"Kekalahan itu tetap tidak akan bisa dihindari, seperti benang takdir yang mengikat."
***
Athena Kingdom
A few days later ....
Decakan kekesalan kembali terdengar dari birai mungil tersapu olesan warna merah tua tersebut. Entah sudah berapa kali ia terus menggerutu di depan sebuah kerang besar yang menganga lebar, terbuka dengan kilatan bayangan keputihan yang bersarang di dalamnya. Jika dilihat, persis seperti sebuah cermin di dalam kerang. Namun hanyalah cermin ilusi. Karena tidak terdapat dinding kaca sebagaimana cermin pada umumnya.
"Wahai cermin Poseidon ... perlihatkan padaku di belahan bumi mana Pangeran William berada sekarang?!"
Tidak ada reaksi yang berarti. Hanya kilatan cahaya putih yang terus berputar di dalam kerang tersebut. Wanita cantik yang merupakan Ratu Negeri Athena itu sangat kesal. Ia ingat, sudah berulang kali mencoba menggunakan kata kunci yang berbeda pada cermin kerangnya, namun hasilnya nihil. Ia tetap tidak bisa melihat apa pun.
"Kenapa kau tidak menggubris perintahku lagi selama seribu tahun ini? Kau tidak membiarkanku melihat apa pun. Apa kau menghukumku?"
Ratu Evanya terus bermonolog. Sebenarnya tidak seperti itu juga. Sungguh, ia sedang berdialog dengan cermin kerang emas yang berada di atas peti keemasan di sudut kamarnya. Ratu Evanya memang memiliki ikatan dengan cermin kerang tersebut.
Dulunya, ia tidak membutuhkan kata kunci apa pun untuk melihat apa yang ia inginkan pada cermin kerang ajaibnya itu. Cukup menatapnya saja, maka bayangan itu dengan cepat terlihat pada cermin tersebut, sesuai yang diinginkannya. Evanya sendiri bingung, kenapa cerminnya itu berhenti bekerja sekarang. Apa yang salah di sini?
Suara derap kaki beralaskan boot tiba-tiba menyapa gendang telinganya. Di tengah kekalutannya, Evanya berdebar lanjut menarik birainya ke atas, berpikir bahwa seseorang yang ia tunggu akhirnya datang.
"Agathias ..." Evanya segera berbalik menatap seseorang yang kini sudah berdiri gagah di belakangnya. Tetapi lagi-lagi tidak seperti yang diharapkannya. Vanya terlonjak dan segera menegakkan torsonya yang dibalut gaun hitam sekelam malam itu. Netranya menajam seketika. Sisi angkuhnya menguar begitu saja saat menatap lelaki yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Kamu ...?! Berani sekali kamu masuk kemari. Di mana sopan santunmu? Apa aku perlu memanggil penjaga sekarang?! Ah tidak, aku akan memanggil Agathias. Dia harus tahu ini." Evanya sudah berapi-api, amarahnya tersulut.
"Maafkan saya, Yang Mulia Ratu. Saya tidak akan berani ke sini jika tidak ada hal yang sangat mendesak. Dan ya ... Yang Mulia Raja sedang tidak ada di istana sekarang, karena sedang mengunjungi Sparta. Dan juga ...."
"Apa?" Tidak bohong, Evanya begitu penasaran saat orang kepercayaan suaminya itu menggantung ucapannya begitu saja.
Hening.
"Tristan?! Kenapa kamu hanya diam?! Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya?!" Evanya masih menatap tajam. Bukan tanpa alasan ia melakukan ini. Ia hanya ingin melindungi dirinya untuk sekarang. Mengingat juga suaminya tidak ada bersamanya sekarang. Jangan tanya kenapa harus?! Ada kisah kelam yang tertutup rapat tanpa pernah terkuak. Kisah kelam antara putri penguasa lautan itu dan sahabatnya, Tristan Lysander Steve.
"Saya hanya ingin berbicara empat mata dengan Yang Mulia Ratu. Saya rasa ini adalah kesempatan yang tepat." Tristan masih bersikap tenang, seperti biasanya.
"Kesempatan yang tepat karena raja sedang tidak di istana?!" Evanya kini terkekeh. Namun Tristan bisa dengan jelas melihat itu adalah tawa remeh dari sang ratu. Ia menghembuskan napasnya perlahan.
"Kamu berubah, Evanya."
Panggilan Tristan yang tidak lagi formal dari biasanya itu membuat tawa Evanya reda seketika. Netranya kini berfokus pada netra lelaki di hadapannya. Itu tatapan yang tidak asing bagi Tristan. Ia merindukan tatapan itu.
"Ya, aku berubah. Kamu yang membuat semuanya berubah. Kamu yang merusak persahabatan kita di masa lalu. Kamu merusaknya, Tristan." Suara Evanya bergetar.
"Aku tahu. Sekeras apa pun aku mencoba, aku tidak pernah berharga di matamu, apalagi di mata keluargamu. Aku hanya dianggap sampah oleh para bangsawan Greece. Karena aku manusia rendahan tanpa kekuasaan dan kekuatan saat itu. Mereka tidak pernah memandangku. Mereka mengutukku sam-"
"CUKUP TRISTAN! Cukup!" Teriakan Evanya menghentikan deretan kalimat menusuk yang keluar dari birai Tristan. Evanya kini terisak dengan kedua tangan yang sudah menutupi wajah cantiknya. Tristan termangu. Ia mencoba mendekat.
