webnovel

Meeting of Two Families

Keesokan harinya, tepat jam 9. Aku, Abah dan Umi pun berangkat menuju Resto Basmalah. Kami kesana naik mobil, mobil pemberian Abah saat aku baru lulus SMA. Abah membelikan aku mobil karena aku mendapatkan juara satu.

Aku menyetir sendiri, di samping aku ada Abah sedangkan Umi duduk di kursi belakang, kalau duduk di depan semua, tak muat karena kursinya cuma dua. Kalau mereka duduk di belakang semua, kasihan aku karena seperti sopir. Jadi Abah memutuskan, ia yang duduk di depan.

Aku kesana memakai gamis warna pink begitupun dengan hijabnya. Tak lupa aku memakai kaos kaki warna coklat dan sepatu sandal. Perpaduan yang pas menurutku dengan tas mungil yang hanya muat untuk Hp dan dompet.

Bagiku kemanapun aku pergi, aku harus menjaga penampilan bahkan walaupun aku di rumah sekalipun karena menurutku penampilan itu sangatlah penting. Aku juga selalu menjaga tubuhku agar tetap ideal. Karena jika terlalu gemuk ataupun terlalu kurus tak enak di pandang mata.

Walaupun aku selalu memakai pakaian longgar, dan tak mungkin orang lain tau lekuk tubuhku, tapi tetap saja aku harus menjaga kesehatanku dengan menjaga pola makanku, berolah raga agar tubuhku tetap ramping dan sehat.

Aku juga selalu menggunakan perawatan wajah di rumah, tak heran jika wajahku selalu glowing dan mulus, tak pernah sampai ada jerawat atau apapun .

Sesekali aku juga pergi ke salon bersama Umi. Umi selalu bilang kita harus menghargai diri kita sendiri dengan menjaga diri kita sebaik mungkin. Terutama jika nanti sudah bersuami, agar suami kita tak melirik cewek lain di luar sana.

Jika di rumah sudah punya istri cantik, baik, sholeha, pintar masak, pinter bersih-bersih rumah, melayani suami dengan baik. Tentu suami tak akan suka neka-neko seperti Abah. Buktinya di usia pernikahan mereka yang ke 25 tahun, Abah masih setia sama Umi bahkan walaupun umur Umi sudah 45 tahun, tapi Umi masih kelihatan seperti umur 30 an sedangkan Abah yang sudah umur 50 tahun masih seperti umur 40 tahunan. Mungkin karena mereka selalu jaga pola makan, olah raga, perawatan dan selalu jaga tampilan.

Itu juga yang membua aku mencontoh kedua orangtuaku. Aku ingin tetap terlihat muda walaupun nanti aku sudah punya suami dan anak. Sehingga ketika aku jalan sama anakku, kami terlihat seperti kakak adik sama seperti aku dan Umi.

Setelah menyetir selama kurang lebih 20 menit, akhirnya aku pun sampai juga di depan Resto Basmalah. Aku, Abah dan Umi pun langsung turun setelah aku memarkirkan mobilku.

"Abah, Umi. Neng deg-degan," ucapku nervous.

"Tenang, rileks aja," jawab Abah tersenyum.

Umi menggandeng tanganku ke dalam sedangkan Abah, ia berjalan lebih dulu di depan.

"Mereka ada dimana, Bah?" tanyaku.

"Ada di lantai atas di ruang VVIP," jawabnya. Memang benar di Resto Basmalah ini ada beberapa ruang VVIP jadi jika ingin memakai ruangan tersebut harus memesan dulu satu hari sebelumnya. Dan biasanya ruang VVIP di pakai untuk pertemuan keluarga, rapat penting, dan reunian dan lain sebagainya. Tapi kalau cuma makan biasa, kita cukup di lantai dasar.

Tuhan ....

Aku berlindung kepadaMu ....

Aku tak tau apakah laki-laki itu nantinya yang terbaik untukku atau bukan.

Aku hanya berpasrah kepadaMu Ya Rabb ...

Hanya karena Engkaulah yang tau segala-galanya.

