webnovel

IR2

Terkadang, dunia itu menunjukkan lika-liku yang tidak dapat dinegosiasi.

Begitulah yang ada di pikiran Ira sekarang. Semua yang direncanakan olehnya saat ini sedang dalam tahap penyempurnaan menuju kegagalan. 

Ya, kegagalan. Bagaimana bisa usaha yang selama ini menjadi fokusnya bisa gagal dengan cepat?

"Semua ini memang karena ada Ryan! mengapa ada di dalam hidupku, atau Rani sekarang?" keluhnya entah ke berapa kali. 

Ira merancanakan banyak hal, dalam hidup bahkan untuk orang yang ia kasihi. Rama adalah orang yang telah menempati ruang kasih di dalam hidupnya. Apa pun akan ia lakukan untuk bisa membahagiakan Rama, cinta pertamanya.

"Seharusnya Rani fokus sama Rama, kenapa dia malah sekarang serong ke Ryan?" 

Ira membaca pesan yang dikirimkan oleh Rama beberapa waktu yang lalu. Bukannya segera membalas, ia justru sibuk dengan kekesalannya yang belum menemukan ujung.

"Gimana aku ketemu Rama setelah ini?" ia menutup wajahnya. "Aku nggak akan bales chat-nya Rama selamanya!"

Ira langsung berjalan ke perpustakaan, sebuah tempat yang paling ia sukai di sekolah ini. SMA Royal Rose memang terkenal memiliki perpustakaan yang sangat bagus. Perpustakaan Red Rose namanya. Para murid sering menyebutnya 'RR'. Tapi, rasanya, Ira tidak suka dengan sebutan itu. Ia tetap mengatakan bahwa Red Rose adalah perpustakaan. 

Ia melepaskan sepatu dan meletakkannya di dalam rak yang telah disediakan. Setelah memastikan bahwa sepatunya telah rapi, ia masuk ke dalam RR dan melihat Rama sedang duduk di salah satu kursi.

APA?

Tiba-tiba, Ira membeku. Walaupun mungkin tidak sedingin es, ia hanya merasa tak mampu melakukan apa-apa. 

Kenapa dia ada di sini?

Nggak biasanya dia mau menginjakkan kakinya di atas tempat kutu buku seperti ini. 

Rama menoleh ke arah Ira yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Ia melambaikan tangan, kemudian tersenyum hingga menunjukkan giginya. 

Astaga!

Ira menunduk. Jantungnya mulai berdebar dengan kecepatan cahaya. Ah, mungkin itu berlebihan. Yang jelas, kecepatan itu tidak bisa diprediksi dengan baik oleh Ira yang sudah berkeringat dingin.

Aku harus ngapain?

Apa aku mending melipir dan pergi dari perpustakaan?

"IRA!" Panggil Rama dengan teriakan yang mengundang pandangan para pengunjung RR. 

Astaga, dia malah manggil aku!

Mending aku nggak tahu, deh!

Ah, aku langsung keluar aja!

Ira memang tak sanggup untuk mendongakkan kepala di depan Rama saat ini. Mungkin, ia memang berniat menyembunyikan tentang rencana Rani untuk berpacaran dengan Ryan. 

Ya ampun, Ryan! kalau suatu hari aku bisa dekat denganmu, aku akan membalas rasa malu ini!

Ira benar-benar melakukan hal itu, membalikkan badan dan tidak jadi masuk ke dalam perpustakaan. 

"Seharusnya aku menikmati buku-buku di sana dan menyegarkan pikiran yang sedang kusut seperti ini, huhu." 

Ira tidak ingin bertemu dengan Rama saat ini. Tentu saja karena masalah Rani dan Ryan, ditambah rasa malu karena ternyata ia tidak mampu membuat Rama dan Rani benar-benar berpacaran.

Apa boleh buat? Rani memang seperti itu. Kenapa aku yang jadi takut?

Ia mungkin sedang berusaha untuk berani bertemu dengan Rama setelah ini. Namun, tidak sekarang. Ia harus menata perkataan agar Rama tidak terlalu sedih ketika mendengar kenyataan bahwa Rani menyukai Ryan.

Walaupun Ira tahu bahwa Rani tidak benar-benar menyukai Ryan. 

Ia berjalan lebih cepat menuju kelas XI-IPA-1, kelasnya. Berbeda dengan Rani yang berada di kelas sebelahnya. Mereka berdua memang tidak satu kelas saat ini, tetapi pertemanan mereka tetap bertahan setahun terakhir. 

