webnovel

Bab 4 Pelet Pengasih "Di Introgasi"

Sampai di rumah, ayah dan

ibu sudah menungguku. Mereka

berdua sedang duduk di ruang

tamu. Nyaliku merasa ciut tentu

saja.

"Duduk dulu, Nduk. Ada yang

ingin Ayah dan Ibumu bicarakan,"

titah ayah, begitu aku membuka

pintu dan masuk. Lembut, tapi

mampu membuatku merasa

sangat takut. Mungkin karena aku

merasa mempunyai sebuah

kesalahan.

Tanpa banyak bicara, aku lalu

duduk di sebelah ibu. Aku melihat ayah menarik napas dalam,

seakan ada sebuah beban yang

menghimpit dadanya.

"Belakangan ini, Ayah dan

Ibumu perhatikan, kamu jadi

sering pulang malam. Memangnya

kamu main ke mana, Nduk? Kamu

pergi sama siapa?" tanya ayah,

setelah beberapa saat. Matanya

tajam menatapku.

Aku diam saja. Perasaan

takut menyelimuti. Aku

menundukan muka, tak berani

untuk membalas tatapan ayah

yang terasa begitu menghujam

sampai ke jantung."Jawab saja pertanyaan Ayah

kamu itu, Nduk. Kamu nggak usah

takut. Ayah sama lbu cuma ingin

tahu, kamu pergi ke mana dan

sama siapa. Sebab selama ini,

kami nggak pernah lihat kamu

pergi malam hari, apalagi sampai

larut. Sebagai orang tua, tentu

Ayah sama lbu punya rasa

khawatir, Nduk. Kamu adalah anak

kami satu-satunya. Gimana kalau

terjadi sesuatu sama kamu," kata

ibu dengan suara lembut, sambil

memegang tanganku.

Lama aku bergeming. Ingin

sekali aku berbohong pada kedua

orang tuaku, dengan mengatakan

kalau aku pergi bersama teman

kerja. Tapi tentu saja ayah dan ibu

tak akan percaya begitu saja pada

ucapanku. Karena selama ini aku

memang anak 'rumahan' yang tak pernah keluar malam, seperti kata

ribu barusan.

"Ayo, Nduk. Bilang terus

terang saja pada kami. Kamu tadi baru pergi sama siapa?" tanya

ayah untuk kali yang kedua.

"Dian tadi pergi sama dokter

Hilan, Yah," jawabku akhirnya

dengan terbata dan suara lirih.

Aku semakin menunduk, tak berani

menatap wajah ayah ataupun ibu.

Aku betul-betul merasa sangat

takut. Aku sudah membayangkan

ayah dan ibu akan memarahiku.

Ibu menghela napas dalam.

"Memangnya kalian berdua

pergi ke mana, dari siang sampai

malam begini baru pulang?" tanya

ibu mulai menyelidik. Nada

bicaranya agak curiga.

"Apa kamu cuma berdua saja

dengan dokter Hilan?" tanya ibu

lagi, sebelum aku sempat

menjawab pertanyaan beliau yang

pertama."Nggak kok, Bu. Kami pergi

Vbertiga, sama Misno, supirnya

dokter Hilan. Kami pergi cuma

jalan-jalan saja," jawabku sambil

memandang wajah ibu.

Untunglah saat ayah dan ibu

bertanya, kami memang pergi

bertiga dengan Misno, jadi aku tak

berbohong. Namun, untuk

mengatakan hal sebenarnya yang

telah aku dan dokter Hilan lakukan

di dalam kamar hotel, tentu saja

aku tak punya keberanian.

"Jangan kamu ulangi lagi,

Nduk. Nggak baik anak gadis pergi

malam hari. Apalagi sama suami

orang. Walaupun kamu pergi

nggak cuma berdua dengan dokter

Hilan, tapi tetap saja kurang baik

dilihat orang," kata ibu seraya menepuk-nepuk tanganku.

Aku mengangguk. "lya, Bu.

Dian nggak akan mengulanginya

lagi."

"Ya sudah, sekarang kamu

pergi tidur sana, sudah malam,"

titah ayah.

Tanpa banyak bicara lagi, aku

bergegas masuk ke dalam kamar

dan langsung mengunci pintunya.

Lega sekali rasanya, ayah dan ibu

tak mencecarku dengan

bermacam pertanyaan. Aku pasti

tak akan bisa berbohong kalau

mereka berdua terus bertanya

sampai detail tentang kepergianku

bersama dokter Hilan.

