webnovel

Antara Istri dan Sarah

"Saya sudah siapkan tempat, sekarang juga, tinggalkan rumah ini, dalam dua puluh menit, polisi akan segera sampai. Mobil sudah disiapkan di samping dan jangan berani-berani mengambil barang dari rumah ini." Sean berbalik. "Guard, periksa semua tas yang dibawa mereka, jangan ada satu pun barang dari rumah ini lolos keluar!" titahnya kepada dua keamanan yang berdiri di sana.

Sean melangkah terus ke bagian halaman belakang, ia harus menempuh waktu lima menit berjalan kaki untuk segera sampai di mushala besar yang menempati ujung dari halaman belakang kediaman Mariana.

Di mushala itulah acara tahlil diadakan, jaraknya dekat dengan rumah-rumah tetangga dan gerbang masuknya dijaga ketat. Ke sini pulalah nanti Bayu datang setelah dari kantor, menemui orang-orang dan tahlil bersama mereka.

"Hai, Sean, gimana keadaan? Oke kah?" tanya Lisa yang melihat wajah Sean cukup mendung.

"Urusan rumah tangga dan asmara, cukup menyita waktu dan paling membuat kepala cenat-cenut," keluh Sean, kehilangan profesionalisme-nya di depan Lisa.

Gadis itu tersenyum. "Kalau sudah jadi bos, segala urusan dilakukan orang lain. Bukankah itu tugas kita? Santai dulu sebentar, minum kopi dulu ya," ujar Lisa seraya meraih teko kaca elektrik yang masih mengepul. Ia menuangkannya ke dalam cangkir.

"Tapi memang, Viona dan ibunya kacau sekali," ucap Sean sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku sudah tahu, yang gak tahu adalah perihal anak magang divisi IT, bukankah dia baru lulus SMK? mestinya sangat muda sekali," ujar Lisa seraya menyodorkan secangkir kopi panas ke hadapan Sean.

"Oh, Sarah. Dia sangat cantik, tinggi dan menawan. Masalahnya, dia tipe wanita muda yang masih polos juga sangat sederhana. Aku masih menyelidikinya," jawab Sean.

"Cantik, tinggi dan menawan, terlalu banyak kriteria cewek seperti itu. Pasti ada hal lain?" kejar Lisa.

"Belum tahu. Mungkin, bos hanya ketertarikan sesaat?" Sean merasa ragu. Bayu bukan tipe lelaki yang mudah tertarik pada wanita.

Viona juga sosok wanita cantik dan seksi, asalkan diam tidak bergerak dan bicara, lelaki manapun akan tertarik padanya.

Sean menghela napas setelah menyeruput kopi panasnya.

"Well, ceritakan lebih jauh tentang gadis itu," pinta Lisa seraya duduk di samping Sean.

"Sarah? Hm ... yaa begitulah, tipical gadis jaman sekarang, hanya saja, dia dari keluarga yang sangat sederhana. Menjalani kehidupan yang sulit, baru diselingkuhi pacarnya, masih suka menangis diam-diam. Yang pasti, mantan pacarnya itu masih ngejar-ngejar dia." Sean kembali menyeruput kopinya.

"Kamu tahu siapa mantan pacarnya?" tanya Sean sambil menoleh ke arah Lisa.

"Siapa?" tanya Lisa antusias seraya menggeser tubuhnya mendekati Sean.

"Anaknya Prawira. Sekarang ini, Prawira menjadi pemasok utama bahan mentah ke anak perusahaan," ungkap Sean.

"Wah, serius? Oh my God! Kalau bos kita tahu, saingannya anak Prawira gimana?" Lisa menutup mulutnya dengan tangan.

"Bos sudah tahu. Data lengkap sudah di tangannya ...," ucap Sean sambil meraih telepon genggamnya yang berdering, ia pun mengangkat panggilannya.

"Ya?"

"Pak, Bu Lena menolak memakai mobil ini, Pak," lapor keamanan.

"Saya ke sana," sahut Sean cepat seraya berdiri.

"Ada apa?" tanya Lisa penasaran.

"Biasa, urusan rumah tangga," sahut Sean sambil beranjak menuju buggy car.

"Take care!" seru Lisa sambil menahan tawa. Ya, di matanya, Lena dan Viona tidak lebih bagaikan dua badut dengan hidung bulat dan merah.

Lena protes keras karena akan diantar menggunakan mobil yang biasa dipakai pelayan belanja. Mobil tersebut cukup bagus, sebuah van diesel yang lebar, tapi ia tidak bisa menerimanya. Harga diri dan gengsinya bagai dicambuk dan membuatnya meradang.

"Kalian tahu siapa saya?!" teriaknya sambil berkacak pinggang dengan satu tangan menunjuk-nunjuk supir yang hendak membawa mereka.

"Saya ibu mertuanya bos kalian! Saya nyonya besar di rumah ini! Cepat tukar dengan mobil yang biasa dipakai nyonya Mariana!" pekiknya sambil melotot pada supir itu.

"Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan perintah," sahut supir, tidak berani beranjak untuk menukar mobil, apalagi mobil almarhum Mariana yang jelas-jelas diamanatkan tidak boleh dipakai oleh siapapun.

"Omong kosong! Kalian manusia-manusia sampah yang tidak bisa menghargai orang lain! Apa kalian pikir pantas memperlakukan istri dan mertua Bayu Perdana seperti ini ha?!"

