You give me your smile
A piece of your heart
You give me the feel I've been looking for
You give me your soul
Your innocent love
You are the one I've been waiting for
I've been waiting for
Mika mengernyitkan keningnya saat telinganya mendengar suara musik rock klasik di rumahnya. Itu tidak mungkin Atha, karena kakaknya langsung mengomel tidak jelas tiap kali dia menyetel musik bergenre itu.
Mengerang sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bangun dan melangkah keluar kamar. Tunggu, seingatnya kemarin sore kamarnya masih seperti tempat sampah tapi sekarang dia bahkan tidak menemukan bekas sampah keripik ataupun baju-baju kotor di sana.
"Jadi dia benar-benar datang dan mengurusku?" ia menggumam, bibirnya membentuk kurva menukik.
We're lost in a kiss
A moment in time
Forever young
Just forever, just forever in love
Mika menuruni tangga satu per satu, semakin ia dekat dengan suara MPlayer, degup jantungnya semakin tidak normal. Sekarang kakinya berhenti di ambang pintu dapur, di dalam sana seorang wanita sedang sibuk wara-wiri, bahkan wanita itu dengan lancang memakai apron kesayangan sang Mama tanpa izin.
"When you came into my life, It took my breath away, Cause your love has found it's way to my heart ...."
Kali ini wanita itu ikut bersenandung. Mika meringis saat tubuh wanita itu meliuk-liuk, bokong sintalnya seakan mengedip genit pada Mika untuk dibelai manja. Membersihkan tenggorokan sebentar, kemudian ia mulai membuka mulut.
"Apa yang kau lakukan di dapurku?" Ia bertanya skeptis.
Tubuh wanita itu berjengit dan dalam sekejap ia berbalik kemudian melotot hebat. "Brengsek! Kau membuatku kaget, orang suci!"
Mengabaikan umpatan Inggrid tadi, Mika kembali bertanya. "Apa yang coba kau lakukan dengan dapurku?"
Inggrid tersenyun, "Membuat sarapan."
"Di dapurku?" Mika memasang suara dan wajah datar, dia sedang mencoba menyembunyikan perasaan senang dalam hatinya.
"Tadinya aku ingin memasak di dapurku sendiri sebelum aku melihat isi lemari es milikku kosong melompong. Kemudian aku teringat dengan lemari es Tante Maya yang masih penuh, jadilah memasak di sini."
Jadi bubur gosong semalam pun bukanlah mimpi? Mika berjengit ngeri. Ia meneguk ludah sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat dan melihat apa yang sedang Inggrid lakukan.
Oh, sayur yang malang. Pikir Mika saat melihat bagaimana Inggrid menggenggam wortel dan memotongnyan tanpa perasaan.
Sebelum pisau di tangan Inggrid kembali terayun untuk memutilasi sayur lainnya, Mika segera menangkap tangan itu. "Kalau saja semua sayuran ini bisa bicara, mungkin mereka sudah berteriak-teriak minta tolong." hardik Mika seraya membimbing Inggrid memotong sayur dengan cara yang benar.
"Kalau memotongnya sepelan ini, mau selesai sampai kapan?" keluh wanita itu, kepalanya sedikit menoleh untuk menatap pria yang berdiri di belakangnya tersebut. Oh, Tuhan ... ia berharap bahwa Inggrid tidak akan mendengar suara detak jantungnya yang tidak normal- "Demam-mu sudah turun?" tanyanya tak terduga.
"Ya." itu adalah suara paling jelek yang pernah Mika keluarkan sepanjang sejarah hidupnya. Fuck! Ia kemudian mengumpat dalam hati saat wanita itu menempelkan pipi lembutnya pada perpotongan lehernya, membuat konsentrasi dirinya koyak seketika.
"Ouch!" Mika mengerang saat tajamnya lidah pisau menjilat jari telunjuknya.
"Bagus sekali Mika, kau memotong jarimu sendiri!" ejek Inggrid. "aku sangat benci bau darah." sambungnya seraya membawa tangan Mika menuju wastafel dan membasuh jari telunjuk pria itu di sana. "Anyir, amis, dan rasanya seperti besi karatan!" selesai membasuh, kini Inggrid membimbing pria itu duduk dan setelah itu dia pergi mencari betadine dan kain kasa.
