webnovel

Kota Lahat

Sambil menyantap semangkok mie telor kornet, jadilah kami berdua memutar kembali ingatan lama ketika tinggal di sebuah kota kecil yang dari segi namanya pun sudah bikin merinding.

"Jadi elu pertama kali liat gituan waktu kita tinggal di situ?" ujarku meragukan keterangan Oxy.

"Iya ... di Lahat, kenapa?" ujar Oxy.

"Gak apa-apa ... aneh aja nama kotanya ... hehehe," jawabku ringan.

Lahat adalah salah satu ibukota kabupaten di Provinsi Sumatra Selatan. Seingatku kami sekeluarga menetap di kota itu pada tahun 1968 hingga akhir tahun 1969, ketika Papi bertugas sebagai Komandan Kodim di Distrik Militer 0405 itu.

"Masih inget gak banyak burung walet yang hinggap di kabel listrik kalo malem?" ujarku memancing memori Oxy tentang kota itu.

"Iye berisik banget!" balas Oxy singkat.

Kota kecil itu tak banyak penduduknya. Saat malam hari terasa sangat sepi, bentangan kabel listrik di kedua sisi jalan di pusat kota menjadi tempat bertengger ratusan atau ribuan burung walet. Entahlah berapa jumlah persisnya, yang pasti aku selalu menikmati keriuhan mereka saat diajak Papi dan Mami berkeliling kota menggunakan jip militer, Gaz (Gorkovsky Avtomobilny Zavod) buatan Uni Soviet, kendaraan dinas Papiku.

"Itu kota tergelap yang gue pernah tinggalin," ujar Oxy kemudian.

"Iyalah zaman segitu semua kota kecil juga gak ada yang terang benderang!" jawabku setengah setuju.

Pencahayaan di rumah maupun di pusat kota itu terkesan sangat redup, hanya diterangi lampu yang berpendar kekuningan. Maklum saja, pada tahun itu teknologi pencahayaan dan ketersediaan aliran listrik belum seperti saat ini.

"Oiya gue inget tuh ada pohon beringin gede di pinggir sungai tempat orang nongkrong sore," ujarku menyodorkan ingatan lain dari masa lalu.

"Ya iyalah sumber teror tujuh hari tujuh malam," ujar Oxy sambil menghirup sisa kuah mie.

Di kota itu mengalir sebuah sungai besar, namanya Sungai Lematang. Saat sore hari khalayak ramai banyak yang menghabiskan waktu di tepiannya yang terasa begitu sejuk. Salah satu tempat yang paling banyak dijadikan destinasi untuk bersantai sore hari di tepian Sungai Lematang itu adalah sebuah pohon beringin yang sudah berusia ratusan tahun.

Lingkar batang utamanya sepelukan tiga pria dewasa!

Akar-akarnya yang mengular dan menyebar di permukaan tanah menjadi tempat duduk yang cukup nyaman. Kanopinya yang luas menjadi peneduh bagi orang-orang yang sedang menikmati jajanan ringan di sekitar situ.

Nama kota itu selalu saja membuatku penasaran, apakah artinya liang kubur? Tapi mengapa liang kubur disematkan sebagai nama sebuah kota?

Sebagai pendatang baru, tentu saja kami berdua yang masih di bawah umur saat itu belum mengetahui banyak hal tentang nama kota itu.

Next chapter