di lehernya, di sana ada foto Elena, ibu dan ayahnya saat Elena masih kecil.

DING!

Pintu minimarket kembali dibuka.

"Selamat datang."

Sepertinya tidak ada waktu untuk Elena merenung. Kerja paruh waktu selalu menunggunya di mana pun ia berada. Setelah ini, jam tiga sore nanti ia harus menjual bunga.

Walaupun ia sudah lelah, tetapi Elena selalu senang bekerja di sana. Baginya itu adalah tempat yang paling menyenangkan karena ia bisa berdekatan dengan ibu dan ayahnya yang dikubur di kompleks pemakaman di dekat toko.

Next chapter