Mika duduk dengan patuh, tatapannya sama sekali tidak beralih dari jarinya yang luka, bibirnya mengembang malu-malu saat mengingat bagaimana Inggrid panik dan membasuh darahnya tadi.
"Gawat!" seru Inggrid dari ambang pintu dapur, wajahnya terlihat khawtir.
Mika mengernyitkan keningnya, "Apanya yang gawat?"
"Aku tidak menemukan betadine dan kain kasanya!"
Hanya karena itu dia memasang wajah panik?
Mika ingin sekali tertawa tapi harga dirinya sama sekali tidak mengizinkan. "Tidak apa-apa, Inggrid. Lukanya tidak panjang-"
Wanita itu menggeleng, ia berjalan ke arah Mika dengan wajah tak kalah panik dari sebelumnya.
"Jarimu bisa membusuk! Ayo pergi ke apotek. " Mika tidak sempat bereaksi saat wanita itu menariknya tangannya pergi. Sekarang mereka sudah berada di halaman rumah Inggrid. "Pakai ini." ujarnya seraya menyodorkan helm.
"Aku? Memakai ini dan dibonceng oleh seorang wanita?" tanya Mika skeptis dan anggukan kepala Inggrid membuat jatungnya meluruh kedasar perut. "Tidak, aku tidak mau."
Ayolah, dimana-mana tidak ada seorang pria yang dibonceng oleh perempuan. Orang-orang pasti akan menertawannya, wibawanya sebagai seorang pria akan terluka.
Inggrid melotot dan kedua tangannya lantas berkacak pinggang. "Demi Tuhan, Mika. Kau hanya perlu duduk di jok belakang. Persetan dengan harga dirimu yang setinggi langit itu!"
"Tidak apa-apa, aku bisa mengatasi ini." ungkap Mika kemudian berbalik menuju rumahnya.
"Jarimu akan membusuk," desis Inggrid, seolah belum puas, dia kembali membuka mulutnya. "Demi Tuhan! Tidak akan ada wanita yang mau menikah dengan pria berjari busuk."
Oke, itu sebenarnya berlebihan, sejauh ini tidak ada kasus yang membenarkan bahwa tersayat pisau bisa membuat jarimu membusuk kecuali jika orang itu memiliki penyakit diabetes. Tapi Inggrid tidak bisa melihat darah dan luka yang dibiarkan begitu saja. Kenangan pahit membuatnya berubah seperti seorang dokter.
Mendengar ucapan terakhir Inggrid barusan membuat langkah Mika berhenti seketika. "Kau juga tidak mau memiliki suami dengan jari membusuk?" tanyanya kemudian. Anggukan Inggrid bagaikan teror tak terucap. Meneguk ludah sebentar, kemudian dia kembali berjalan ke arah Inggrid, ia memakai helm setengah hati.
"Ayo pergi ke apotek." ujarnya setelah duduk di atas skuter milik Inggrid.
Inggrid tersenyum, "Aku akan menyelamatkan jarimu, orang suci!" katanya, ia kemudian menyalakan mesin skuter dan mengemudikannya ke luar halaman rumah menuju apotek terdekat.
Suasana kompleks di hari minggu memang sedikit lebih ramai dari biasanya. Mika menyembunyikan wajahnya di bahu Inggrid, dia tidak ingin ditertawakan oleh orang-orang. Harga dirinya akan benar-benar terluka, nanti.
"Mika! Apa yang kau lakukan? Tolong mundur sedikit!" Inggrid memekik saat merasakan tonjolan yang menusuk bokongnya. "MIKA AKU BILANG MUNDUR SEDIKIT!" Ia kembali berteriak, tapi rupanya pria di belakang benar-benar bebal hingga tidak menuruti perintahnya barusan, justru orang suci itu melingkarkan lengannya di perut rata Inggrid.
Demi Tuhan! Inggrid sedikit hilang konsentrasi karena tusukan dibokongnya. Setelah melihat apotek yang tidak jauh, Inggrid segera menarik gasnya semakin kencang. Dan syukurlah, mereka berdua sampai dengan selamat.