"Berhenti di sana!" Evanya kembali berteriak.
"Evanya ..." Tristan kelimpungan.
"Aku bilang berhenti. Jangan mendekat. Jangan buat aku semakin murka dan membencimu, Tristan. Kamu tahu benar apa yang akan terjadi nanti."
Perlahan Tristan mundur. Namun matanya tidak pernah lepas dari wanita tersebut. Hatinya terluka. Namun ia menampik semua itu. Ada yang lebih penting untuknya saat ini. Menyampaikan sebuah berita yang mungkin akan merubah segala perspektif wanita itu tentangnya.
"Agathias sangat mempercayaimu, Tristan. Jangan khianati dia." Evanya menguar tatapan sendu.
"Apakah memendam perasaan itu dianggap berkhianat? Lalu bagaimana denganmu? Kamu menutupi hubungan masa lalu kita dari suamimu."
"Hubungan seperti apa yang kamu maksud?! Kita hanya bersahabat. Tidak pernah lebih dari itu. Aku hanya mencintai Agathias. Seorang putri duyung hanya bisa jatuh cinta sekali seumur hidupnya."
Mendengar itu, Tristan terkekeh. Kini ia berjalan menghampiri cermin kerang Poseidon. Ia bergeming menatap cermin itu.
"Kamu tau kan, Agathias sangat mempercayaiku." Tristan tersenyum penuh arti, namun tidak berpaling sedikitpun dari cermin tersebut.
Kini giliran Evanya yang mendekat. Ia melangkah perlahan dengan dadanya yang terus berdebar. Merasa ada sesuatu yang aneh dengan lelaki itu.
"Pada akhirnya ... Agathias akan hancur oleh putranya sendiri."
"A-apa maksudmu?" Evanya mengerutkan keningnya. Ia berharap apa yang baru saja didengarnya itu salah.
"Putra bungsumu itu dianugerahi kekuatan para dewa, dia yang terkuat. Bahkan lebih kuat dari Agathias sendiri. Lambat laun kekuatannya itu menjadi bumerang untuk negeri Greece. Aku sudah meramalkannya."
"Aku berharap ramalanmu itu meleset, Tristan." Evanya terlihat mulai tenang. Namun di balik itu, ada kerisauan yang mengiris-iris hatinya.
"Sayangnya tidak. Pada saatnya nanti, kerajaan ini akan hancur, tanpa sisa." Tristan berbalik menatap Evanya. Tatapannya dalam, tetapi dengan ekspresi datar.
"Aku tidak pernah mengatakan ini pada Agathias. Aku menunggu saat yang tepat untuk memberitahumu langsung. Dan inilah saatnya."
"A-apa?" Evanya mulai dilanda ketakutan. Tatapan Tristan begitu mencabik-cabik hatinya. Terlihat sendu dan hancur secara bersamaan.
"Aku menemukan Pangeran William."
"P-Pangeran William?!" Sesaat Vanya tidak mampu memproses informasi yang diterimanya dari Tristan. Terlalu mendadak. Berita ini begitu mengejutkannya. Dia sudah berusaha menemukan Pangeran mahkotanya selama ratusan tahun ini, hasilnya nihil. Bahkan bisa dibilang gagal. Ia hampir putus asa.
"Ya, dia telah terlahir kembali Evanya. Tapi bukan di peradaban ini. Dia berada di dimensi lain, dimana cermin kerangmu tidak bisa menjangkaunya. Ada sebuah kekuatan dahsyat yang menyelimutinya, mencoba mengelabui. Penglihatanku memang tidak bisa menembusnya, tetapi aku bisa merasakannya."
"Lalu kenapa kamu tidak memberitahukan hal ini pada Agathias? Ini berita bahagia, apa yang salah di sini?"
Mencekam. Aura yang menguar dari Tristan semakin membuat jantung Evanya berdetak kencang.
"Pangeran William memang terlahir kembali. Namun dia terlahir layaknya manusia biasa. Dia tidak memiliki kekuatan apa pun, Evanya. Berbeda dengan Putri Alexa, yang terlahir bersama kekuatan Pangeran Levin. Inilah yang aku takutkan."
"A-aku masih tidak mengerti."
"Mereka akan segera dipertemukan. Bukan hanya dengan Putri Alexa, tapi Pangeran Levin juga akan bertemu dengan Pangeran William. Itu takdir yang tidak bisa dihindari dari keduanya. Laksana benang merah yang terus mengikat ketiganya. Ketika itu terjadi, maka Pangeran William kembali dalam bahaya. Seperti kejadian seribu tahun silam."
"Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Mereka tidak boleh saling membunuh seperti sebelumnya. Tidak." Evanya terduduk lemas di tepi katilnya.
"Hal itu tidak akan terjadi jika kamu bisa melakukan satu hal. Dan itulah alasan kenapa aku menemuimu sekarang."
Evanya sekarang mengerti, bagaimana ucapan Tristan yang penuh keyakinan itu bisa menyelamatkan dua nyawa. Dua nyawa buah hatinya yang berharga, William Agathias dan Levin Agathias.
Masih ada harapan.
***
To be continued ....