Aku berdoa dalam hati, di setiap langkahku, tak lupa aku mengucap istighfar berulang-ulang.

Hingga tak terasa aku, Abah dan Umi sudah sampai di ruang VVIP.

"Assalamualaikum," sapa Abah setelah melihat 3 orang yang sudah menunggu di dalam.

"Waalaikumsalam," jawab dua orangtua paruh baya sedangkan laki-laki muda nan tampan itu hanya tersenyum. Tapi entah kenapa aku melihat senyuman itu seperti senyuman terpaksa. Apakah ia tak berkenan dengan perjodohan ini sama sepertiku. Tapi jika memang iya, kenapa ia tak menolak perjodohan ini.

Abah berjabat tangan dengan laki-laki yang seumuran dengannya, namun laki-laki tersebut nampak lebih tua dari Abah, begitu pun dengan Umi, ia juga berjabat tangan dengan seorang wanita yang kemungkinan besar itu istrinya.

"Neng, perkenalkan ini temen Abah, namanya Om Agus, dan ini istrinya Tante Ayu, dan laki-laki tampan ini namanya Andre," ucap Abah memperkenalkan aku dengan mereka.

"Salam kenal Om, Tante, Mas Andre. Aku Fatimah Az-Zahra, bisa di panggil Neng atau Zahra," tuturku ramah memperkenalkan diriku sendiri. Aku hanya mencium tangan Tante Ayu seperti aku mencium tangan Umi. Sedangkan sama Om Agus dan Mas Andre, hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada. Karena aku tak bisa berjabat tangan dengan mereka, alasannya hanya satu karena mereka bukan mahramku.

"Wah kamu emang seperti yang di katakan oleh Abah dan Umimu ya, kamu cantik," puji Tante Ayu. Aku hanya tersenyum mendengarnya karena bingung juga mau jawab apa.

Aku, Abah dan Umi duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan mereka sedangkan di tengah-tengah kami, ada Meja panjang.

"Neng, tau gak. Om Agus ini sahabat Abah dulu dari SMA sampai sekarang. Usaha Abah maju ya karena dulu di bantu oleh Om Agus," ucap Abah memberitahuku.

"Dulu Abah kamu itu pemalu Neng, tak seperti sekarang," ujar Om Agus tertawa. Mungkin ia mengingat masa-masa dulu saat bertemu Abah. Entah di tahun berapa.

"Kalau Umi kenal Tante Ayu ya pas kuliah Neng, kami sekelas. Umi kenal Abah ya dari Tante Ayu, dulu Tante Ayu pacaran sama Om Agus, jadi pas mereka ketemuan, tak sengaja Umi ketemu Abah. Karena kan waktu itu, Om Agus bawa Abah, sedang Tante Ayu bawa Umi. Sehingga dari situlah Umi kenal Abah kamu sampai akhirnya kami menikah dan punya anak," tutur Umi.

"Haha gak nyangka ya Hil, sekarang anak-anak kita sudah dewasa bahkan bentar lagi mereka akan menikah dan memberikan cucu buat kita. Rasanya waktu begitu cepat berlalu," kata Tante Ayu tertawa. Aku pun hanya diam mendengarkan. Kulihat Mas Andre juga diam. Entah aku merasa, kalau Mas Andre sedari tadi seperti tak menyukai pertemuan ini. Aku yakin Mas Andre sama sepertiku, terpaksa menerima perjodohan ini.

Ya Tuhan ....

Bagaimana jika seandainya Mas Andre sudah punya pacar di luar sana, apakah sebelumnya mereka sudah menanyakan perihal ini sama Mas Andre. Aku tak mau menjadi penghalang atau menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Entah kenapa tiba-tiba saja itulah yang terlintas dalam benakku.

Kalau aku sendiri, sampai detik ini masih single. Memang aku tak pernah merasakan apa yang namanya pacaran. Abah sama Umi selalu mewanti-wanti agar aku fokus sama sekolahku aja. Walaupun banyak laki-laki yang mencoba untuk mendekatiku secara diam-diam maupun terang-terangan, namun aku selalu menolak mereka dengan halus, dengan caraku sendiri. Sehingga penolakanku tak sampai menyakiti hati mereka.