"Ouch! Apa yang kau lakukan?" erang Mika ketika sebuah tendangan menghantam tulang keringnya.
"Ajari sopan santun pada burung sialanmu, orang suci!" sungut Inggrid kemudian melangkah ke dalam apotek.
Mika masih mengerang di tempatnya, namun begitu bibirnya tidak bisa untuk tidak menyeringai. Sial, jangan salahkan kalau burungnya tiba-tiba bangun, salahkan saja mimpi basah sialan yang tiba-tiba saja berkelebat di kepalanya saat ia merapat pada tubuh Inggrid. Dan kalau seandainya si burung tidak bangun, maka harus dipertanyakan, gay ataukah memang si burung kecil sudah tak bernyawa.
"Hentikan senyum bodohmu, Mika." tegur Inggrid, dia telah kembali dengan sekresek obat-obatan di dalamnya. "Kemarikan jarimu!" perintahnya kemudian.
Tak mau berdebat, Mika segera menyodorkan jarinya yang terluka tersebut pada Inggrid dengan suka rela. "Shit!" ia mengumpat saat cairan alkohol merembes ke dalam lukanya, memberi rasa perih tak tertahankan.
Setelah darah yang mengering telah dibersihkan, Inggrid lekas meneteskan betadine dan setelahnya membebat jari tersebut dengan kain kasa. "Selesai!" ucapnya dengan sebuah senyum merekah.
"Jelek sekali." ejek Mika seraya memandang hasil karya Inggrid yang mengerikan. Jari telunjuknya yang terluka, namun Inggrid membebat semua jarinya, sekarang dia terlihat seperti Mummi.
"Setidaknya jarimu terselamatkan. Dan mana ucapan terimakasih-mu, orang suci?"
Mika menarik sudut bibirnya hingga membentuk garis kurva. "Terimakasih atas segala perhatianmu, Inggrid."
"Sama-sama, tetangga tercintaku." sahut Inggrid dengan kedipan matanya.
Hey, apa dia sedang menggodaku? Inggrid? Mika tidak bisa menurunkan senyumnya lagi kali ini.
"Ini, kau yang bawa skuternya." ujar Inggrid seraya memberikan kunci. Dia tidak akan mau mengulang kejadian tadi, sesuatu yang menusuk bokongnya tadi benar-benar membuat konsentrasinya kacau, bisa-bisa mereka terlempar dari atas motor kalau saja jarak apotek masih terlalu jauh.
Gelengan kepala Mika membuat Inggrid mengerutkan keningnya. "Aku tidak bisa."
Apa dia bercanda? "Apa maksudmu dengan tidak bisa?"
"Tidak bisa mengendarai itu." dagunya bergerak menunjuk skuter milik Inggrid.
Inggrid menyipitkan mata, kedua tangan sudah berada di pinggang. "Kau benar-benar tidak bisa mengendarai skuter atau memang kau sedang mengelabuiku agar kau bisa bersikap bajingan seperti tadi?"
Mika merasa tersinggung atas tuduhan Inggrid barusan. Ayolah, bahkan bajingan pun tidak akan ada yang mau disebut bajingan. Apalagi pria baik-baik sepertinya, tidak akan pernah mau!
"Kemarikan kuncinya." ucap Mika, "dan jangan salahkan aku jika leher kita berdua terpisah dari kepala nantinya." lanjutnya kemudian, dia sudah duduk di atas motor, memasukkan kunci ke dalam lubangnya dan mulai menstater.
Jadi dia serius? Inggrid meneguk ludahnya saat sebuah kilasan mengerikan tentang leher yang terpisah menari di kepalanya. Oh, tidak. Dia tidak boleh Mati sebelum mendapatkan Putra!
"Mika tunggu, biar aku yang mengemudikannya." ucapnya kemudian mengambil alih kemudi, "mundur sedikit. Oh, satu lagi, kalau burungmu berani menusukku lagi seperti tadi, aku akan menendang bokongmu!"
Mika mengangguk, "Kau dengar itu, burung? Jangan menusuk bokongnya!" ia sedang berbicara pada burungnya.
"Astagaaa... dia benar-benar gila, Tuhan." ejek Inggrid sebelum menarik gas skuternya.