***

"Yang, aku nggak bisa pergi

malam lagi. Tadi malam ayah

sama ibu udah tanya

macam-macam karena aku sudah

sering pergi dan pulang malam

hari." Aku memberitahu saat

dokter Hilan datang menjemput

pada keesokan harinya.

Dia memegang tanganku. "lya,

Yang. No problem," katanya santai

seraya tersenyum.

Mobil pun melaju

meninggalkan halaman depan

rumahku. Ketika sampai di depan

puskesmas, dokter Hilan tak

menghentikan mobilnya. Tentu

saja aku merasa heran. Mobil

terus melaju ke arah kota.

"Kok nggak berhenti, Yang?"

tanyaku sembari menatap dokter

Hilan.

"Kan katanya kamu nggak boleh pulang malam lagi

sekarang. Jadi kita cek in ke

hotelnya siang hari saja," jawabnya

sambil terkekeh.

Tentu saja aku mnerasa sangat

senang mendengarnya. Hari itu

hari Sabtu, jadi kami memang

tidak memakai pakaian seragam

dinas. Sesampainya di kota, kami

lalu menuju ke sebuah hotel dan

cek ini di sana.

Lagi dan lagi, aku dan dokter

Hilan mengulangi perbuatan itu.

Perbuatan yang seharusnya hanya

boleh dilakukan oleh pasangan

yang sudah sah sebagai suami

istri. Beberapa kali kami

melakukannya."Yang, ini HP untuk kamu, biar

kamu gampang dihubungi," kata

dokter Hilan, setelah kami selesai

bercinta. Dia memberikan sebuah

kotak HP Nokia 3650 dari dalam

tasnya. HP yang sangat aku

inginkan. Meskipun aku sudah

mempunyai telepon genggam, tapi

aku memang sengaja tak pernah

memberitahu nomor HP-ku pada

dokter Hilan. Aku tak mau ketika

berada di rumah dia menghubungi

aku, sebab ada ayah dan ibu.

Mereka berdua pasti akan merasa

curiga jika aku sering menerima

telepon dari dokter Hilan.

Dengan tersenyum manis aku

menerima HP Nokia tersebut.

Kucium pipi dokter Hilan.

"Makasih ya, Yang," kataku manja

seraya memberikan pel

mesra padanya.Aku tertawa dalam hati.

Ternyata tak perlu bersusah payah.untuk meminta sesuatu yang aku

inginkan pada dokter Hilan. Pupur

cleopatra dari Jeng Murti telah

bekerja sendiri dengan sangat

sempurna.

Pukul setengah empat sore

aku dan dokter Hilan cek out dari

hotel, agar sebelum ayah dan ibu

pulang dari toko, aku sudah

sampai rumah lebih dulu.

"Gimana, Yang. Apa sudah

kamu pikirkan soal pernikahan

kita?" tanya dokter Hilan, ketika

mobil sedang melaju ke arah jalan

pulang.Seharusnya aku menyambut

ajakan dokter Hilan itu dengan

penuh suka cita. Bukankah selama

ini aku ingin selalu bersamanya.

Namun entah kenapa, mulutku tak

mengatakan 'iya' setiap kali dia

bertanya tentang hal itu.

"Kamu kenapa sih, Yang.

Setiap kali aku singgung soal

pernikahan kita, selalu saja kamu

menghindar. Ada saja alasan yang

kamu buat," tanya dokter Hilan. Dia

terlihat mulai kesal.

Aku diam saja, karena

memang sedang tak ingin

berdebat. Jangankan dokter Hilan,

aku sendiri juga tak tahu kenapa,

selalu mencari alasan untuk

menjawab permintaannya agar

kami segera menikah."Yang, apa sih sebenernya

yang bikin kamu ragu nikah sama

aku?" tanya dokter Hilan. Dia

lantas menghentikan mobilnya di

pinggir jalan.

Aku menarik napas panjang.Kami saling bertatapan. Mulutku

sebetulnya ingin sekali

mengatakan 'iya' tapi entahlah.

Dokter Hilan memelukku

dengan erat. "Aku nggak ingin

kehilangan kamu, Yang." bisiknya

di telingaku. Membuatku seakan

terbang melayang.

Beberapa saat kami

berpelukan. Sudah hilang rasa

malu kami. Kami berdua

betul-betul telah dimabuk cinta.

Cinta yang terlarang.

Bersambungg....