Lagian menurutku pacaran setelah menikah itu jauh lebih romantis karena sudah halal ketimbang pacaran sebelum menikah.

"Iya, aku juga tak menyangka kalau kehidupan begitu cepat berlalu," jawab Umi.

"Dre, ayo ajak ngobrol calon istrimu," perintah Om Agus ke Mas Andre.

"Aku bingung, Pa. Mau ngomong apa," jawabnya acuh tak acuh.

Ya Tuhan ....

Inikah laki-laki pilihan Abah sama Umi.

Sama orang tuanya aja tak ada hormat-hormatnya apalagi sama aku nantinya , jika sudah sah jadi istrinya. Hanya dengan melihat sikapnya saja, aku seperti mengerti bagaimana sifat Mas Andre.

"Maafkan anak Om ya, emang Andre ini kalau ketemu sama orang baru seperti ini. Tapi sebenarnya dia sangat baik kog," ucap Om Agus, mungkin ia malu dengan sikap putranya.

"Gak pap, Om," jawabku ramah.

"Oh ya Abah sama Umi sudah menjelaskan bukan, kalau kami ingin menjodohkan kalian berdua," ujar Om Agus yang mulai ngomong ke intinya.

"Sudah, Om," balasku tersenyum.

"Terus bagaimana? Neng mau?" tanya Om Agus lagi.

"Kalau Neng sendiri, terserah Abah dan Umi aja. Karena Neng yakin Abah sama Umi sudah memikirkan ini matang-matang. Abah dan Umi pasti lebih tau apa yang terbaik buat Neng," jawabku tak yakin. Aku juga lupa mengatakan tentang mimpiku tadi malam sama Abah dan Umi. Nanti aja saat di mobil aku akan menceritakan ke mereka.

"Mas Andre sendiri? Apakah Mas Andre menerima perjodohan ini? Apakah tak ada wanita lain di luar sana yang Mas Andre suka?" tanyaku memastikan. Aku tak ingin kalau Mas Andre nantinya malah akan menyalahkan aku karena membuat hubungan mereka putus karena perjodohan ini. Entahlah, aku merasa aku harus hati-hati. Aku tak mau salah langkah yang nantinya akan berakibat fatal.

"Gak ada," jawabnya simple.

"Baiklah, aku percaya. Tapi jika memang ada wanita yang Mas Andre suka, lebih baik Mas Andre jujur agar kita semua bisa mengambil keputusan sehingga tak ada yang tersakiti nantinya," tuturku ramah dan lembut. Tapi ada penekanan sedikit di bagian wanita dan suka.

"Aku bilang gak ada berarti emang gak ada," balasnya. Membuatku harus mengucap istighfar dalam hati.

Benarkah ini laki-laki sholeh yang seperti Abah bilang kemarin. Aku melirik ke Abah dan Umi, tapi mereka hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Terus ini gimana? Apa kalian mau tunangan dulu atau langsung nikah?" tanya Tante Ayu.

"Neng terserah Mas Andre aja, Tan. Terserah Abah dan Umi juga. Neng pasrah dan akan menyetujui apapun keputusannya," jawabku.

"Baiklah bagaimana jika langsung di nikahkan aja bulan depan?" tanya Om Agus membuatku kaget. Secepat itukah. Bahkan aku baru pertama ketemu Mas Andre. Dan langsung mau di nikahkan bulan depan. Apa gak terlalu cepat.

"Baiklah aku setuju," sahut Abah tanpa meminta persetujuanku.

Setelah itu para orang tua pun membahas acara akad nikah dan yang lainnya yang akan di lakukan pada bulan depan.

Setelah selesai barulah, Om Agus memanggil pelayan dan memesan banyak makanan dan minuman.

Aku dan yang lainnya pun makan dalam diam. Tapi sesekali Om Agus dan Abah ngomong sesuatu begitupun dengan Umi dan Tante Ayu. Hanya aku dan Mas Andre yang hanya fokus makan.

Selesai makan, aku, Abah dan Umi pun pulang lebih dulu di banding mereka.

Next chapter