Ira dan Rani bertemu saat masa orientasi siswa. Mereka sama-sama dihukum, tetapi Ira yang lebih berat karena terlihat tidak lebih cantik dari Rani. Namun, Rani berusaha untuk membujuk senior-seniornya sehingga membuat Ira tidak jadi dihukum seperti sebelumnya. 

Sejak saat itu, mereka berdua saling dekat. Rani memang tetap memiliki geng anak-anak cantik tersendiri, tetapi ia selalu beralih ke Ira dalam banyak hal. 

"IR!" suara itu terdengar dari telinga Ira. ia menoleh dan melihat sosok seperti Rama yang sedang melambaikan tangan untuk kedua kalinya hari ini.

Rama?

Matanya yang kecil dan minus itu memang tidak terlalu jelas melihat dari jauh. Terlebih, kacamatanya sudah remuk beberapa jam yang lalu. 

"Ram?" benar juga, itu benar-benar Rama. Melihat seragam yang basah dan kusut itu menunjukkan bahwa ia telah bermain di lapangan, mungkin beberapa jam yang lalu. 

Rama mendekat. Ia merapikan rambutnya yang basah karena keringat. "Kamu pulang jam berapa? ikut tambahan hari ini?" tanya Rama yang membuka kancing bajunya yang paling atas. 

Ira yang melihat apa yang dilakukan oleh Rama itu membuatnya bimbang terhadap suatu hal. "Tadi kamu di perpus?" 

Rama mengangguk. "Kenapa? aku tadi manggil kamu. Eh, kamu malah pergi," ungkapnya sambil mengibaskan kerahnya untuk meredakan panas atau bahkan keringatnya yang bercucuran. 

"Tapi, kok kamu keringetan gitu? perpus 'kan dinging." Ira membantah, seolah sedang mencari sebuah kebenaran. 

"Aku ngejar kamu, tadi. Terus, aku main bentar di lapangan. Kamu tahu nggak, hari ini sekolah kita panas banget!" 

Tidak akan ada yang mengelak masalah itu. Ira pun sepakat dengan suhu yang sedang dihadapinya sekarang. "Terus, kenapa kamu di sini? kelasmu 'kan di sana!" 

"Ya, aku ada perlu sama kamu lah!" ungkap Rama dengan berkacak pinggang. 

Ira menelan ludah. Ia berharap bukan informasi tentang Rani yang diperlukan oleh Rama. Tapi, mana mungkin? Selama ini Rama dekat dengannya karena ingin mencari tahu tentang Rani. 

"Kalau kamu mau nanya tentang Rani, aku nggak ada info!" kata Ira kemudian masuk ke dalam kelasnya. 

"IR! aku 'kan belum selesai!" Rama mengatakan hal itu sambil berdiri di depan pintu kelasnya. "Ir! ayo keluar!" 

Ira menggeleng. Ia masih duduk di bangkunya yang berada di baris nomor dua dari depan. Pandangannya terlihat tegas, seolah tak ingin tergoda dengan ketampanan Rama yang sedang berkeringat itu. 

Katanya, lelaki berkeringat itu seksi.

Ira menggelengkan kepalanya, kembali mencari kewarasan yang sedang hilang beberapa menit terakhir. Memikirkan Rani dan Rama ini sungguh membuat hidupnya terganggu. 

Rama sepertinya menyerah. Ia meninggalkan kelas XI-IPA1 dan pergi entah ke mana. 

Seandainya kamu mau bertahan sedikit lagi, aku akan datang menemuimu.

Namun, untuk apa Ira berkata dalam diam seperti itu? tak ada gunanya. Apakah ia berpikir bahwa Rama akan tahu apa yang sedang ada di dalam pikirannya? Tentu tidak. 

Ira membuka buku fisika yang ada di depan mejanya. Rasa iri itu muncul lagi. Dengki dengan sahabatnya sendiri, Rani, mulai berkembang kembali. 

Apakah aku akan cukup percaya diri untuk dekat dengan Rama jika aku lebih cantik daripada Rani?

Ira menghela napas. Untuk apa semua ini dipikirkan? ia baru enam belas tahun, masih banyak waktu untuk mencari lelaki. Ras pria tidak hanya Rama saja, bukan?

"IRAAAA!" seorang gadis yang lain masuk ke dalam kelas. "Kamu tahu nggak, Rama--"

Ira berdiri dengan rasa terkejut. "Rama kenapa?"