Viona merasa sedih, nasibnya tidak lebih baik dari sebelum ia menyandang status sebagai istri Bayu Perdana, meskipun mobil yang terparkir di hadapannya saat ini jauh lebih bagus dari mobil miliknya yang telah ia jual karena malu oleh status nyonya Bayu, tetap saja, ia tidak layak mendapatkan sampah dari Bayu yang jelas-jelas merupakan suami sahnya.

"Vio! Bilang ke mereka kalau kamu ini istrinya bos mereka, yang telah dinikahi secara resmi dah sah! Ayo bilang!" pekik Lena kepada putrinya.

"Mereka sudah tahu, Ma," jawab Viona sambil memalingkan wajahnya ke samping.

"Terus, kalau mereka sudah tahu, kenapa kamu diam saja mereka perlakukan kita sejajar dengan mereka?" kejar Lena.

"Makanya, butuh ganti semua yang kerja di sini. Tunggulah saatnya, kalian semua akan dipecat tanpa pesangon seperak pun! Dasar manusia-manusia sampah!" ancam Viona yang merasa lelah dan bingung.

"Hati-hati mengata-ngatai orang lain. Dia bisa menambah panjang tuntutan terhadap kalian!" Tiba-tiba saja suara tegas dan datar Sean terdengar. "Apa ibu mau menunggu polisi di sini? Mereka sudah di lampu merah belokan ke sini loh," ujar Sean dengan tatapan terheran-heran.

Tampak wajah Lena dan Viona memucat. Viona segera melangkah ke mobil, membuka pintu sendiri karena tidak ada yang membukakan untuknya, tapi Lena masih melancarkan protes kepada Sean.

"Tapi, kenapa harus pakai mobil pelayan? Kenapa gak pakai mobil kamu, Sean? Bukankah itu mobil dinas? Bukan mobil pribadi kan? Lagian, duit dari mana asisten bisa beli mobil sebagus itu, iya kan? Apa pantas kamu yang pake itu sementara ibu mertua dan istrinya pakai mobil pelayan?"

Terdengar raungan sirine mendekat, membuat Lena semakin pucat dan tanpa menunggu jawaban Sean, ia menerjang ke arah mobil sambil teriak, "Pak, lewat belakang, Pak! Cepat jalan! CEPAT!" Lena sangat ketakutan sekali.

Sean mendengus sambil menggelengkan kepalanya. Suara sirine itu datang dari pintu gerbang depan yang sengaja dinyalakan untuk mengusir Lena dan Viona. Ternyata, trik itu sangat ampuh, Lena menaiki mobil yang diprotesnya dengan ketakutan.

"Kita jalan juga, ke apartemen karyawan," ucap Sean pada supirnya. Ia pun harus berada di sana, untuk meredam keributan yang akan dilakukan oleh Lena setelah melihat unit apartemen yang disediakan untuknya.

***

Di ruang kantornya, Bayu menatap layar laptop dengan sorot mata berbinar. Para karyawan magang sedang membereskan meja masing-masing karena jam bubaran kantor hanya tinggal beberapa menit lagi.

Tampak di layar, Sarah yang juga sibuk merapikan berkas sambil mengikat rambutnya, begitu indah dalam pandangan Bayu.

Gerak gerik Sarah sangat gesit tapi sikap tak acuhnya juga kental. Gadis itu terkesan serampangan, segala hal maunya cepat beres dan tidak sabaran.

Berkali-kali barang yang disentuhnya jatuh ke lantai, berkali-kali juga ia harus nungging-nungging memungut barang-barang yang dijatuhkannya.

Pemandangan bulat yang sempurna dari bokong Sarah, membuat Bayu harus menelan salivanya berulang kali juga dengan wajah memerah dan jantung bertalu-talu.

"Ampun deh, kamu. Sarah!" geram Bayu yang mendadak merasakan celananya penuh sesak. Menyempit beberapa sentimeter, membuatnya sangat tidak nyaman.

"Kenapa aku begini ya? Setelah tiga tahun seperti mati rasa, tiba-tiba bisa bangun?" gumam Bayu sambil menghapus peluh pada kening dengan punggung tangannya.

Perasaan Bayu bagai dikocok-kocok tidak karuan dan membuatnya tidak berdaya. "Sarah, kamu harus bertanggung jawab!" pekik Bayu tertahan.

Panas dingin yang dirasakan Bayu benar-benar membuatnya gelisah. Sarah, meski mengenakan pakaian serba panjang, keseksiannya telah melumatkan bagian dingin di sudut ruang hatinya, pesonanya telah membuat Bayu yang kokoh bagai batu karang, luluh lantak dalam sekejap.

Kecantikannya tanpa sapuan kosmetik, terpahat indah dalam relung-relung hati Bayu. Senyumnya melelehkan bagian hati yang tidak ingin membuka celah bagi wanita lain. Kerlingannya membuat adrenalin memacu jungkir balik bagai roller coaster.

Napas Bayu pun tersengal-sengal seolah-olah baru saja melakukan lari estafet. "Aku bisa gila!" seru Bayu tanpa sadar.

Namun, seketika perasaan Bayu membeku, segala hal atas nama gairah yang tadi membuatnya panas dan berpeluh, lenyap tanpa pamit. Keduanya matanya melotot ke arah layar lebar-lebar.

Tampak seorang lelaki tampan dan muda tengah bersandar pada meja Sarah, sementara gadis itu belum menyadari kehadirannya.

"Radit! Sialan!" teriaknya dengan kecemburuan yang membuncah.